PROLOG

7 2 0
                                    

     Gerimis disertai kabut itu membuat setidaknya penghuni setiap rumah menarik selimut dan membuat perapian, tidak lain dengan maksud menghangatkan tubuh.

Tapi tidak dengan malam ini. Rumah khas joglo jawa timuran dengan papan kayu dan lantai semen dipadukan dengan kursi rotan itu tampak tegang. Dihadapan kakek dan nenek tangisku pecah, disertai sesenggukan yang membuat dada ini menjadi lebih sesak.

" Ra pantes nangisi wong lanang liyo ning ngarep e bojomu nduk", kata nenek  yang membuat tangis ini bukannya reda, malah semakin menjadi jadi. Bahuku mulai naik turun menandakan makin deras air mataku jatuh.

Hening seketika, bahkan aku yang biasanya tak bisa diam, kali ini kikuk dan tak bisa berkata kata. Aku hanya sekilas melirik laki laki jangkung yang duduk di kursi rotan tepat dihadapanku. Dirinya tetap sama, laki laki yang tenang meski mungkin saja badai tengah melanda dirinya.

"Jadi, gimana le. Mau diapakan cucu kesayangan Mbah ini?. Kalau memang bisa diperbaiki yah monggo, jika ingin dikembalikan, mbah menerima dengan hati yang lapang".  

Dengan suara yang semakin lirih dan bergetar, kakek  membetulkan posisi duduknya. Bersiap menerima jawaban apapun bahkan yang mungkin saja tidak ingin beliau dengar.

"Saya..."

Jeda cukup lama untuk mengatakan hal berat dan menyesakkan. Dengan satu tarikan nafas, dia benar benar mengatakannya.

" Saya kembalikan Tiur sepenuhnya kepada Mbah".

Sepenggal kalimat yang membuat duniaku hancur. Ku pikir dia akan mempertahankan ini. Memulai semua dari awal. Tapi harapan itu hancur berkeping-keping. Tangisku semakin menjadi. Aku hanya mengepalkan tangan di atas dada berharap dapat mengurangi rasa sakit dan sesak . Nenek menggapai kepalaku, menaruhnya di bahu renta itu. Mungkin kali ini ruangan hanya diisi suara tangisanku yang terdengar memilkukan.

TiurGuideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang