Satu : Tak Kenal, Maka Kenalan dulu

12 2 5
                                    


Serpihan air hujan membasahi wajah seorang wanita berambut sebahu yang sengaja ia uraikan. Wajahnya familiar bagi rasnya. Ya, wanita tersebut masih memiliki garis keturunan Tionghoa. Wajah yang oriental masih melekat bahkan sangat melekat pada dirinya. Wajahnya yang judes menambah ciri khas pada dirinya. Setiap orang yang mengenalnya akan berpikir bahwa ia orang yang tidak ramah atau bahkan akan takut untuk mendekatinya.

"Lama sekali bus itu datang, tidak seperti biasanya. Perlukah membuat seseorang menunggu, jenuh. Huh!" gerutunya.

Namanya, Adreena Alvina. Sederhana sekali. Sesederhana gaya dan sifatnya. Tak ingin pernah selalu berlebihan.

"Tidak mungkinkan di jalur busway terdapat kemacetan, mana aku hari ini harus kembali ke rumah, dan menikmati setumpuk berkas. Ah sial!" kembali menggerutu pada dirinya.

"Kalau kau terus bicara pada dirimu sendiri harusnya dalam hati saja," sahut seorang lelaki berkulit kuning langsat dan berperawakan tinggi, yang tiba-tiba berdiri tepat di sebelah Adreena. Melemparkan senyum lebar yang iseng.

Adreena hanya memandang acuh lelaki tersebut sambil memutar kedua bola matanya. Satu kata yang ia wakilkan kepada lelaki itu adalah SKSD (sok kenal sok dekat).

"Dasar cowok ganjen belum kenal belum apa, sudah berani berbicara tanpa permisi. Dia pikir siapa dia, emang aku mudah digombal," bisiknya dalam hati.

"Kenapa? Aku belum permisi kan tadi? Tapi tiba tiba aku samperin terus bicara seenaknya gitukan? Kenalannya nanti kalo kita ketemu lagi. Tuh busnya dah nyampe," meninggalkan Adreena tanpa pamit.

Di dalam bus Adreena hanya berani menatap keluar jendela kaca bus, mana mungkin ia berani menatap ke arah lain. Sedangkan lelaki yang tadi, duduk bersebelahan dengannya.

******

Sesampainya di sebuah gedung besar nan bertingkat. Adreena menyusuri beberapa bilik dengan perlahan menikmati kesunyian di koridor. Menurutnya suasana nyaman adalah ketika dirinya tak ada yang mengganggu. Pikirannya menyusun rencana yang akan ia lakukan malam ini. Setelah semuanya selesai, ia akan kembali menikmati sensasi manja di atas matras.

Khayalannya terhenti, buntu. Mendengar derap langkah kaki seseorang yang menapak, suaranya terdengar dari arah belakangnya. Tanpa ragu, ia memutarkan balikkan badannya, mencari tau siapa yang berani mengikutinya. Layaknya film Hollywood, matanya memicing tajam menyorot seseorang itu.

"Hai..." sapa lelaki yang tak asing lagi dimatanya, otaknya mencoba mencari memori lampaunya.

Benar saja, lelaki yang tadi tak sopan menyapa sembarangan.

"Untung saja lelaki tadi tidak berkata hal yang tidak wajar. Coba tidak, sudah habis kugebuk," pikirnya.

"Eh ketemu lagi nih.. sesuai janji aku, aku bakalan ngenalin diri aku. Nama aku...," menyodorkan tangannya.

"Gak usah, aku gak perlu namamu," Adreena pergi begitu saja meninggalkan lelaki yang telah menyodorkan tangannya untuk bersalaman, tapi sayang Adreena tetaplah Adreena kepada siapa pun yang asing ia akan berlaku cuek.

******

Sepulang bekerja, Adreena lebih mengutamakan beranjak ke dapur, di sana ia akan memberikan seduhan teh pada cangkir mini andalannya. Teh juga merupakan pengobat keletihan setelah seharian beraktivitas. Teh Chamomile-lah yang pas membangun moodnya melanjutkan inspirasinya dalam bekerja. Pekerjaan Adreena harus memiliki penuh khayalan inspirasi, jika otaknya buntu maka gagallah tugas pekerjaan. Setelah mempersiapkan sesembahan untuk dirinya bekerja, ia meletakkannya satu persatu di meja yang terletak pada balkon apartemen. Baginya kerapihan persiapan adalah cara sukses menghasilkan inspirasi sehingga memuaskan clientnya.

Tak jarang otaknya keruh ketika setengah perjalanan pekerjaan ia lakukan.

"Sungguh pekerjaan yang menyenangkan" ucapnya.

Kata-kata ini selalu ia ucapkan ketika otaknya berhenti bekerja. Pekerjaan Adreena sungguh memerlukan khayalan, ia merupakan seorang penulis blog, editor, serta tak lama ini ia ditunjuk untuk masuk menjadi tim kreator.

******

Pikirannya tak fokus, tak ayal ia memikirkan perasaan seseorang yan g tadi ia potong pembicaraanya dan ia tinggalkan begitu saja. Sebenarnya Adreena tak tega, tapi bagaimanapun ia tak akan membiarkan dirinya mudah dikenal orang. Bukannya sombong, ia hanya ingin menutup diri dari seseorang. Introvert, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya.

Untuk menyampaikan ketidaknyamanan perasaannya, ia hanya akan membeberkan kisahnya pada orang yang ia percayai. Hilma, wanita yang setia menemaninya dari usia 5 tahun. Hilma adalah tetangga masa kecilnya hingga sebatas SMA, hingga akhirnya mereka telah saling berpisah dari satu tempat ke tempat lain. Menelpon Hilma adalah ide yang bagus, jarinya mulai menggeser mencari nama wanita yang akan ia curah dengan kata-kata yang mewakili perasaannya saat ini.

Tanpa basa-basi, ia menceritakan sedetail-detailnya.

"Aku gak tega sih, Hil, ninggalin dia gitu aja. Aku merasa sih sakit banget tau diacuhin orang gitu aja"

"Ya, kamu mah memang gitu orangnya. Makanya, kalau kamu tau gimana perasaan orang kamu kurangilah sifatmu yang seperti itu.Kamu mah mentang-mentang ga pernah diacuhin orang, kamu se-enaknya memperlakukan orang. Kamu ga jauh beda sama mantan aku," sahut Hilma di seberang sana.

"Yah yang pengen curhat aku malah dia yang curhat," keluhnya.

"Ya kamu mancing-mancing sih, tapi betewe cowoknya ganteng nggak?" sahut Hilma.

"Giliran cowok aja mesti nanya tampangnya dulu, awas loh jangan tertipu tampangnya. Ntar disakitin lagi," ejek Adreen.

"Ya menurut aku sih lumayan, tapi aku ga suka sifatnya yang sembarangan gitu, ganjen tau! Cocoknya sama kamu," tutup Adreena

******

Tarian indah jemari Adreena menari teratur di atas keyboard. Ya, dia menyelesaikan pekerjaan yang tak kunjung selesai sampai kapanpun. Terkecuali, dia memilih mundur dari pekerjaan, mungkin saja ia akan menjadi pengangguran.

Namun, pekerjaan yang ia lakoni ini adalah hobinya juga. Bagaimana ia akan mudah move ke pekerjaan yang lain. Seperti halnya perasaannya yang tak mudah move, bahkan walau itu menyakitkan dirinya sendiri.

Waktu telah menunjukkan larut malam. Mata Adreena terus saja terpaku pada layar laptop. Walau matanya sudah tinggal seperempat lebih kecil, bahkan segaris. Kembali ke matras adalah hal baik, akan lebih baik lagi jika ia merampungkan sejumlah berkas. 

Akasa AbuWhere stories live. Discover now