6. KEKASIH HATI YANG MARAH.

2.1K 203 111
                                    

A/N : Vote sebelum membaca.



Hari ini Bagas tidak masuk sekolah karena sakit. Ya, setidaknya itu yang aku tahu saat tante Rani datang ke rumah, menitipkan surat izin sakit padaku. Bagas tidak bilang apa-apa dan akhir-akhir ini Bagas juga sering tertangkap basah sedang melamun. Kalau kutanya kenapa, dia pasti bilang 'nggak apa-apa'. Mungkin kalau Bagas itu perempuan aku bisa dengan mudah mengartikan maksud dari kalimat 'nggak apa-apa' yang dilontarkannya—berarti sedang ada apa-apa. Tapi akan sulit kutafsirkan jika kalimat tersebut keluar dari mulut laki-laki. Apakah maksudnya sama saja atau tidak.

Tuh kan, aku jadi bingung sendiri. Nanti saja, pulang sekolah aku ke rumahnya. Barangkali dia mau cerita tentang masalahnya padaku

Ting!

Ponsel di saku seragamku berdering singkat, menandakan sebuah pesan chat masuk. Kulihat sebuah pesan dari Nando.

Mau ke perpustakaan bareng enggak?

Aku melihatnya menatapku dari barisan depan, aku mengangguk membereskan buku-bukuku di atas meja. Oh iya. Ada sesuatu yang lupa kuberitahu pada kalian. Sejak beberapa waktu yang lalu Nando mengantarkanku pulang dan menelepon untuk menanyakan keadaanku—kami menjadi lebih dekat. Dekat dalam artian, aku sering mendengarkan dia bercerita seputar hubungannya dengan Adel. Hal yang sebenarnya tidak penting sekali untuk kuketahui namun terpaksa harus kudengar sebab aku ingin menjadi seorang pendengar yang baik untuk Nando.

Kalau sedang jam kosong atau waktu istirahat Nando sering mengajakku ke perpustakaan. Membaca buku sebentar—sisanya dihabiskan untuk mengobrol dan bercerita. Meski tidak jarang Bu Mareta yang bertugas menjaga Perpustakaan melayangkan tatapan tajam pada kami, terus dia akan bilang, "Psstt.. kalau mau curhat. Sana, di luar perpustakaan!" yang kami balas dengan anggukan lalu tertawa kecil di balik buku yang menutupi wajah kami.

"Gue pikir lo itu cewek introvert garis keras tahu nggak."

"Kenapa kamu mikir gitu?"

"Soalnya udah lama kita sekelas, tapi gue jarang banget denger suara lo. Atau pas gue ajakin ngomong lo cuma jawab seadanya terus pergi. Gue pikir, apa gue bau ya?" Nando mencium ketiak seragamnya, "Dan ternyata gue memang bau."

Aku terkekeh cukup nyaring membuat beberapa siswa langsung mendesis, memperingatkan kami untuk memelankan suara. Lucu saat dia bilang kalau dia itu bau, padahal dia selalu wangi.

"Lo mau coklat?" tawarnya, mengeluarkan beberapa batang coklat kecil dari saku seragamnya. "Low fat, kok," lanjutnya.

"Enggak apa-apa emangnya? Bukannya di perpus enggak boleh makan ya?" aku menunjuk poster larangan makan di perpustakaan yang menempel di dinding.

"Iya, emang enggak boleh kalau ketahuan. Kalau enggak ketahuan, ya boleh-boleh aja,” jawabnya enteng.

"Caranya?"

Nando menyunggingkan senyum penuh arti. Mengambil buku berukuran cukup besar untuk menutup bagian wajahnya. Sambil menunduk, Nando mengupas bungkus coklat dan memakannya. "Gitu caranya. Mau coba?"

Aku melihat sekitar, mengikuti cara yang dilakukan Nando. Sumpah, triknya benar-benar ampuh, tidak ada satu pun yang tahu kalau kami sedang makan. Pantas saja, aku sering melihatnya berlindung di balik buku. Aku pikir dia fokus membaca tahunya dia sedang makan. Huh, dasar!

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang