reflection

37 5 0
                                    

"Kau benar-benar menyedihkan sekali. Lihat dirimu yang penuh rasa putus asa itu. Wajah kacau penuh kekalutan. Kau bahkan hanyalah seorang pecundang yang memiliki ketakutan besar terhadap dirimu sendiri. Sampah!" Aku tersenyum meremehkan.

Benar. Memangnya apa yang bisa dilakukan pecundang jika dia tidak mau merubah nasibnya sendiri. Hanya mau bergerak untuk menyalahkan takdir sementara dirinya berdiam diri pada rasa putus asa. Ironis sekali. Lagipula siapa yang sudi merubahnya jika bukan dirinya sendiri. Manusia memang begitu sulit untuk dipahami. Menginginkan untuk dipahami sementara dia sendiri tidak ingin memahami. Egois dan penuh rasa serakah. Sedangkan dunia bergerak lambat untuk membuat mereka tersadar akan kekeliruannya.

Aku tertawa kecil menatap wajah penuh luka di depanku. Matanya kosong dan tanpa harapan. Silet tajam yang dipegangnya terasa dingin dan permukaan kulit tangannya yang putih mulus telah ternoda warna merah darah.

"Aera, kuingatkan untuk segera menyelesaikan kegiatan menatap refleksi dirimu sendiri dengan cara menyedihkan seperti itu."

"Uh, ya."

"Obati tanganmu, segera keluar kamar dan habiskan sarapanmu. Aku tidak ingin ada orang putus asa mati bunuh diri di rumahku. Itu menyusahkan. Jika ingin melakukannya, lakukan di tempat lain." Pria bermata sipit itu mendelik tajam.

"Ya, baik. Aku minta maaf."

Yoongi mendengus, kemudian menutup pintu kamarku. Aku tersenyum kecil. Setidaknya masih ada satu orang yang membuatku berusaha untuk tetap hidup.[]

SNACK-TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang