47. Masak Berdua

14K 1.7K 563
                                    

Ashel mengambil toples berisi kacang atom di meja lalu memangku toples itu dan mengunyahnya lahap. Ini demi menutupi grogi.

"Kenapa nggak pake baju? Nggak kedinginan apa? Malem-malem gini telanjang dada," protes Ashel sambil melirik.

"Iya, panas. Ac-nya Cuma di kamar doang. Di sini gerah." Bola mata Fariz berputar mengedarkan pandangan ke seisi ruangan yang kecil.

"Tuh, kipas angin kan udah hidup." Ashel menunjuk kipas yang berputar di sudut ruangan.

Wajar Fariz bersikap demikian, dia terbiasa menggunakan AC. Sedang rumah di rumah Ashel, hanya tiga ruangan yang terpasang AC, yaitu di dua kamar dan ruang tamu. Ruang lainnya hanya menggunakan kipas angin.

Melihat suami kepanasan, Ashel sebenarnya kasihan, tapi Fariz harus mau berpanas ria jika ingin hidup berdua dengan Ashel sebelum mendapatkan rumah baru. Disamping ruangan memang sempit, cuaca juga sedang sangat panas. Mana mungkin Fariz yang terbiasa hidup di ruangan dingin bisa tahan dengan kondisi seperti itu.

Ashel melirik ke samping lagi. Dilihatnya kulit dada suaminya yang basah berkeringat.

"Lagipun kamu aneh, kenapa mesti ngikutin aku duduk di sini? Bukannya di kamar ada AC? Kenapa kamu nggak baring aja di kamar sambil nonton TV ditemenin AC yang dingin."

"Aku maunya deket kamu."

Ces... Ini nih senjata tajam laki-laki. Gombalan maut. Dan hati Ashel berasa disiram salju saat mendengarnya.

"Mas, ganteng!"

"Ya Adek cantik!" sahut Fariz menatap Ashel.

Sekarang pipi Ashel rasanya terbakar karena kata-kata Fariz.

"Kamu panggil aku Mas Ganteng, berarti aku panggil kamu Adek cantik. Cocok, kan?"

Ashel mesam-mesem tak jelas akibat gombalan receh Fariz. Baru aja digombalin dengan kata-kata nggak bemutu begitu, hatinya sudah lumer. Bagaimana kalau Fariz mengeluarkan gombalan akutnya? Beginilah rasanya digombalin suami, senengnya selangiiiiit. Melejit pokoknya.

"Kita makan, yuk!" ajak Fariz. Ia sudah bangkit berdiri.

"Makan di luar?" Ashel mendongak menatap suaminya.

"Makan di rumah aja. Aku lagi males keluar."

"Tapi aku nggak masak loh, Mas. Tadi selepas kita pulang dari rumah sakit nemuin Pak Roby, di rumah kita langsung disambut adzan maghrib. Trus aku shalat di rumah, kamu shalat di masjid. Udah itu aku ngaji. Belum sempet masak lauk jadinya."

"Ya udah, kita masak bareng-bareng, yuk!"

Jawaban yang tidak disangka-sangka. Ashel pikir, Fariz akan menggerutu atau bahkan memerintahnya masak setelah ini, tapi ternyata tidak.

Untuk ukuran lelaki yang tidak mencintainya, sikap Fariz cukup membuatnya kagum.

"Ayok!" Fariz menarik pergelangan tangan Ashel dan berjalan menuju dapur.

Sampai di dapur, Ashel menatap Fariz dan menaikkan alis. "Mau masak apa?"

Fariz mengetuk-ngetukkan ujung telunjuk jari ke dagu sembari berpikir. "Martabak mesir."

"Bahannya nggak ada."

"Tongseng cumi-cumi."

"Nggak ada cumi-cumi di kulkas."

"Sandwich aja kalo gitu."

"Rotinya nggak ada."

"Kok, nggak ada semua?" Fariz membuka lemari dapur yang terletak di atas kompor gas, kini tepat di atas jidat Fariz. Ia tidak menemukan apa-apa di sana. Hanya ada tepung, mie kuning dalam kemasan, dan susu.

Ashel menyilangkan tangan di dada menatap Fariz yang mengacak-acak isi lemari. Hati Ashel terasa ngilu menyadari kalau dirinya tidak dianggap oleh Fariz. Hidup menjadi istri si ganteng, tapi tidak dianggap. Apa enaknya? Puufffth...

"Maaf kalau aku nggak bisa nyediain makanan yang kamu inginkan."

Dalam posisi membelakangi Ashel, Fariz mengerutkan dahi. Dia merasa sedang disindir. Dia yakin, lemari tempat menyimpan stok bahan makanan terlihat miris karena uang belanja tidak cukup.

Fariz memutar tubuh hingga kini berhadapan dengan Ashel. "Shel, maaf kalau uang belanja yang kukasih ke kamu nggak cukup. Atau bahkan mungkin aku suka telat ngasih. Kamu tinggal minta aja ke aku, Shel. Jangan diem aja."

"Itu kewajibanmu, Mas. Gimana bisa kamu sampe lupa sama kewajibanmu, hm?"

Pertanyaan Ashel membuat Fariz kembali merasa tersudut. Kena lagi, deh. Fariz menggaruk-garuk kepalanya.

"Kutuan?" tanya Ashel membuat Fariz nyengir.

"Kamu persis kayak Mama. Bisa aja ngatain aku kutuan." Fariz menjentik ujung hidung Ashel.

"Aku nggak mau menuntut uang darimu, Mas. Kuanggap kamu udah sangat mengerti dengan tanggung jawabmu, lagian kalau kamu kirim uang belanja lebih dari jumlah yang sekarang, pasti nggak akan bikin kekayaanmu yang berlimpah itu jadi bangkrut, kan?"

Mulai, deh. Kena sembur. Fariz membatin.

“Oke oke, maaf kalau aku lalai.  Kayaknya gejala hilang ingatan udah mulai merambat ke otakku.  Jadinya suka lupa transfer uang ke kamu.  Heheee...”  Fariz merogoh ponsel dan membuka aplikasi internet banking.  Tuntutan Ashel membuatnya bergerak dengan cepat untuk melakukan sesuatu, mengirim uang ke rekening Ashel dengan angka yang fantastis.  Dengan demikian, ia tidak perlu lagi akan takut lupa mentransfer uang.  Efek otaknya yang tidak sedikitpun ada ruang untuk Ashel, akibatnya ia tidak pernah bisa memahami perasaan Ashel.  Ia selalu mengabaikan Ashel.  Bahkan untuk menyediakan kebutuhan Ashel pun, ia sering kali lupa. 

Ashel merogoh ponselnya dari saku saat mendengar pesan masuk, dari 3355 yang memberi informasi ada dana masuk puluhan juta.  Ashel terbelalak melihat nominal yang ngejogrok di rekeningnya.

“Ini bukan undian berhadiah, kan?”  Ashel menatap layar ponselnya tak yakin meski ia tahu kiriman tersebut berasal dari Fariz.  Tiba-tiba saja dana Cuma-Cuma masuk ke rekeningnya.  Ashel kemudian menatap Fariz.  “Kamu kirim uang sebanyak ini ke rekeningku buat apa?”

“Kok, nanya?  Buat keperluanmulah.  Terserah mau buat apa aja.  Buat beli bedak, kek.  Beli perkakas rumah tangga, kek.  Buat beli baju, bumbu dapur, atau emas.”

“Nah, sekarang baru kerasa kalau aku jadi istri manager perusahaan besar.  Kemarin kemarin rasanya jadi istri manager tapi hidup tetep melarat.”

Lidah Ashel jujur banget.  Maaf kalau terlalau jujur.  Ashel membatin.

“Yang penting sekarang kamu udah nggak kekurangan lagi.”  Fariz nyengir.  “Ya udah kita mulai masaknya.”

“Masak apa?”

“Mie goreng aja.”

“Oke.”

Ashel mengeluarkan bahan-bahan dan peralatan yang akan dia gunakan untuk membuat mie goreng.  Fariz mengamati bahan-bahan yang sudah terkumpul di atas meja.  Telur, mie kemasan, sosis, bawang bombay, sawi, daun bawang, bawang merah, bawang putih, cabe rawit, dan merica bubuk.

“Udangnya mana?” tanya Fariz yang tidak menemukan bahan yang ia cari.  Baginya, tidak akan lengkap mie goreng tanpa udang.  Rasanya pasti hambar.

“Di kulkas nggak ada yang namanya amis-amis.  Jadi jangan tanya udang.  Di kulkas Cuma ada sayur dan roti.”

“Ouh..”  Fariz mengangguk.  Ekspresinya agak kecewa.  Apa jadinya mie goreng tanpa udang?

Selama Ashel sibuk merebus mie dan meniriskannya, Fariz membantu memotong-motong bawang, sawi dan daun bawang.  Ashel merasa terbantu dengan apa yang dilakukan Fariz, meski setelah itu Ashel kembali memotong bawang bombai dan bawang putih yang sudah Fariz potong akibat ukurannya yang kebesaran.

Bersambung

Apa kesan kalian di chapter ini?

Cung dong buat yang minta next!  👆

Relakah kalau kisah ini menuju end?

Salam,
Emma Shu

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang