Dentingan hujan mengalun, menghantam tanah tanpa ragu. Saat itu, kita dibalut kehangatan yang tak kunjung sayup. Mata cokelatmu yang sejernih kristal salju, menenggelamkanku dengan perasaan itu. Degupan jantungmu melebur bersama air hujan, dengan tempo yang pelan seolah, kamu tenang terbawa arus sungai kala kemarau.
Menikmati harum petrichor yang membawaku pada kenangan lalu dan lagi lagi kamu mampu tenangkanku. Jemarimu mengait lembut pada jariku, menarik jiwa hampa milikku pada kenyataan bahwa aku, kamu
—kita adalah nyata.
Keraguan seakan luntur, luluh, jatuh bersama air langit—pun aku hanya mampu menikmati setiap detiknya.
Kita berdansa dipadu hujan.
Senyummu—Oh Tuhan! Melelehku dibuatnya.
Panas pipiku mulai terasa. Rona merahku tak dapat dicegah. Aku bahagia.
-tsara
09.11.18
YOU ARE READING
Pasca Pertemuan Pertama
PoesiaJatuh untuk yang kedua kalinya, aku juga tak sadar awalnya. Kamu datang bukan untuk sekedar singgah, namun ingin menetap hingga sepuh. Tembok penjagaku masih berdiri teguh, pun kamu tetap tangguh. Ini cerita tentang kita pasca pertemuan pertama, saa...