Hujan masih merintik menyisakan dingin yang mengelitik tulang. Awan gelap itu tak kunjung pergi beriring. Matahari pun tertutup seakan menasbihkan pilu yang enggan berlalu.
Pohon jambu mulai memekarkan bunganya. Menjanjikan buah segar untuk codot dan kroni-kroninya. Suara petikan gitar itu perlahan membelah rinai hujan.
Suara yang tak terlalu merdu menyanyikan tembang kenangan dari mulai Koes Plus sampai Iwan Fals dibawakannya dengan fasih.
Dia itu bapakku. Lelaki dengan rambut panjang berombak terurai, kulitnya gelap terbakar terik matahari. Lelaki tangguh menampuk beban di antara pundaknya yang legam.
Hanya gemintang yang melipur laranya. Menyibak tangis di antara senyum yang meneduhkan. Lelaki itu menyimpan lebih banyak perih di hatinya dari pada bahagia.
"Halo ... iya, akan aku proses semuanya semoga kamu bahagia."
Sayup terdengar suaranya parau, aku tahu Ibu tengah berbicara lewat telephone genggam merek Nokia yang sudah lapuk termakan usia. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi suara bapak bergetar dan tak lama awan gelap bergelayut di antara wajah keriput itu.
Ia terduduk di bawah rindang pohon jambu, memegang selembar foto. Perempuan dengan senyum manis, tatapan mata yang teduh seakan memberikan kehangatan yang tak nampak namun terasa nyata.
Bulan berganti tahun menyisakan sesak yang teramat sangat, entah harus berapa lama ia menanti. Bapakku adalah pria tangguh, wajahnya selalu tersenyum menyembunyikan betapa pedihnya rindu. Sesekali aku melihatnya menangis, memandang selembar foto lalu menciumnya.
"Le, lelaki itu harus kuat, tak hanya fisik tetapi hatinya juga," petuahnya sore itu terasa sangat dalam.
Aku memandang lekat wajah keriputnya setiap guratan menjadi saksi betapa penantian itu berjalan teramat lama.
Bapak tak pernah memberikan titah ibu untuk berperang di negeri orang, mencari penghidupan untuk kami. Ia selalu melarang tapi apa daya cinta membuatnya luluh. Ia tak tahan melihat bidadarinya menderita menampuk beban demi mengisi perut kami.Perlahan waktu memudarkan asa, lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk seorang lelaki, hampir tanpa kepastian.
"Selamat siang betul ini rumah Bapak Iskandar?"
Dua lelaki datang entah dari mana. Yang aku tau mereka menyerahkan map bersampul biru.
"Ah, mungkin bapak ada urusan," pikirku waktu itu.
"Siapa tadi, Pak?"
"Teman bapak, Le," entah mengapa wajah bapak tak nampak biasa, air mata tak menetes tapi aku merasakan hatinya perih.
Hujan mulai merintik, membasahi bangku di bawah pohon jambu yang daunnya mulai berguguran. Bapak masih setia memandang langit sore dari balik jendela. Entah kali ini tak terdengar lagu dan petikan gitarnya. Mengingat tentang janji yang terucap dari mulut wanitanya. Janji untuk setia dalam kesusahan yang mendera, dan jika bahagia datang suatu saat jambu ini akan menjadi saksi cinta mereka.
"Pak, ada apa?"
Ia hanya membalas dengan senyuman, aku memeluknya. Ia hanya mengelus rambut anaknya ini tanpa sepatah kata yang terucap. Pandangannya kosong, melangkah melewati batasan cakrawala yang sampai sekarang masih tertutup tirai hujan.
Suara ayam pecahkan heningnya pagi, hujan masih setia merintik. Bapak termenung diantara segelas kopi yang tak mengepul lagi. Tatapan lelaki itu kosong. Sesekali menyeka bulir bening di antara pipi yang keriput.
"Pak, saya datang kesini untuk menanyakan perihal Marni,"
Suara lelaki yang asing terdengar berbincang dengan bapak, lelaki dengan kumis pak Raden.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Gugurnya Rindu
Short StoryKetika Kesetiaan Berakhir dengan Sebuah penghianatan.