Jakarta, 20 Desember 2016
"Para penumpang yang terhormat, selamat datang di Jakarta, kita telah mendarat di Bandar Udara Internasional SOEKARNO-HATTA, kami persilahkan kepada anda untuk tetap duduk sampai pesawat ini benar-benar berhenti dengan sempurna pada tempatnya dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan...."
Setelah berbulan-bulan tertahan, akhirnya ia berhasil kembali dengan selamat di negeri tercintanya. Lebih baik makan garam di negeri sendiri, dari pada mandi gula di negeri orang lain. Pepatah bukan sembarang pepatah ia tanamkan di ubun-ubunnya dalam-dalam. Memancing rindu untuk terus-terusan mampir, kemudian menculik jiwanya pergi jauh dari raganya sendiri.
Jakarta masih saja sesak seperti sebelumnya. Tidak ada alasan untuk kota ini menjadi tidak ramai apalagi sepi. Kaki-kaki yang berseliweran diatasnya seperti kian hari kian bertambah. Benar sekali, berikutnya ia harus mengantre demi taksi pulang menuju surga dunianya.
Flatshoes hitam, dress peach dengan motif bunga-bunga maroon manis di ujung bagian kaki dan tangan, senada dengan hijab maroon panjang yang menjuntai. Gadis itu berdiri sambil melirik kiri-kanan. Sesekali memandangi jam hitam yang melilit di tangan kirinya dan berdo'a agar waktu lebih cepat terurai.
Kursi tunggu kali ini cukup penuh, untung saja kakinya tidak terlalu lelah. Dari perawakannya, ia sanggup jika harus berdiri setengah jam lagi. Beberapa menit kemudian, mulutnya reflek tertarik simetris ke kanan dan kiri, gilirannya tiba.
"Mau kemana mbak ?"
"Depok Pak, Perumahan Villa Bumi Sejahtera", jawab gadis itu sambil membantu si Bapak menyusun koper dan tas di bagasi.
Lalu lintas Jakarta sore itu seperti biasanya, padat. Meski sudah berjam-jam di mobil, bukan berarti kantuk bisa gampang hinggap di mata gadis 21 tahun itu. Nasib handphone yang mati mengharuskan ia hanya bisa sesekali melihat keluar jendela kali ini. Meratapi jalan di depan, samping kiri dan kanan yang dipenuhi dengan armada perang para manusia yang hendak pulang ke bentengnya masing-masing. Lagi, mengurai waktu.
"Mbak.."
"Mbak.."
"Mbaakkk....",
Kepalanya tersentak menoleh ke arah si supir,
"Iy.. iya pak.. gimana pak ?"
Dengan wajah yang setengah tertawa si Bapak mengingatkan,
"Jangan banyak melamun mbak, nanti kesambet"
Kali ini si Bapak tertawa geli.
"Na'udzubillah.., Saya lagi mikir aja kok Pak..", katanya mengelak seraya membenarkan posisi duduknya.
"Hehe.. bercanda aja Mbak..."
"Bapak, sudah berapa lama jadi driver red bird ?"
Percakapan panjang keduanya dimulai dari candaan simpel sang Bapak. Walaupun Jakarta ramai, namun masih belum cukup berisik menghentikan lamunan gadis berkulit kuning langsat itu. Seorang driver red bird yang justru mampu membuat gadis itu sesekali terpingkal dan lupa. Lupa bahwa dirinya sempat dirangkul erat dengan kebosanan. Lupa bahwa waktu telah mengikatnya dengan rindu yang tak berkesudahan.
***
Blok B, No. 28, taksi merah berhenti tepat di depan pagar hitam minimalis. Rumah didalamnya terjajar rapi bersama kawan-kawan di sebelahnya. Bentuk-bentuk yang hampir serupa tapi tak sama, yang membedakan hanyalah aroma manis dari selai strawberry yang selalu tersaji di meja makan setiap hari. Aroma, yang hanya ia sebagai satu-satunya orang yang bisa menciumnya. Entah karena dikaruniai indera penciuman yang lebih tajam atau malah hidungnya yang telah rusak hingga menganggap bau-bau itu adalah strawberry. Padahal mungkin terasi.
Sambil mengendus-enduskan hidung dan meregangkan tangan,
"Alhamdulillah akhirnya sampai juga..."
Terdengar bunyi pintu mobil yang ditutup cukup keras. Sang supir kaget.
"Maaf Mbak. Mobilnya masih dipakai", cengiran tipis dari bibir si Bapak menggambarkan keraguan bercampur keinginannya untuk marah, tertahan karena cerita-cerita lucu yang saling mereka bagi saat berada di perjalanan tadi.
"Eh iya. Mohon Maaf Pak, kelepasan..", kali ini mereka saling cengir.
Hampir satu tahun ia sudah meninggalkan rumah bercat putih itu. Bukan lagi rindu yang ingin ia lepas hari ini, tapi juga tangis. Drama haru biru kepulangan yang sudah diputarnya sendiri dalam otak selama di pesawat dan perjalanan menuju rumah itu seketika terhenti. Seperti kaset film Jet Li yang tiba-tiba macet saat adegan berkelahi sedang seru-serunya. Selagi terus mencari kaset dengan judul yang pas untuk kisahnya sore ini, tiba-tiba seorang wanita tua keluar memecahkan konsentrasinya. Ia bingung harus mulai dari mana, skenario drama buatannya sudah terlanjur kusut.
Ransel kanken hitam, satu koper besar, satu tas jinjing Elle yang cukup besar, dan tas selempang kecil merah jambu berbentuk ikan khas Jepang, penampilan gadis itu membuat si wanita tua terpanah. Antara heran dan bingung, kaget dan senang, wanita berhijab hijau muda ala Robbani itu sontak setengah teriak memanggil,
"Nissa..."
Gadis itu kaget, nyawa yang sudah berbulan-bulan melayang hinggap sana sini akhirnya benar-benar kembali ke raganya. Sekali lagi, ini bukan mimpi apalagi drama. Nissa masih ingat betul saat-saat ibunya marah karena keseringan pulang bolak-balik Jakarta-Bandung demi masakan rumah. Sebagai anak kos tentunya ia sering merasa bosan bertengger di rumah makan padang atau warteg atau juga kantin kampus. Masakan ibu adalah yang terbaik. Belum lagi selai strawberry homemade ala ibu yang selalu menang dalam pertarungan selai di lidahnya. Nissa bahkan tidak pernah rela mengoleskan roti dengan selai-selai yang lain. Terkhusus roti yang akan masuk ke perutnya, hanya selai strawberry homemade buatan ibu yang boleh menjadi pendamping rasa di mulutnya. Kecintaannya pada roti berhasil menjadikan Nissa sebagai bule rasa lokal.
Berbeda dengan orang Indonesia yang kebanyakan menggunakan slogan 'nasi dulu, kenyang kemudian', ia justru selalu bangga dengan 'roti dulu, roti lagi, roti terus sampai kenyang'. Berawal dari sarapan roti, Nissa mulai membangun mimpinya menjadi toke roti. Beberapa kali sang ibu mendapati anaknya itu menggambar roti, membuat roti, hingga ngelindur roti di rumah. Menurut Nissa, roti adalah salah satu teman terbaiknya, entah sudah berapa kali roti-roti itu menjadi penyelamat hidupnya atau mungkin lebih tepat disebut sebagai penyelamat perasaannya. Ia rasa menyantap roti, membuat roti, bahkan menyajikan roti untuk orang lain sekalipun mampu menstabilkan mood-nya. Ontbijtkoek khas belanda dengan rasa gurih dan sedikit manis sudah bertahun-tahun menemani Nissa sebelum berangkat ke sekolah. Pertama kali Ibu mengenalkannya pada Ontbijtkoek saat ia baru saja duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Benar saja, untuk pertama kalinya ia merasakan cinta, Oh.. si Ontbijtkoek.
Matahari yang hampir tenggelam sore itu menjadi saksi tatapan Ibu. Setengah berlari ia menuju anak bontotnya, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Erat Nissa memeluk Ibu sampai ia bisa rasakan tinggal kulit yang membungkus tulang Ibunya. 365 hari ternyata tidak akan membuat Nissa lupa bahkan seujung kuku pun detail sang Ibu. Makhluk Tuhan yang paling ia sayang itu semakin tua dan mengurus.
Buru-buru ia menyeka air mata karena pelukan itu mulai merenggang. Ia tahu, Ibu pasti ingin betul-betul memasati wajahnya sekarang.
"Masya Allah.. Kamu sehat nak ?", mata Ibu bukan lagi berkaca-kaca tapi mulai banjir. Bukti betapa merindu itu sakit.
Dielus-elus kepala anak perempuannya itu pelan-pelan. Dicubit-cubit pipi tembam anak itu dengan gemas. Ibu tahu ini bukan mimpi.
"Alhamdulillah baik, Ibu.. Nissa rindu..."
Nissa tak sanggup menahan air-air di matanya. Sekali lagi ia peluk wanita tua itu erat. Aroma Ibu yang khas menyatu dengan selai strawberry. Keduanya sangatlah manis. Sudah tidak ada lagi pulau-pulau dan samudra yang memisahkan mereka. Jarak itu pada akhirnya hanya menjadi ilusi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
You
Romance"Lambat laun, dia akan berlabuh jua. Mendekat pada tepiannya. Merapat pada dermaganya. Jika aku berhak memilih, maka kau akan jadi labuhan terakhir bagi perahu ini. Aku temukan kau dermaga benderang di antara temaram. Semoga bukan sekedar mimpi di s...