Apakah keinginan terbesarku dalam hidup? Berbagai pilihan jawaban tercecer di otak. Menunggu diriku 'tuk putuskan mana yang tepat. Sayangnya jawaban yang sesuai keadaan bukanlah apa yang aku inginkan. Hanya suatu kondisi sebagai pelega kecemasan; kemakmuran.
Sebuah kemakmuran yang hendak kucapai---bukan, lebih tepatnya ayahku, adalah sekedar pencapaian melunasi hutang dan berkecukupan pangan. Untuk bermimpi menaiki pesawat, aku tak bisa, tak boleh. Asa ku dituntut untuk penuhi rasa lapar ayahku dan buat penagih hutang tak lagi kacaukan gubukku.-*-*-*-*-*-
Pagiku diisi dengan pekerjaan memenuhi bak mandi. Berangkat dari rumah dengan dua ember kala fajar meninggi. Meski peluh sudah lumayan membasahi, namun bukan akhir dari rutinitas yang menyiksa batin. Hari ku masih panjang. Mungkin tak begitu mencekik, keseharian ku, jika sebuah kesempatan, harapan diberikan. Untuk bisa bersekolah, menikmati kebahagian ketika berbagai ilmu terserap otak. Tapi tak bisa.
Semua koran-koran ini perlu diantar, ditaruh di depan pintu agar orang-orang bisa membaca berita harian paling baru, alih alih bersiap berangkat sekolah. Ilmu ku hanya berbatas dari koran yang aku jual. Buku adalah potongan rubrik dari koran yang aku kumpulkan. Tidak bisa dianggap buruk kalau yang ini. Diantara keterbatasan, kuharus memanfaatkan nya jadi sebuah kelebihan, paling tidak untuk diriku sendiri.
Lalu, jika langganan loper koran ku ini tak menutup kebutuhan pangan hari ini, kaki ku kan melangkah ke jalanan yang panas nian. Menawarkannya pada bapak berjas rapi, yang biasanya wara-wiri di sekitaran Pancoran. Yang turun dari mobil entah mampir ke toko modern, atau sekedar menyemir sepatu.
"Pak korannya, Pak." Sudah tak terhitung berapa kali lisanku mengucap demikian. Sudah mencapai satu album lagu, mungkin. Tapi tak jua tumpukan kertas abu-abu di dekapan ini habis. Supaya aku bisa pulang, paling tidak koran hari ini habis tak tersisa. Sebab kemarin lusa, aku tak ada dan tengah bergelut dengan rasa pening di kepala. Maka hari ini harus menghasilkan lebih untuk menutup cicilan yang tak dibayar kemarin.
Meniti, mencari rezeki. Sedari pagi hingga mentari menyingsing. Suara koakan camar tak bakal jadi lonceng pertanda pulangku. Langit jingga tak bis surutkan tujuan ku; menjual koran sampai habis tak menyisa. Memutari Pancoran meski kaki tak lagi dirasai. Entah sudah patah, pun tercerai-berai, aku tak boleh berhenti. Sore hari ku di Pancoran 'kan selalu jadi medan bertarung bersama perih.
Fin?
Hahahaahahahhaahah. Apa ini? Nani? Jadi, ini cerita yang aku buat di akun roleplayku. Aku pikir, dari pada mengendap di akun facebook, memublikasikan di media lain tiada yang salah. Happy reading desu >\\\<