First Sunset

3.2K 230 29
                                    

Full of Hendra POV

1990

Aku tidak pernah tahu bahwa benda yang dihadiahkan ayahku adalah raket. Diulang tahunku yang ke 6, mungkin akan sangat aneh dan tak biasa jika aku menerima hadiah seperti ini. Benda yang panjangnya hanya sebatas dadaku. Ketika anak seumuranku baru diajarkan menggowes sepeda roda tiga, aku justru diperkenalkan dengan dunia yang ayahku gemari... Teramat sangat menggemari...

Bulutangkis

Sore itu aku melintas di depan rumah yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku. Truk besar yang mengakut semua perabotan rumah tangga. Aku yang sedang digandeng ibu, berhenti sejenak. Ibuku celingak-celinguk dari depan rumah itu.

"Sepertinya kita akan punya tetangga, Ndra,"

Oh iya... Ndra adalah nama panggilanku. Biasanya ayah atau ibu memanggilku untuk kembali ke rumah. Terkadang aku suka lupa waktu jika sudah bermain bulutangkis di lapangan. Seperti saat ini... Ibu 'menyeretku' pulang dan hidungku sedikit memerah karena aku menangis sepanjang jalan, menolak untuk pulang ke rumah.

"Oh... Hai, wanita cantik dan anak menggemaskan,"

Seorang wanita tua keluar dari rumah tersebut. Ia menghampiri kami yang masih diam di depan rumahnya.

"Perkenalkan aku adalah tetangga baru kalian,"

Singkatnya wanita tua itu adalah pensiunan PNS dan sepeninggal suaminya, beliau membeli rumah tersebut. Setidaknya komplek pedesaan ini bertambah penduduk.

Beliau seumuran dengan mendiang nenekku... Dan ia tak keberatan jika setiap pulang sekolah aku berkunjung ke rumahnya.

Sebulan terlewati, nenek tengah menenun di teras rumahnya dan aku bermain dengan kok yang sengaja aku pantulkan berkali-kali pada raket. Suara telepon dari dalam rumah terdengar hingga keluar... Kakiku berlari mendekati nenek.

"Nek... Ada telepon,"

"Oh... Pasti aku terlalu sibuk dengan tenunanku,"

Nenek berjalan cukup lambat, sehingga aku reflek membantunya berjalan memasuki rumah.

"Halo..."

"Cucuku akan kemari?"

"Pulang... Minggu depan? Baiklah akan nenek buatkan cookies kesukaannya,"

Tak berapa lama nenek menutup telepon dan menatap ke arahku. Mengelus rambut hitamku. Senyum merekah yang ada pada wajah tuanya menandakan betapa bahagianya dia.

"Ndra?"

"Iya, Nek?"

"Teman kecilmu akan segera kemari..."

Benar saja... Seminggu kemudian rumah nenek begitu ramai didatangi orang. Aku hanya melihatnya dari teras rumahku, kebetulan pembatas rumah kami hanya semak-semak yang tingginya hampir sama sepertiku.

Aku sedikit berjinjit untuk melihat ke sana... Namun perhatian ku terkunci pada seorang anak yang tertidur dalam gendongan ibunya.

Nenek menyambut anak itu dan menggendongnya sembari menepuk punggung kecilnya. Aku tak tahu apa yang mereka katakan... Tepat saat nenek melihat keberadaanku dibalik semak-semak yang menggores tangan kecilku.

"Ndra... Ayo ketemu Ahsan dulu,"
.
.
.
.

1993

Ayah sudah mulai memasukkan aku ke club untuk semakin mengasah kemampuan bermainku. Setelah sekolah, aku langsung menggowes sepedaku menuju tempat latihan.

Sore ini, aku baru saja pulang, lelah dan rasanya ingin tidur saja. Sepeda aku biarkan tergeletak di halaman rumah.

"Psst... Psst,"

There's No Other | Hendra & Ahsan's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang