Puteri itu memandang tajam ke arah Ceng To Hwesio, kemudian menjura dan berkata, suaranya tetap merdu dan tenang.
"Maaf, Losuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, juga pertanyaan dari Totiang wakil Hoa-san-pai yang sifatnya sama, lebih dulu saya hendak mengajukan pertanyaan dengan harapan agar Losuhu sudi menjawab secara sejujurnya. Pertama, dalam pertandingan perorangan terdapat istilah curang kalau orang itu menggunakan cara-cara yang melanggar ketentuan pertandingan. Akan tetapi di dalam keadaan perang terdapat istilah siasat, dan apakah seorang panglima yang menggunakan siasat dalam perang untuk menjebak pihak musuh dapat disebut curang pula?"
"Siasat dalam perang bukahlah kecurangan," jawab Ceng To Hwesio dan semua orang mengangguk karena siapakah yang akan dapat mengatakan bahwa siasat dalam perang itu curang?
"Terima kasih," kata Nirahai sambil tersenyum. "Pertanyaan kedua, jika seorang prajurit dalam perang membunuh lawan, tanpa peduli siapa lawan yang berada di pihak musuh itu, apakah dia dianggap bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji?"
"Tentu saja tidak," jawab pula Ceng To Hwesio. "Membunuh musuh dalam perang merupakan pelaksanaan tugasnya."
Kini Nirahai tersenyum manis sekali, sepasang matanya berseri-seri dan suaranya merdu dan nyaring, "Terima kasih Losuhu. Jawaban-jawaban Losuhu memang tepat sekali dan tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Nah, sekarang terjawablah pertanyaan-pertanyaan Losuhu sebagai wakil Siauw-lim-pai dan Totiang sebagai wakil Hoa-san-pai. Sesungguhnya, saya yang kini mendapat kehormatan memegang pusaka keramat dari pendekar sakti Suling Emas, dan mengaku sebagai ahli waris ilmu-ilmu pusaka Mutiara Hitam, seujung rambut pun tidak mempunyai rasa permusuhan, apa lagi kebencian terhadap para orang gagah di dunia kang-ouw. Sebaliknya, saya bahkan menaruh hormat dan kagum. Akan tetapi mengapa saya membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai? Karena tugas saya, tugas seorang prajurit kerajaan Ayahanda Kaisar! Dan mengapa pula saya menggunakan fitnah kepada Hoa-san-pai, menggunakan siasat untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Karena tugas saya sebagai panglima dalam perang! Semua yang saya lakukan itu demi tugas dan terjadi dalam perang. Permusuhan dalam perang bukanlah permusuhan pribadi, karena kalau peristiwa yang timbul sebagai akibat perang lalu dijadikan dendam pribadi, saya kira di dunia ini akan terjadi dendam-mendendam yang tiada habisnya! Saya harap saja Losuhu wakil Siauw-lim-pai dan Totiang wakil Hoa-san-pai dapat menerima penjelasan saya ini yang keluar dari hati, bukan sekedar alasan kosong untuk menghindarkan diri dari kesalahan."
Semua yang mendengar ucapan puteri itu diam-diam terpaksa harus membenarkannya. Akan tetapi tiba-tiba seorang kakek yang berpakaian pengemis bangkit berdiri. Han Han dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang anggota Pek-lian Kai-pang, yang dengan sikap gagah berkala lantang.
"Semua uraian Kouwnio memang tepat dan sebagai orang-orang gagah kita harus dapat menangkap kebenarannya. Sudah menjadi hak dan kewajiban Kouwnio untuk bertugas membela bangsa dalam perang, dan hal ini memanglah kewajiban suci orang gagah. Akan tetapi, kami pun orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kepahlawanan, kami berkewajiban pula untuk membela negara dan bangsa, menentang penjajah tanah air dari bangsa asing! Kalau sekarang kami menyetujui uluran tangan pemerintah Mancu untuk bekerja sama, bukankah hal itu berarti hendak menyeret kami patriot-patriot gagah menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang rendah dan hina?"
Semua mata orang gagah yang hadir di situ mengeluarkan sinar bersemangat, dan Han Han makin tertarik, ingin sekali mendengar bagaimana tangkisan puteri yang cerdik itu terhadap serangan yang amat hebat ini. Akan tetapi puteri itu tersenyum dan tetap tenang saja. Setelah memandang ke arah penyerangnya dengan sinar mata tajam, ia lalu menjawab.
"Pertanyaan Lo-enghiong mengandung beberapa hal yang perlu saya jawab satu demi satu. Pertama, Lo-enghiong menyatakan bahwa tanah air dijajah oleh bangsa asing! Manakah bangsa asing? Bangsa kita yang besar mempunyai puluhan suku bangsa, di antaranya suku bangsa Khitan, Mongol, Mancu dan lain-lain suku bangsa yang tersebar di daerah utara dan barat di tanah air kita yang luas. Jadi kalau sekarang negara berada di dalam bimbingan tangan suku bangsa Mancu, tidak dapat dikatakan bahwa tanah air dijajah bangsa asing! Di dalam catatan sejarah masih dapat diperiksa betapa eratnya hubungan antara suku bangsa-suku bangsa ini. Kalau suku bangsa Mancu dianggap bangsa asing, bagaimana dengan suku bangsa Khitan? Kalau Khitan merupakan bangsa asing, apakah cu-wi sekalian hendak mengatakan bahwa pendekar sakti Suling Emas memperisteri wanita asing? Apakah pendekar wanita Mutiara Hitam juga berdarah bangsa asing, dan sekarang tidak tepat kalau dikatakan bahwa kaisar yang bersuku bangsa Mancu merupakan kaisar asing yang menjajah! Lebih tepat dikatakan bahwa Ayahanda Kaisar telah berhasil menghalau kaisar lalim dan membebaskan rakyat jelata dari pada penindasan!"
Semua orang saling pandang dan kembali uraian itu sukar mereka jawab secara tepat karena memang mereka tidak dapat memastikan benar apakah bangsa Mancu termasuk bangsa asing ataukah hanya suku bangsa mereka yang besar!
"Sekarang hal ke dua. Tadi Lo-enghiong mengatakan bahwa sudah menjadi tugas kewajiban seorang patriot untuk membela bangsanya. Tepat sekali! Memang tugas seorang gagah perkasa, seorang patriot untuk membela bangsanya yang tertindas, akan tetapi bukan sekali-kali berarti bahwa seorang gagah harus membela kaisarnya yang lalim dan menindas rakyat, bukan? Buktinya, jauh sebelum suku bangsa Mancu berhasil menumbangkan Kerajaan Beng-tiauw yang bobrok, telah banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang sebetulnya merupakan usaha dan perjuangan para orang gagah untuk membela rakyat yang tertindas dan mengenyahkan kaisar dan antek-anteknya yang lalim. Lo-enghiong sendiri kalau saya tidak salah duga, tentulah anggota Pek-lian Kai-pang dan apakah Pek-lian Kai-pang itu? Bukankah perkumpulan orang gagah ini merupakan kelanjutan dari pada Pek-lian-kauw, perkumpulan yang dahulu tak pernah berhenti berusaha menggulingkan kaisar lalim dari Kerajaan Beng-tiauw? Nah, dengan demikian, bukankah usaha suku bangsa Mancu pun merupakan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat penindasan Kerajaan Beng-tiauw yang tidak becus? Dengan demikian, antara kami dengan cu-wi sekalian terdapat cita-cita yang sama, yaitu membebaskan rakyat dari penindasan. Kita sama-sama pejuang dan karenanya sudah sepatutnya kalau kita bergandengan tangan, bekerja sama untuk mengangkat rakyat yang sudah ratusan tahun ditindas itu agar mereka hidup makmur!"
Han Han memandang dengan mata terbelalak. Kagum bukan main hatinya. Wanita ini benar-benar luar biasa, pikirnya dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memandang wajah yang cantik itu. Getaran yang aneh seperti terpancar keluar dari wajah itu dan menyentuh lubuk hatinya, membuat ia kagum dan terpesona.
Biar pun semua orang kini tak mampu lagi berkutik, kakek pengemis yang berhati keras itu masih tidak mau menyerah kalah. "Kouwnio, kalau benar bahwa kerajaan yang baru ini mengulurkan tangan kepada para patriot, mengapa sampai sekarang Se-cuan diserang terus? Bukankah Bu-ongya juga seorang patriot besar yang mengorbankan segalanya untuk mempertahankan nusa bangsanya?"
Wajah puteri itu yang tadinya berseri dan tersenyum-senyum, kini berubah keras, matanya bersinar tajam berwibawa, dan suaranya nyaring berkata, "Bu Sam Kwi sama sekali bukan seorang pejuang yang membela rakyat! Dia berjuang untuk kepentingan sendiri, untuk menjadi raja! Lebih buruk lagi, dia adalah pengkhianat yang bermuka dua!"
Semua orang terkejut mendengar ini dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan marah dan penasaran. Melihat ini, Nirahai cepat menyambung, "Hendaknya cu-wi sekalian jangan silau oleh tipuan pengkhianat licik itu dan marilah kita ikuti riwayatnya! Bu Sam Kwi dahulunya siapa? Dia seorang panglima Kerajaan Beng-tiauw. Dan dia telah memberontak terhadap Kerajaan Beng-tiauw! Dengan dalih hendak membasmi Kaisar Beng-tiauw yang lemah dan lalim, dia mengajak suku bangsa Mancu yang pada waktu itu dipimpin oleh Paman Pangeran Dorgan untuk bersekutu. Setelah kami berhasil menyerbu ke selatan, Bu Sam Kwi memperlihatkan muka ke dua dan memusuhi kami! Dia tidak hanya berkhianat terhadap Beng-tiauw, akan tetapi berkhianat pula terhadap kerajaan baru! Orang macam itu mana ada harganya? Dia melawan kerajaan baru semata-mata karena hendak mengangkangi kerajaan dan hendak mengangkat diri sendiri menjadi raja, sama sekali bukan hendak membela rakyat! Hal ini diketahui baik oleh Pangeran Kiu yang bijaksana sehingga kini Pangeran Kiu yang diwakili oleh kedua orang pendeta Lama yang terhormat ini, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, bersama-sama suku bangsa Tibet menerima uluran tangan kami. Bu Sam Kwi mengobar-ngobarkan perang, membuat rakyat makin sengsara. Akan tetapi, dia hanya tinggal menanti saatnya untuk kami hancurkan. Sekali lagi, harap cu-wi tidak tertipu oleh kepalsuan orang yang bermuka dua itu!"
Hening sampai lama sekali setelah Nirahai mengeluarkan ucapan yang penuh semangat ini. Kakek pengemis mengeritkan keningnya, berpikir dan menjadi ragu-ragu akan pendiriannya semula. Tiba-tiba terdengar Ceng To Hwesio berkata.
"Bagaimana kami dapat mengetahui bahwa pemerintah baru ini tidak sama buruknya dengan yang lama? Apakah buktinya bahwa suku bangsa Mancu yang telah berhasil memegang pimpinan ini mempunyai niat yang mulia terhadap rakyat?"
Kembali Nirahai tersenyum. "Inilah pertanyaan yang tepat dan penting, Losuhu, dan jawabannya tentu saja memerlukan bukti! Saya tidak akan membujuk cu-wi sekalian orang-orang gagah untuk percaya begitu saja. Akan tetapi marilah kita sama-sama membuktikan sendiri! Saya pun mempunyai darah keturunan keluarga Suling Emas, tanpa malu-malu saya pun menggolongkan diri sebagai orang gagah. Andai kata kelak ternyata bahwa kaisar kita lalim, biar pun kaisar itu Ayah saya sendiri, apakah saya akan tinggal diam? Tidak, saya tetap akan bergandeng tangan dengan cu-wi untuk menentang kelaliman dan membela rakyat yang tertindas!"
Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini dan Han Han menarik napas panjang. Wanita hebat! Sukar dicari keduanya! Cantik jelita, lihai ilmunya dan cerdik bukan main, akan tetapi juga gagah perkasa. Dia mau percaya bahwa seorang seperti Puteri Nirahai itu tentu akan memegang janjinya.
"Baiklah, Kouwnio. Pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai berjanji akin menarik semua murid Siauw-lim-pai, tidak akan mencampuri urusan perang. Akan tetapi jangan dikira bahwa kami akan menjadi penonton yang hanya berpeluk tangan saja. Kalau kelak ternyata bahwa pemerintah ini sama buruknya dengan yang lalu, tentu kami akan mencabut senjata lagi melakukan pembalasan terhadap rakyat yang tertindas!"
"Kami juga berjanji!"
"Kami juga!"
"Kami juga!"
Ramailah para tamu yang hadir itu membuka suara, dan biar pun ada yang hanya tinggal diam, namun jelas bahwa jumlah yang setuju untuk berdamai jauh lebih besar, sedangkan yang membantah tidak ada seorang pun. Setelah semua diam, terdengar Ceng To Hwesio berkata, suaranya kereng.
"Kouwnio, ada sebuah hal yang dapat kita pergunakan untuk membuktikan sampai di mana iktikad baik pemerintah baru."
"Harap Losuhu katakan tanpa ragu-ragu. Hal apakah itu?" Nirahai bertanya ramah.
"Pemerintah yang baik tidak akan mempergunakan kaki tangan yang jahat, dan kalau memang pemerintah menghargai orang-orang gagah, tentu tidak akan melindungi orang jahat pula."
"Maksud Losuhu bagaimana?"
"Terus terang saja, biar pun kini urusan pemerintah telah dapat diselesaikan dengan damai dan tidak mencampuri perang, akan tetapi bagaimana dengan permusuhan pribadi?"
Sepasang mata itu dengan tajamnya menyambar dan menentang wajah hwesio tua itu. "Maksud Losuhu? Ingat bahwa semua yang saya lakukan dahulu adalah sebagai lawan dalam perang!"
Hwesio itu tertawa. "Kouwnio agaknya salah mengerti. Dengar Kouwnio, sungguh pun Kouwnio telah membunuh dua orang murid Siauw-lim-pai, akan tetapi persoalan itu telah beres oleh penjelasan Kouwnio tadi. Yang pinceng maksudkan adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang kini menjadi pembantu Kouwnio!"
Nirahai melirik ke arah Gak Liat, lalu berkata sambil lalu, "Losuhu maksudkan bahwa antara Losuhu dan Gak-locianpwe terdapat urusan pribadi?"
"Benar, Kouwnio. Urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pangkutnya dengan urusan perang, kejahatan Kang-thouw-kwi terhadap murid Siauw-lim-pai yang hanya dapat ditebus dengan nyawa!"
Nirahai mengerutkan kening, kemudian menggerakkan kedua pundak mengembangkan kedua lengan sambil berkata, "Kita berada di antara para orang gagah. Pemerintah berpendirian untuk membasmi kejahatan, untuk melindungi rakyat. Apa bila di antara para orang gagah ada dendam pribadi, tentu saja pemerintah mempersilakan mereka untuk menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan, bahkan kami berjanji untuk menjadi saksinya agar penyelesaian urusan pribadi itu dilakukan dengan seadil-adilnya, tidak ada pengeroyokan, tidak ada kecurangan!"
"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Sang Puteri benar-benar telah bersikap adil. Nah, orang-orang Siauw-lim-pai! Kalau memang kalian mempunyai dendam terhadap diriku, mari kita bereskan sekarang juga!" Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah meloncat ke depan dan dengan sikap menantang memandang kepada Ceng To Hwesio.
Ceng To Hwesio menggerakkan lengan bajunya yang lebar. "Omitohud! Kang-thouw-kwi Gak Liat yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu tidak akan bersikap pengecut dan berani mempertanggung jawabkan kedosaannya! Apakah engkau sudah merasa akan dosamu terhadap Siauw-lim-pai?"
"Ha-ha-ha! Dosa? Dosa itu apakah? Kau maksudkan murid wanita, seorang di antara Kang-lam Sam-eng itu? Ha-ha-ha! Itu kau anggap dosa?"
"Gak Liat, manusia berwatak binatang! Siaplah engkau menghadapi pinceng! Sekarang di depan para orang gagah kita membuat perhitungan!" Sambil berkata demikian, Ceng To Hwesio melolos sabuknya dan sekali ia menggerakkan tangan, sabuk kain berwarna kuning itu menjadi kaku seperti baja! Hal ini membuktikan betapa kuat sinkang dari hwesio tua ini dan semua tamu memandang dengan hati tegang.
Akan tetapi Gak Liat tertawa bergelak, kemudian suara ketawanya itu tiba-tiba terhenti, matanya melotot memandang hwesio itu dan terdengar suaranya bernada sombong.
"Hwesio bosan hidup! Engkau siapakah? Kalau hendak membalas dendam, kenapa tidak Ceng San Hwesio ketuamu saja yang maju menghadapi aku?"
"Tidak perlu ketua kami! Untuk menghajar seekor anjing perlu apa menggunakan penggebuk besar? Pinceng Ceng To Hwesio mewakili suheng untuk membalas dendam terhadap kebiadabanmu! Majulah, Kang-thouw-kwi!"
"Susiok-couw (Paman Kakek Guru), karena dia berdosa terhadap sumoi, biarkan teecu yang melayaninya!"
Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng menggerakkan cambuk besinya meloncat maju. Orang yang pendek kecil ini merasa sakit hati sekali terhadap Gak Liat yang telah memperkosa Bhok Khim, sumoi-nya yang tersayang sehingga ia lupa diri dan hendak nekat mengadu nyawa. Akan tetapi Ceng To Hwesio yang maklum bahwa cucu keponakan ini masih jauh untuk dapat melawan datuk kaum sesat itu, langsung membentaknya dan menyuruhnya minggir. Kemudian Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat sambil melintangkan sabuknya dan menantang.
"Mari, Kang-thouw-kwi. Kita tua sama tua mengakhiri perhitungan kita di sini!"
"Ha-ha-ha, aku telah siap sejak tadi. Kalau kau memang sudah bosan hidup, maju dan seranglah, Ceng To Hwesio!"
"Omitohud, ijinkan hamba membasmi manusia iblis ini, bukan karena benci, melainkan untuk menyelamatkan manusia-manusia lain!" Ceng To Hwesio berkata lirih seperti berdoa, lalu tubuhnya bergerak dan ia sudah menerjang maju, sabuknya menyambar ke arah muka Gak Liat.
Setan Botak ini tertawa, melangkah mundur dan membiarkan sabuk lewat di depan mukanya, tangan kirinya sudah diluncurkan ke depan mencengkeram ke arah pusar lawan. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang hebat bukan main. Semua penonton termasuk Han Han memandang penuh ketegangan.
Ceng To Hwesio adalah sute dari ketua Siauw-lim-pai. Ilmu kepandaiannya biar pun belum dapat disejajarkan dengan Ceng San Hwesio, namun sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat kalau dibandingkan dengan seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Juga hwesio tua ini telah berpuluh tahun hidup bersih sehingga ia telah berhasil menghimpun tenaga dalam yang kuat di tubuhnya.
Namun, menghadapi Gak Liat yang tingkatnya sebanding dengan ketua Siauw-lim-pai, ia masih kalah jauh. Betapa pun juga, hwesio yang berkemauan sangat keras untuk menyingkirkan lawan yang dianggapnya amat jahat seperti iblis ini tidak menjadi jeri. Cengkeraman itu dapat ia elakkan dengan meloncat ke samping dan dari pinggir ini, sabuknya yang telah ia gerakkan menjadi kaku itu menyodok ke arah perut Setan Botak. Namun datuk kaum sesat ini tertawa dan sengaja menerima sodokan itu dengan memasang perutnya menyambut.
"Dukkk! Wuuuttttt!"
"Aihhh...!"
Ceng To Hwesio meloncat tinggi ke belakang dan hampir saja ia celaka. Saat sabuknya yang menjadi kaku menyodok perut, ia merasa betapa senjatanya itu membalik, bertemu dengan benda yang seperti karet, dan tangan Gak Liat sudah melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang mengandung hawa panas melebihi api. Biar pun hwesio Siauw-lim-pai ini sudah meloncat dan menghindar, pundaknya kena diserempet hawa pukulan dan terasa panas sekali, bahkan bajunya robek dan kulitnya gosong menghitam!
"Ha-ha-ha-ha! Begitu saja kepandaianmu, Ceng To Hwesio?" Gak Liat tertawa bergelak.
Nirahai mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai itu bukanlah lawan Gak Liat yang lihai. Dia tidak memihak Gak Liat, sebaliknya malah hatinya condong memihak kepada hwesio Siauw-lim-pai karena dia dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri murid wanita Siauw-lim-pai itu. Tetapi dia pun masih membutuhkan tenaga bantuan seorang lihai seperti Gak Liat.
Biarlah, pikirnya, makin banyak permusuhan diselesaikan makin baik agar pemerintah tidak banyak pusing menghadapi permusuhan-permusuhan pribadi antara tokoh-tokoh kang-ouw ini. Kalau saja hwesio Siauw-lim-pai itu tahu diri, pikirnya, dan mengaku kalah, maka permusuhan itu akan dihabiskan dan dia dapat menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencegah Gak Liat melakukan pembunuhan.
Ada pun Han Han yang menonton dari tempat sembunyinya, dia tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan itu. Ingin ia membantu Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat, akan tetapi dia tahu bahwa pertandingan itu dilakukan secara adil dan bahkan kalau dia turun tangan, maka dia hanya akan mengacaukan maksud baik Puteri Nirahai. Maka ia hanya menonton dan berkali-kali menarik napas panjang, maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai yang nekat itu hanya akan membunuh diri melawan Gak Liat yang amat lihai pukulan Hwi-yang Sin-ciang-nya itu.
Ceng To Hwesio benar-benar nekat. Dia sudah menerjang maju lagi. Kini sabuknya ia putar-putar dengan tangan kanan melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan tangan kirinya menggunakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) untuk menyerang. Betapa pun kebal tubuh lawan, kalau terkena cengkeramannya ini agaknya akan celaka!
Gak Liat yang amat lihai dan banyak pengalamannya itu pun maklum bahwa biar pun tingkatnya jauh lebih tinggi, namun dia pun tidak boleh memandang rendah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Cepat dia menggerakkan kedua tangan menangkis, dan ada kalanya harus mengelak sambil menanti saat baik. Ketika sabuk itu menyambar ke arah lehernya, secepat kilat ia menangkap sabuk itu, membiarkan cengkeraman tangan kiri hwesio ke arah leher itu mengenai pundaknya dengan jalan miringkan tubuh. Pada saat tangan kiri Ceng To Hwesio mencengkeram pundaknya, tangan kanan Gak Liat menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
"Brettt... desssss!"
Baju di pundak Gak Liat robek, akan tetapi tubuh Ceng To Hwesio terlempar ke belakang dan terbanting roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena seluruh dada dan perutnya berubah menjadi hitam seperti terbakar!
"Manusia iblis...!" Khu Cen Tiam dan Liem Sian, dua orang di antara Kang-lam Sam-eng meloncat maju. Khu Cen Tiam menyerang dengan cambuk besinya, sedangkan Liem Sian yang tinggi besar sudah menggunakan sin-pan, yaitu toya kuningan yang amat berat.
"Cring-tranggg...!"
Dua orang murid Siauw-lim-pai ini meloncat mundur karena kaget ketika senjata-senjata mereka ditangkis dan tangan mereka tergetar. Yang menangkisnya adalah Puteri Nirahai, menggunakan pedang payungnya. Puteri itu berdiri dengan kereng dan berkata.
"Ji-wi Lo-enghiong harap suka memenuhi janji. Losuhu ini telah kalah dan mati dalam pertandingan adalah yang lumrah. Lebih baik mati dalam pertandingan yang adil dari pada berlaku curang yang hanya akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai! Lebih baik ji-wi membawa jenazah Losuhu ini dan tidak perlu memperbesar permusuhan karena sudah terang bahwa pihak Siauw-lim-pai telah kalah dalam pertandingan yang syah dan adil."
Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu menghela napas, menyimpan senjata mereka lalu mengangkat jenazah Ceng To Hwesio. Sebelum pergi, Khu Cen Tiam berkata kepada Gak Liat, "Kang-thouw-kwi, urusan di antara kita masih belum habis. Tunggulah kami melaporkan hal ini kepada ketua kami."
"Ha-ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi, lebih baik ketua Siauw-lim-pai sendiri yang maju, barulah ramai! Aku akan selalu menanti, ha-ha-ha!"
Akan tetapi, sebelum dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan nyaring, "Setan Botak, nyawamu sudah berada di tanganku dan engkau masih bicara sombong!"
Dua orang di antara Kang-lam Sam-eng menengok ke arah wanita berpakaian putih yang muncul tiba-tiba itu dan mereka berbareng berseru keras penuh kekagetan dan keheranan, "Sumoi...!"
Gak Liat memandang dengan mata terbelalak, dan sinar matanya membayangkan rasa ngeri dan cemas. Han Han segera mengenal wanita itu sebagai wanita yang dahulu menjadi orang ke tiga dari Kang-lam Sam-eng, yaitu Bhok Khim yang dahulu diperkosa Gak Liat dan kemudian untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu membobol dinding kelenteng Siauw-lim-si, keluar dari kamar penyiksa diri dan membawa seorang anak laki-laki. Jantung Han Han berdebar keras, perasaannya terguncang penuh ketegangan.
Orang-orang lain yang berada di situ, termasuk Nirahai, terheran-heran dan tidak tahu siapa gerangan wanita yang wajahnya masih cantik akan tetapi rambutnya riap-riapan pakaiannya kusut dan wajahnya membayangkan kemarahan dan kelihatan beringas sekali itu.
"Kau... kau... kau murid Siauw-lim-pai itu...!" Gak Liat akhirnya teringat dan di luar kesadarannya ia berteriak.
"Kakek keparat, manusia iblis Gak Liat. Benar, akulah Bhok Khim dan aku datang untuk merenggut nyawamu!"
Setelah berkata demikian, Bhok Khim sudah menyerang dengan hebatnya, menubruk dan kedua tangannya mencengkeram seperti seekor harimau mengamuk. Namun dari gerakannya itu menyambar hawa yang amat kuat sehingga Gak Liat sendiri sampai menjadi kaget. Cepat-cepat kakek ini mengelak dengan lompatan ke kiri, namun dengan kecepatan yang amat luar biasa, Bhok Khim sudah mendorongkan kedua tangannya ke kanan dan... tubuh Gak Liat terjengkang lalu terguling sampai lima kali. Dia meloncat kaget sekali, akan tetapi merasa lega bahwa dia tidak terluka sungguh pun harus ia akui bahwa tenaga dorongan wanita ini hebat bukan main!
Melihat pertandingan yang sedang dimulai ini, Puteri Nirahai kini mengerti siapa adanya wanita itu, maka ia berseru nyaring, "Pertandingan antara dua orang yang mempunyai dendam pribadi, harap yang lain tidak mencampuri!"
Seruan ini menenangkan suasana dan kini semua orang menonton dua orang yang sudah mulai bertanding dengan hebatnya. Diam-diam Han Han yang menyaksikan pertandingan itu terkejut dan kagum sekali. Gerakan Bhok Khim amat aneh dan terutama sekali hawa yang menyambar keluar dari kedua tangannya amat kuat, anginnya mengeluarkan suara bercuitan seperti pedang yang digerakkan dengan tenaga sinkang kuat.
Tahulah dia bahwa wanita itu di dalam kamar penyiksa diri telah dapat mencuri ilmu yang diajarkan oleh kakek sakti Kian Ti Hosiang kepada Siauw Lam Hwesio, pelayannya. Ilmu inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Kian Ti Hosiang. Akan tetapi menyaksikan betapa ilmu itu kini amat ganas dan liar, dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu mempelajarinya secara keliru sehingga menyeleweng. Tetapi melihat hebatnya gerakan Bhok Khim, dapat diduga betapa hebatnya ilmu yang dicuri oleh wanita itu dari balik dinding kamar penyiksa diri.
Berkali-kali Gak Liat roboh terguling akan tetapi karena dia memiliki kekebalan luar biasa, maka pukulan hawa aneh itu hanya membuat ia roboh bergulingan, sama sekali tidak melukainya. Melihat ini Han Han merasa sayang sekali dan ia dapat menduga bahwa wanita itu ternyata hanya mewarisi 'kulit' dari ilmu itu, masih kehilangan inti sarinya, karena kalau sudah mengenal 'isinya', agaknya ilmu yang hebat itu pasti tidak akan dapat tertahan oleh Gak Liat.
Agaknya Gak Liat yang jauh lebih matang pengalamannya dalam hal pertandingan ilmu silat juga dapat mengerti akan hal itu. Tiba-tiba ia tertawa bergelak dan kini ia mengimbangi serangan-serangan Bhok Khim yang ganas dan liar itu dengan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang sambil menggulingkan diri.
"Celaka...!" Han Han berseru dalam hatinya. Ia memang sudah tahu bahwa serangan Bhok Khim itu tidak akan ada artinya kalau lawannya bergulingan seperti itu dan kini biar pun memukul sambil menggulingkan diri, Hwi-yang Sin-ciang dari Setan Botak itu tidak berkurang kedahsyatannya!
Benar saja, setelah Gak Liat membalas serangan dengan bergulingan dan memukul secara bertubi-tubi, Bhok Khim terkejut sekali dan ketika ia agak terlambat mengelak, pinggangnya kena serempet pukulan panas itu dan ia menjerit, roboh terguling dan pakaiannya robek di bagian pinggang!
"Ha-ha-ha!" Gak Liat tertawa bergelak.
Akan tetapi ia menghentikan ketawanya dengan tiba-tiba karena ternyata Bhok Khim sudah meloncat bangun kembali sambil menubruknya dan mengeluarkan suara melengking nyaring seperti kuntilanak! Gak Liat masih berusaha membuang diri ke samping sambil memukul dengan telapak tangannya. Akan tetapi Bhok Khim sudah mendahuluinya, menangkap kedua tangannya, pada pergelangan tangan dan gerakan tubrukannya yang kuat itu membuat Gak Liat roboh terlentang, ditindih oleh Bhok Khim!
Kedua orang itu bergulingan, bergumul di atas rumput dan karena bergumul dengan kacau, saling membetot bersitegang melepaskan dan mempertahankan tangan yang dicengkeram, maka tubuh mereka saling tindih sehingga kelihatan seperti kedua orang laki-laki dan wanita itu sedang bermain asmara dan bersendau-gurau sambil bergumul. Namun semua yang hadir mengerti bahwa pertandingan itu merupakan pertandingan mati-matian, siapa yang kalah tentu tewas, maka mereka memandang dengan hati penuh ketegangan.
Memang hebat dan menegangkan pertandingan yang kini tidak lagi memakai teori ilmu silat itu. Cengkeraman jari-jari tangan Bhok Khim pada kedua pergelangan tangan Gak Liat benar-benar kuat, seolah-olah jari-jari tangannya sudah terbenam ke dalam lengan kakek itu. Biar pun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja kesepuluh jari tangan Bhok Khim itu tidak dapat terlepas dari tangan Gak Liat, seolah-olah menjadi sepuluh ekor lintah yang menghisap darahnya!
Gak Liat mulai menjadi gugup dan juga marah bukan main. Kalau dia dikalahkan dengan ilmu silat yang lebih tinggi, dia tidak akan penasaran. Akan tetapi dikalahkan dengan cara wanita berkelahi, mencengkeram dan mencakar, benar-benar amat memalukan! Lebih celaka lagi, kini wanita gila itu mulai berusaha untuk menggigit tenggorokannya! Dalam keadaan seperti itu, Gak Liat menjadi makin malu dan bingung.
Ia kembali meronta dan menendangkan kakinya agar tubuh yang menindihnya itu terlepas, akan tetapi kini Bhok Khim sudah mengaitkan kedua kakinya yang panjang dan berkulit halus itu ke pinggang Gak Liat dan tiba-tiba mukanya menunduk ke arah tenggorokan! Dilihat sepintas lalu, seolah-olah wanita cantik yang kini rambutnya terlepas dan awut-awutan menyembunyikan mukanya itu hendak mencium Gak Liat!
Terdengar lengking yang serak seperti serigala disusul teriakan Gak Liat karena tenggorokannya telah tergigit oleh Bhok Khim! Hal ini hanya dapat terjadi karena gelora nafsu birahi yang timbul di dalam hati kakek itu. Pergumulan itu, bau keringat dan rambut Bhok Khim, membangkitkan nafsu birahi di hati Gak Liat sehingga ia sejenak terpesona dan kehilangan kewaspadaan, maka terlambat ia menyadari bahwa wanita itu bukan hendak mencium bibirnya seperti yang dikhayalkannya dalam buaian nafsu, melainkan menggigit tenggorokannya. Rasa nyeri yang hebat membuat Gak Liat marah sekali. Biar pun tangannya masih dicengkeram, namun ia mengerahkan tenaga memukul sehingga tangan Bhok Khim yang mencengkeram terbawa dengan keras sekali dan pukulan Hwi-yang Sin-ciang bersarang di dada wanita itu!
Pukulan ini hebat bukan main dan tokoh lain yang tinggi kepandaiannya pun kiranya akan tewas seketika menerima pukulan maut ini. Akan tetapi di dalam diri Bhok Khim terdapat hawa aneh yang timbul sebagai akibat dari mempelajari ilmu tinggi yang keliru. Biar pun pukulan itu membuat dadanya seperti remuk akan tetapi tidak membuat ia tewas dan dalam kenyeriannya ia memperkuat gigitannya sampai gigi-giginya menembus kulit daging dan mengoyak urat besar!
"Desssss!"
Sekali lagi Gak Liat memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat karena urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher itu keluar suara mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi darah yang mengucur seperti pancuran air!
Setelah tubuh Gak Liat yang berkelojotan itu menegang lalu terkulai, barulah semua orang menghela napas dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar hebat wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangannya lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem Sian.
"Suheng... suheng... harap suheng... merawat... anakku...," terdengar suaranya lemah. Suara yang terdengar aneh, seperti suara yang datangnya dari lubang kubur. Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!
"Kami bukan suheng-mu!" Khu Cen Tiam membentak, jijik dan marah. "Anakmu adalah anak haram, anak iblis, dan engkau sendiri sudah menjadi iblis betina!"
Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim menjadi benci ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi makin benci karena biar pun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid Siauw-lim-pai! Karena itu mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang dianggap mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
"Kami bukan suheng-mu dan engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!" Liem Sian ikut membentak.
"Suheng... tolong... anak... ku..." Bhok Khim masih terus mencoba untuk mohon kepada bekas kedua suheng-nya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Ibils betina!" Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu karena kalau dibiarkan bicara terus, mereka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan dan pencemoohan para tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.
"Tring-tringgg...!"
Cambuk besi dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Han Han telah berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.
"Pesan seorang yang akan mati adalah pesan keramat, apa lagi kalian adalah bekas suheng-nya. Betapa kejinya hati kalian!" bentak Han Han tanpa mempedulikan siapa pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.
"Toanio, biar siauwte yang akan menolong dan merawat puteramu. Di mana dia?"
Bhok Khim membelalakkan matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini. "Kau... kau... dua kali kau menolongku... Ahhhh... terima kasih... anakku... kuserahkan padamu... kasihan dia... dia tidak berdosa... dia... dia... aaahhhhh... dia berada..."
"Di mana? Di mana puteramu, Toanio...?" Han Han bertanya, mengguncang pundak itu.
Bhok Khim sudah meramkan matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han mendekatkan telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menangkap kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu. Bagaikan hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara itu, semua orang memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenalnya. Ada pun mereka yang sudah mengenalnya memandang Han Han dengan hati gentar karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya.
Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan tetapi tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui kehadiran pemuda itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya! Teringat akan ini, tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara dingin.
"Setelah dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke sini?"
Han Han mengangkat muka lalu berbalik dan memandang puteri itu, lalu menjawab tenang, "Engkau telah menawan adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana perginya adikku itu."
Kedua alis yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel, "Apa kau kira aku menyembunyikan Lulu?"
"Aku tidak mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu?" Han Han bertanya, tetap tenang biar pun semua orang yang berada di situ memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan sesuatu, sungguh pun kini setelah berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah puteri itu benar-benar amat cantik seperti bidadari.
"Aku tidak tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar sumoi-ku, akan tetapi dia mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi."
Ucapan ini melemaskan hati Han Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu berseru marah.
"Murid-murid In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi, lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk, akan kubunuh mereka seorang demi seorang!"
Tidak ada yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-muridnya, akan tetapi Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik dari pada watak Iblis Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.
"Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kau keluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad, setelah apa yang kau lakukan terhadap orang tua dan keluarga para murid In-kok-san!"
Seketika wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya memaadang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada siapa pun juga.
"Suara yang mengajak damai adalah suara hati yang murni, akan tetapi manusia sudah terlalu dibungkus kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang jauh dari pada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia." Setelah berkata demikian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, membuat semua orang bengong memandang.
"Pemuda Super Sakti!" terdengar orang-orang berbisik kagum.
Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat melihat bayangan pemuda itu meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat menyambar dan dalam beberapa loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran, ingin sekali ia mencoba kepandaian pemuda buntung yang amat terkenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan. Puteri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu, wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya.
Ia kagum dan juga penasaran. Belum puas hatinya kalau belum dapat berhadapan sebagai lawan dengan pemuda buntung itu. Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri yang tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak kewajiban yang harus diselesaikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan, kemudian ke perbatasan Se-cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah pemberontak itu.....
YOU ARE READING
PENDEKAR SUPER SAKTI (seri ke 6 Bu Kek Siansu)
ActionJilid 1-42 TAMAT Suma Han merupakan salah satu tokoh fiktif dalam serial silat Bu Kek Sian Su karya pengarang legendaris A. S. Kho Ping Hoo. Muncul dalam episode ke-7 Pendekar Super Sakti hingga episode ke-12 Kisah Pendekar Pulau Es. Dia adalah tok...