2. Dan Samar-Samar Dapat Kurasai Lagi Bibirnya yang Gula-Gula Kapas di Bibirku

74 9 8
                                    

"Kumismu sudah panjang, Bhum."

"Hmm... Biar saja."

"Pak Karsimin takkan senang, kau tahu?"

"Membuatnya senang takkan membuatku mendapatkan apa-apa, kau tahu?"

"Yah, setidaknya kau tidak akan dihukum ini-itu."

"Sudahlah. Berhenti mencemaskan Pak Karsimin. Kau sendiri bagaimana? Apakah menurutmu aku lebih ganteng dengan atau tanpa kumis?"

"Konyol. Mana kutahu."

"Ayolah, Kit. Jawab saja."

"Aku benar-benar tidak tahu."

"Masa yang sebegitu saja tak bisa kauja—hei! Mukamu merah!"

"Shut up!"

"Hahaha! Kitkat! Kau persis kepiting rebus. Jadi, bagaimana menurutmu? Lebih ganteng pakai kumis, kan?"

"Bawel—!"

"Guys! Sekarang banget?"

Tiarma berseru keras, protes kesekian, padahal jarum jam di dinding di belakang kelas baru menunjukkan pukul sepuluh kurang. Bel tanda masuk sebenarnya sudah berbunyi sejak jam delapan, namun belum ada guru yang datang. Entah itu, atau hari ini adalah hari pertama dalam siklus bulanannya, yang membuat Tiarma mencak-mencak bak banteng hendak beranak.

Meski aku tak pernah tahu apakah kalau banteng hendak beranak akan mencak-mencak atau tidak.

"Apa?"

"Jangan meng-apa-kan aku dengan muka sengak begitu, Bhumi! Kau tahu betul apa yang kumaksud! Kau sempurna mengerti! Tiduran di atas meja dengan kepala di pangkuan Kitkat, memintanya untuk membelai-belai rambutmu, membicarakan apakah kau lebih ganteng dengan atau tanpa kumis, dan hal-hal menjijikkan lain yang membuat isi perutku pasti keluar kalau kalian melakukannya barang sedetik-dua lebih lama. Memangnya kalian ini siapa? Jake Gyllenhaal dan Heath Ledger di film Brokeback Mountain?"

Aku melemparkan pandang dari Tiarma yang berdiri dengan bahu turun-naik, terengah-engah kehabisan napas, ke sepasang mata yang tepat berada di atasku. Dan ketika bola-bola mataku menemukan bola-bola mata kitkat yang cokelat gelap jenaka, kami berdua meledak dalam tawa. Begitu lucu. Begitu lepas.

Begitu menyenangkan rasanya, sampai air mata terbit dan perutku sakit.

Seharusnya aku tahu kalau jangan sampai membuat Tiarma lebih dan lebih marah lagi. Namun apa boleh buat, sosoknya yang tengah merepet tadi persis sekali Ibu Kos Kitkat, dan menemukan figur Ibu Kos dalam bentukan Tiarma sungguh sangat, sangat lucu.

Dan aku tak mengeluh meski harus kena pukul buku teks fisika yang tebalnya hampir lima ratus halaman itu tepat di kening. Syukurlah aku tak sampai gegar otak atau apa saking kerasnya itu tenaga yang dikeluarkan.

"Apa sih, Yar? Masih pagi loh ini," tegur Bang Jack, satu meja di belakang mejaku, masih sibuk berkutat dengan catatan-catatannya. Dari semalam Bang Jack tak habis-habis merisaukan ujian fisika yang baru akan dimulai sehabis istirahat. Padahal, meski tak bersinar atau apa dalam mata pelajaran ini, dirinya tak pernah gagal. Kurasa nilai rata-rata yang di dapatnya adalah tujuh, bahkan mungkin delapan. Seharusnya cukup untuk sekadar mendapat predikat 'lulus'.

"Aku hanya kesal! Memangnya kau tidak ikutan dongkol ketika melihat mereka berdua berlagak persis pengantin baru?" bantah Tiarma jengkel, membuatku semakin yakin kalau hari ini adalah benar hari pertama siklus bulanannya. Karena, perempuan mana yang seimbang hormonnya yang mau meributkan hal-hal yang sekarang diripuhkan oleh Tiarma?

Bang Jack menatapku lurus-lurus, kemudian menatap Kitkat, seakan-akan tengah berpikir dan menyeriusi apa yang Tiarma tanyakan. "Mana bisa dongkol pada dua orang bodoh seperti mereka, Yar?"

Whatever Float My BoatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang