Chapter 6

6.5K 250 2
                                    

Dian terbangun ketika mendengar suara klakson mobil yang cukup nyaring hingga membuatnya terbangun. Bahunya nyeri, kepala bagian bawahnya ngilu. Di bagian itulah bekas pukulan si pria yang kini terdengar memaki pengendara lain yang membunyikan klakson tadi.

"Anjiiing! Kalau gak sibuk, habis kau kubikin," cetusnya dengan suara dan aksen yang sangat khas.

Pria bertubuh tambun itu murka ketika Dian berusaha melawan saat di naikkan ke atas mobil tadi. Dian kini berusah mengingat-ingat rentetan peristiwa sejak pertama kali ia bertemu wanita yang menjemputnya.

Ia berusaha membayangkan dan menyimpan memori wajah para penculiknya. Dimulai dari wanita yang mengaku sebagai perwakilan dari kantor hukum, lalu dua pria yang menariknya ke dalam mobil, dan si supir yang ia tak sempat lihat wajahnya, tetapi memiliki aksen yang khas. Ia akan mengingat bagian itu kalau saja nanti akan membuat laporan, tentu saja jika ia selamat kali ini.

Saat ini ia disandarkan di kursi penumpang, kedua tangannya terikat kuat ke belakang. Mulutnya ditutupi lakban, ia merasakan bibirnya yang kaku dan sulit untuk digerakkan di bawah perekat yang menempel sangat erat itu. Kepalanya ditutup kain hitam. Namun, serat kain yang tidak terlalu tebal membuatnya masih bisa mengintip suasana di luar saat ada cahaya dari sela bagian bawahnya. Ia bisa melihat ada dua pria yang duduk disampingnya

Dua orang lagi duduk di bagian depan, si supir yang bersuara besar tadi, dan di sampingnya adalah wanita yang mengaku asisten pengacara.

Pikirannya kalut, mau dibawa kemana aku kali ini, batinnya. Dian sebisa mungkin mengangkat wajahnya perlahan, berusaha mengintip ke arah luar. Barangkali ada tanda jalan atau apapun yang bisa menjelaskan lokasi ia berada saat ini. Sebisa mungkin ia tak ingin membuat pergerakan yang bisa disadari kedua orang di sampingnya.

Sesaat kemudian mobil itu berhenti, sang supir dan si wanita asisten tadi bercakap-cakap dengan seseorang di luar mobil. Dian berusaha melihat pria yang ia yakini adalah dalang aksi ini. Namun, ternyata gerakannya disadari pria di samping. Pria itu lalu menarik kepalanya dengan keras ke arah belakang.

"Diamlah, Kak! jangan sampai kau dipukuli dia lagi!" bisiknya.

Terpaksa Dian menuruti, bekas pukulan tadi saja masih nyeri. Ia pun berusaha mencari tanda yang bisa ia kenali di sekitar. Dian yakin ini sudah berada di batas kota. Beberapa warung yang lampunya menyala terang terasa tak asing. Ia pernah melihat warung di pinggir jalan ini. Ditambah dengan banyaknya mobil-mobil besar yang lewat sesekali. Dian jadi semakin yakin, ini adalah jalan lintas antar kota.

Kekalutan menyerangnya. Berbagai pikiran buruk kini menghantuinya, membuat kewarasannya kian menipis, ia berusaha menahan isak tangis yang semakin menjadi.

Beberapa saat kemudian, si supir kembali masuk. Ia sendiri saja sekarang, sementara si wanita tadi sepertinya sudah turun. Mobil kembali melaju, Dian semakin cemas. Ia teringat berbagai berita kriminal yang ia baca. Semua pikiran itu membuatnya kembali kalut, tangisnya semakin tak bisa ia tutupi lagi. Rupanya si supir mendengar.

"Woy, suruh diam dia!" bentaknya pada pria di samping Dian.

"Diam lah, Kak, takkan kami apa-apakan, asal Kakak bisa kerja sama!" bisik pria di samping kiri Dian sambil menepuk-nepuk kepalanya.

Pria itu memaksa Dian untuk segera menghentikan tangisnya yang membuat si supir emosi. Bahu Dian bergetar menahan isakannya.

"Aku mau isi bensin dulu, kau amankan dia! Jangan sampai ketauan!" perintahnya pada pria satunya.

Perlahan mobil berbelok masuk ke arah SPBU. Dian berencana untuk teriak, ia pun berusaha mendorong lakban yang menempel pada bibir dengan lidahnya. Namun, mulutnya terasa begitu kering. Ia haus, tenggorokannya pun mulai terasa perih.

Ia terus berupaya membuka penutup mulut itu. Berhasil, lakban yang daya rekatnya tak terlalu kuat itu berhasil lepas. Ia berusaha membaca situasi, saat menemukan waktu yang tepat ia akan segera berteriak.

"Selamat malam, Pak, dimulai dari nol, ya."

Suara petugas SPBU terdengar saat mulai mengisi tangki. Pria di samping kiri Dian menunduk mengambil botol air mineral di bawah kakinya, lalu meneguk isinya dengan nikmat. Mendengar suara tegukan pria itu, rasa haus yang teramat sangat menahan Dian untuk berteriak. Ia pun memutuskan untuk menyenggol pria tadi agar memberikannya minum juga.

"Kenapa, Kak? Haus?" tanyanya.

Dian mengangguk cepat. Tanpa membuka penutup kepala, pria itu menarik lakban yang menempel di bibir bawah Dian, sepertinya dia masih mengira lakban itu masih menempel sempurna. Dengan cepat Dian meneguk air dari botol yang diberikan kepadanya. Air dingin itu mengalir deras di tenggorokannya yang sebelumnya terasa kering. Karena kehilangan fokus, Dian sampai lupa, kalau seharusnya saat ini ia berteriak. Berharap si petugas SPBU mendengarnya. Namun, terlambat, petugas SPBU sudah menutup tangki, si supir akan segera masuk.

"Tolong ...," pekiknya kemudian.

Si pria di sampingnya kaget dan panik, lalu lekas menarik kepalanya ke arah bawah dan menindihnya, hingga mulut Dian kini menempel pada kursi. Ia meronta sekuat tenaga.

Menyadari perlawanan itu, si supir segera menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan lokasi SPBU itu dengan cepat. Sepertinya suara Dian gagal disadari petugas pengisi tangki tadi. Mungkin akibat musik yang memang sengaja dinyalakan dengan volume besar. Dian mendengkus kecewa, usahanya terlambat dan sia-sia.

Tak berapa jauh kemudian, si supir menghentikan mobil dan melompat ke bangku penumpang. Sebuah pukulan keras kembali mendarat di kepala Dian. Wanita itu kini melolong panjang menahan rasa sakit yang menjalar di kepala hingga leher. Ia merasakan mual yang luar biasa akibat hantaman itu.

"Gila kau! Mati dia nanti kita nggak dapat duit!" teriak pria yang di samping kiri Dian tadi.

"Kau nggak liat tadi dia teriak? Kalau ketauan, ditangkap polisi lebih mati kita!" jawab si supir kesal, "Kau urus dia, macam-macam lagi hajar aja!" perintahnya.

Dian terisak menahan tangis, selain akibat sakit yang dirasakannya juga karena memikirkan nasibnya kini. Entah akan dibawa ke mana ia oleh ketiga orang ini. Apa sebenarnya tujuan mereka menculiknya, ribuan pertanyaan itu kembali berkecamuk.

Namun, Dian langsung yakin akan firasatnya. Ia yakin semua ini adalah perbuatan Arya. Pria seperti Arya sanggup melakukan apa saja, apalagi kalau posisinya terancam.

Seperti saat ini, ia pasti sudah tahu kalau Dian mendapat pertolongan dari lembaga bantuan hukum.

Karirnya bisa saja turun jika kebusukannya terbongkar dan tercoreng oleh masalah kekerasan dalam rumah tangga. Dian menggeretakkan gigi ketika mengingat lelaki itu. Pria itu memang tidak punya hati.

Kepala Dian kembali berdenyut, rasa ngilu di kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia tak mampu menahannya lagi, lalu kehilangan kesadarannya.

"Bang, pingsan dia!" pekik pria di samping kanan, dari tadi ia hanya banyak diam. Enggan suaranya dikenali oleh korban.

"Yaudah, biar ajalah. Setidaknya dia gak melawan lagi," jawab si supir.

"Kalok mati dia, kek mana?" tanyanya lagi.

"Berisik kau!" Si supir kini menjadi panik.

"Abis ini kita kasihkan aja lagi dia sama suaminya itu. Trus minta bayaran, biar kelar pulak tugas kita, Bang," ujar pria yang di samping kiri.

"Iya-iya, tenang ajalah kelen. Pastiin aja dia tetap hidup!"

Enough! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang