Satu

14 1 0
                                    

"Hey! Mau kemana?" Kata Andi bertanya pada gadis yang baru saja melewatinya. Kebetulan sekarang sekitar pukul 9 pagi. Namun gadis itu tidak berada didalam kelasnya, malah sedang berkeliaran di luar saat jam belajar. Ketika Andi melewati lorong kelas ingin menuju ke aula dia melihat Aniva keluar dari kelas dan berlari melewatinya begitu saja dengan mata yang merah dan berair.
"Kemana saja , setidaknya tidak di tempat ini." Kata Aniva sambil berlalu begitu saja tanpa mau menoleh sedikitpun pada sang penanya.
Andi berlari mengejar perempuan itu dan menarik bahunya untuk memutar tubuh perempuan itu agar bisa menghadap sepenuhnya padanya. "Kamu mau pergi kan? Baiklah aku tahu tempat terbaik yang bisa membuatmu nyaman akan pelarianmu" tawar Andi sambil memegang kedua bahu gadis itu. Sebenarnya Andi sangat ingin tahu apa yang telah terjadi pada perempuan yang ada dihadapannya ini namun waktunya tidak mendukung untuk menemukan jawabannya. Yang terpenting dia harus membuat gadis itu nyaman dan senang dulu dari apa yang telah terjadi.
Aniva hanya merespon dengan anggukan saja dan mengikuti Andi dari belakang.

Sesampainya diparkiran dan telah naik ke atas motorpun mereka langsung berangkat menuju tempat tujuan mereka. Lelaki yang ada di depannya ini mungkin bisa dikatakan sebagai juru selamat baginya untuk saat ini, ah sepertinya dia lupa kalau lelaki itu tak hanya menyalurkan bantuan untuk saat ini saja namun hampir disaat dia butuh akan bantuan, sicowok itupun senantiasa selalu ada di sampingnya.

Sibuk pada lamunanya sekitar 2 jam kurang lebih perjalanan, mereka sampai ditempat yang dimaksudkan sicowok tersebut. " Pantai? Kamu yakin ngajak aku ke pantai di tengah terik matahari gini? " tanya sang gadis pada cowok yang ada di sampingnya.
" Iya, pantai. Kamu butuh udara yang segar teruntuk hatimu yang sesak, maka nikmatilah udara di sini dengan bebasnya. Lagian warna kulitmu tak akan berganti seperti warna pada coklat dan aku akan menjamin itu" Kata si cowok tersebut.
" ya, yaya, jangan samain aku sama coklat jelas bedalah itu kan makanan dan aku ini manusia, dasar kamu tak berperikehatian". Kata gadis itu dengan sedikit mendramatisir.
" Mau nggak? " tawar Andi sambil menyodorkan cokelat pada gadis yang sedang duduk di sebelahnya. " Tumben ngasih coklat" kata Aniva sambil mengambil cokelat yang disodorkan cowok tersebut. Dan kemudian membuka lalu memakan coklat tersebut.
" Kamu tahu nggak kalau cokelat tersebut sama seperti kehidupan?" tanya Andi
" Maksudnya? aku nggk paham, Dibagian mananya kamu bisa merumpamakan mereka sama?" tanya Aniva, yang terlihat bingung akan perkataan Andi tersebut.
" Iya Aniva, Hanya bagaimana sudut pandangmu berlaku bagimu jika kamu hanya terfokus atas apa yang yang begitu buruk maka pikiranmu akan berbaur dengan hidupmu maka pahamilah atas apa yang perlu kamu lakukan bahwa hidup seperti tak seburuk warna pada cokelat hitam karena nyatanya rasa yang disuguhkan akan mengalahkan warna yang ditampilkan. Apa kamu paham maksud ucapanku barusan? " Tanya Andi pada gadis yang terpaku dengan apa yang diucapkan olehnya barusan.
Aniva menghela nafas secara perlahan "Aku paham, seharusnya aku tidak begini, sampai membawamu untuk bolos sekolah menemaniku. Ah, aku berasa terlalu kekanakan diusiaku yang sudah segini. Aku merasa diriku terlalu buruk sekali." Ucapnya lirih
Andi menoleh ke samping dan mengusap kepala sang gadis sambil berkata " Hey Aniva, dengar aku baik-baik bukankah tadi sudah aku jelaskan padamu. Berhenti memandang dirimu buruk maka pikiranmu akan mempengaruhi tindakan dan dampaknya pada kehidupanmu, maka berpikir positiflah. Kamu akan menjadi baik bahkan terbaik teruntuk dirimu ketika kamu mampu menerima dirimu dan memahami dirmu sendiri tanpa harus menghakiminya. Kamu tahu kertas ?" tanyanya pada Aniva.
Aniva pun mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan Andi tersebut.

"Kertas putih itu digunakan untuk menulis, lalu pertanyaannya kenapa kertas yang sudah putih bersih saja harus dicoret atau harus di tulis? Itu karena pada setiap apa - apa yang masih kosong harus diisi atau harus dimulai untuk menulis. Kamu tahu persamaannya dengan kehidupan?" tanyanya lagi pada Aniva.
Namun untuk pertanyaan yang satu ini Aniva meresponnya dengan menggeleng sebagai tanda ketidaktahuannya.

" Kertas kosong yang telah ditulis itu sama seperti sebuah kehidupan. Ketika kita berawal maka semuanya diawali sebagai kekosongan seperti kertas kosong lalu secara perlahan semesta menyuguhkan berbagai hal dalam hidup kita dan itulah coretan pada sebuah kertas kosong tersebut di mana setiap cerita dari masa lalu seperti telah tertulis dikertas-kertas sebelumnya dan hari ini di mana yang sedang berlangsung, kita seperti sedang menulisnya pada kertas baru. Dan bukankah pada sebuah kertas yang telah tertulis terdapat coretan jika ada kata-kata atau kalimat yang telah tertulis dan ternyata itu salah. Pertanyaannya bagaimana jika kesalahan yang terjadi dengan kehidupan? Lantas bagaimana cara kita mencoretnya? " tanya Andi pada Aniva dan menjeda ucapannya untuk memberi Aniva waktu untuk menjawabnya.
" Hehe, aku nggak tahu" ucapnya sambil dikuti cengiran khas seorang Aniva.
" Kita bisa mencoretnya dengan mencoba mengabaikannya, melupakannya, atau menghindari dari bagian masalalu itu sendiri. Lantas pertanyaannya bisakah kita lakukan? " tanya Andi untuk kesekian kalinya mungkin dia pikir Aniva tidak kesal padanya, apa salahnya langsung dijawab saja, toh sepertinya dia tahu jawabannya, buktinya dari tadi setiap pertanyaan yang dia ajukan maka selalu dia juga yang menjawabnya.
" Mungkin" jawab Aniva singkat, padat dan irit akan kata.
" Ya, Mungkin bisa dilakukan tapi tidak sepenuhnya. Seperti kertas yang telah kita coret pada setiap kata atau kalimat yang kita anggap salah karena buktinya tulisan atau jejaknya masih melekat seperti itu pada kertas tersebut tapi bedanya kita tidak bisa membacanya terlalu jelas maka masalalu seperti itu, untuk apa - apa yang telah berlaku kita tidak bisa menghapus ataupun melupakannya secara utuh karena dia selalu tinggal dimemori ingatanmu dan membentuk menjadi berbagai kenangan . Namun tenang Tuhan masih berbaik hati padamu karena masih ada kertas kosong yang baru, yang bisa kamu tulis semaumu dan kertas kosong disini umpamanya adalah hari esokmu atau masa depanmu maka tulislah dan ciptakan apa yang kamu mau. Belajarlah dari masalalumu, baca ulang lembaran kertas yang telah kamu tulis dan seleksilah setiap kesalahan yang terdapat di sana dan perbaikilah pada kertas kosongmu, yaitu pada hari esokmu atau masa depanmu. Ingatlah masalalu adalah pembelajaran dan jadikan masa depan sebagai proses hasil dari pembelajaran di masa lalu itu sendiri. Paham maksudku yang ini? " tanya Andi diakhir penjelasan yang telah dia utarakan.

Karena respon Aniva yang hanya diam saja, lalu Andi melambaikan tangannya dihadapan Aniva, yang memang seluruh badannya telah berada dihadapan Andi, entah sejak kapan itu. Mungkin ketika dia merasa tertarik atas apa yang diutarakan oleh Andi barusan padahal sebelumnya mereka hanya duduk bersebelahan. Ternyata hasilnya nihil, Aniva pun tidak mengindahkan apa yang telah dilakukan Andi, seperti seseorang yang sedang terpana akan tampannya sosok yang ada dihadapannya, maka seperti itulah yang sedang Aniva lakukan sekarang, jadi bisa dibayangkan bukan bagaimana ekspresi Aniva sekarang. Dan pilihan terakhir untuk menyadarkan Aniva dari ketermenungannya, Andi menepuk bahu Aniva namun tidak kuat.

" ha" kata Aniva tersadar dari lamunanya. " Apa yang kamu katakan tadi, aku lupa soalnya hehe" ucap Aniva tanpa merasa bersalah dan disertai cengiran khas seorang Aniva. Tidak tahukah dia kalau Andi sudah lama menunggu respon darinya dan ternyata orang yang ditunggu gagal paham atas apa yang telah Andi sampaikan.

" Tadi itu aku nanya sama kamu, kamu paham nggak dari apa yang telah aku sampaikan padamu tadi" terang Andi

"oh itu, iya aku paham kok. Ternyata kamu pinter banget ya bicaranya kenapa nggak jadi sastrawan aja?" tanya Aniva diselingi tawanya
Andi menggelengkan kepalanya melihat kelakuan perempuan dihadapannya ini, mood perempuan itu terlalu cepat berubah, sudah seperti permen nano-nano saja. " Kepikran tentang itu ada sih, tapi lihat nanti aja, kalau takdirku memang di sana maka Tuhan akan memberlakukan caranya kok, jadi kamu tenang saja." Jelas Andi

Setelah itu suasana berubah menjadi bungkam, tak ada yang ingin memulai percakapan lagi diantara mereka. Mereka terhanyut pada pemikiran masing-masing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seleksi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang