Pagi-pagi aku buru-buru bersiap untuk menjenguk salah satu sahabatku.
"Eh, kamu udah rapi banget sayang. Udah gak sabar pengen ketemu calon imam kamu, ya?" Goda Umi saat aku berjalan ke arahnya dengan penampilan yang memang sudah rapi. Rapi banget malah.
"Umi apaan sih, gak kok, Mi. Ini Risya tiba-tiba dapat panggilan dari temen, katanya, Aya temen Risya sakit, Mi," ucapku tak enak hati kepada Umi.
Aku bisa menangkap, ada raut kecewa di wajah Umi, tapi cepat terganti dengan senyum tulus, yang membuat siapa saja yang melihatnya menjadi tenang, "Maafin Risya ya, Mi," ucapku kemudian, yang dibalas anggukan oleh Umi.
"Ya sudah, Sayang. Sekarang kamu sarapan dulu, baru jengukin temen kamu ya," Umi mengelus puncak kepalaku.
Aku kemudian mengangguk, dan memakan roti isi yang telah Umi hidangkan di hadapanku.
Setelahnya, aku langsung berangkat ke Rumah Sakit, di mana temanku dirawat.
Sepanjang perjalanan, aku memikirkan keputusanku semalam dengan Abi dan Umi. Rasanya baru kemarin aku berlari ke sana kemari dengan kakak, dan sekarang aku sudah hampir menjadi seorang istri.
Aku jadi sedih harus melangkahi kakakku, untuk menempuh kehidupan berkeluarga. Ya, emang sih, kak Zi tidak pernah memikirkan hubungan asmara, saking sibuknya berkutat dengan pekerjaan akibat profesinya saat ini.
"Risya," ucapan seseorang berhasil mengeluarkan aku dari lamunanku.
"Eh, iya, Nin. Kamu kenapa?" Ucapku dengan perasaan setengah kaget.
"Lamunin apa, ayo?" Goda Nindita, "nggak kok, Nin. Aku nggak ngelamunin apa-apa," jawabku berusaha mengelak, padahal kenyataannya memang, aku melamun sedari tadi.
"Demi apa? Risya yang selalu jujur, sekarang belajar bohong ke sahabatnya sendiri?" ucap Nindita.
"Bukan hal penting," jawabku. Kemudian mengamit tangan Nindi, "Ayo, kita ke ruang rawat Aya," ucapku kemudian.
Kami pun berjalan ke arah ruang rawat Aya, dan Nindi terus saja mengoceh, masih dengan berusaha membuatku jujur akan hal yang kulamunkan tadi.
Nindi memang sedikit lebih keras di antara kami berempat, ya kalau dia penasaran, dia akan mengorek informasi tersebut sampai menemukan akarnya. 'parahkan?' Pikirku.
Aya, yang memang sedang sakit, tidak bertanya sedikit pun, meski Nindi terus saja menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan, yang masih berkaitan dengan peristiwa tadi.
Laa Ba'sa Thohurun, in syaa Allah, Ay. Syafakillah.
Itulah yang kuucapkan kepada Aya, sebelum kembali pulang ke rumah.
------
Aku sampai di rumah pukul 17.00. Cukup lama bercerita dengan Nindi dan Aya yang se-sekali mengeluarkan suara.
Saat berjalanan memasuki pekarangan rumah, aku melihat ada mobil yang tak biasanya aku lihat. 'Ini mobil siapa?, huh, entahlah,' hatiku.
"Assalamu'alaikum, Bi, Mi," ucapku saat memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam, Sayang" jawab Umi dan Abi serempak, kemudian dapat kulihat Umi berjalan ke arahku.
"Sayang, mereka keluarga calon suami kamu," ucap Umi, dan aku hanya mengangguk, "Assalamu'alaikum, Tante, Om," ucapku kemudian, menatap sopan ke arah sepasang suami yang terlihat seumuran dengan Abi dan Ummi, yang saat ini duduk di sofa krem yang ada di ruangan ini.
"Wa'alaikumussalam, Nak" ucap Om dan Tante yang belum kuketahui siapa namanya.
"Risya, Om, Tante," ucapku menjabat tangan si Tante, kemudian menyatukan kedua tanganku dan menunduk sopan ke arah si Om.
"Maysarah,"
"Rinra Darmawan," ucap mereka bergantian, dan aku hanya tersenyum ke arah mereka, lalu berpamitan untuk ke kamar berganti pakaian.
Selang beberapa menit,
'tok 'tok 'tok...
"Assalamu'alaikum, Dek," panggil seseorang di balik pintu, ya, siapa lagi jika bukan kak Zi.
"Wa'alaikumussalam, buka aja kak, gak dikunci kok," sahutku, dan dapat kulihat kak Zi berjalan ke arah sofa yang ada di kamarku ini, setelah membuka pintu.
"Dipanggil Umi tuh, di bawah," ucap kak Zi.
"Ya Allah, kak Zi yang tampan. Ini Risya baru beberapa menit nyampe kamar, masa udah dipanggil Umi lagi," jawabku sedikit tidak percaya pada ucapan kakakku kali ini.
"Aduh, Adek Kakak, yang cantik ini, kakak serius, Dek. Itu calon suami kamu udah dateng," ucapan kak Zi membuatku diam mematung.
'deg 'deg 'deg , dengarlah! Betapa jantungku berdegup begitu kencang saat ini.
"Dek?" Kak Zi berucap dengan sedikit menekan suaranya agar aku kembali sadar ke-kesadaran yang sebenarnya.
"Eh, iya, Kak. Risya akan turun setelah ganti pakaian. Kakak keluar gih," ucapku setengah mengusir kak Zi, agar keluar dari kamarku.
Setelah kak Zi menghilang di balik pintu, aku berusaha menetralkan pacuan jantungku, baru kemudian aku mandi, lalu berganti pakaian. Sedikit memperhatikan penampilanku di depan cermin meja rias, sebelum beranjak untuk ke lantai bawah, tepatnya ke ruang tamu.
Saat akan menyapa Umi, tanpa sengaja pandanganku bertemu dengan manik mata yang tak asing bagiku. Tapi, cepat kualihkan pandanganku ke arah lain.
'Dia?'
Satu kata, bersifat pertanyaan, yang menggerogoti hatiku saat ini.*****
Re-update! Versi revisi beberapa bagian.
Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar. :*Follow ig:
@nelaarosa / @nelaa.rosaSalam Cinta,
Nela Rosa
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
SpiritualUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...