Satu

102 22 42
                                    

Ini menyebalkan! Gerutu Lux dalam hati. Ia tidak punya pilihan lain, selain menuruti kemauan Alyana, gadis di sampingnya.

Mereka berdua tengah memapah tubuh seorang pemuda asing berpakaian aneh ala orang tua. Pemuda yang terlihat kuno dan ketinggalan zaman itu ditemukan tak sadarkan diri di pinggir jalan dekat dengan pantai.

Tadinya sih, Lux berencana mengajak Alyana jalan-jalan sembari menikmati angin pantai dan debur ombak. Sudah lama sekali mereka tidak jalan berdua begini. Inilah saat-saat yang dinanti-nanti oleh Lux. Ia ingin Alyana tahu perasaannya. Bahwa baginya, Alyana tidak hanya sekadar sahabat. Lux ingin hubungan yang lebih dari itu. Tapi entah kenapa semesta selalu saja tidak berpihak kepadanya.

Jikalau bukan karena Alyana. Lux pasti cuek saja tentang pemuda ini, dia adalah tipe yang tak ingin terlibat dalam permasalahan orang lain. Jika orang ini memang butuh bantuan panggil saja pihak keamanan. Atau panggil saja 911. Ya, andai saja ini Amerika, pasti akan semudah itu, pikirnya.

Berbeda dengan Alyana, gadis manis yang sudah sangat dicintainya sejak kecil itu memang memiliki tingkat kepedulian yang luar biasa. Gadis itu entah kenapa selalu saja merasa segala hal yang terjadi di sekelilingnya adalah tanggung jawabnya. Ya, itulah hal yang sebetulnya membuat Lux kagum, sekaligus merasa lelah secara bersamaan.

Kini mereka telah sampai di tempat teduh di bawah pohon. Lux pun mulai mencoba membangunkan, menguncang-guncang, serta menepuk-nepuk pipi pemuda itu.

"Pelan-pelan, Lux!" seru Alyana.

Lux yang agak kesal. Malah menepuk pipi pemuda di hadapannya itu agak keras.

"Hai, bangun, Mas!" serunya agak berteriak.

Iris itu akhirnya terbuka perlahan, samar-samar wajah seorang gadis dan pemuda muncul di hadapannya, menatapnya penuh tanya. Dengan mengerenyit, ia menekan sikut ke tanah dan bangkit seraya mengucek kedua kelopak matanya. Seperti habis bangun tidur saja.

"Kakak baik-baik saja?" tanya Alyana dengan alis mengkerut pertanda khawatir, namun yang ditanya malah melongo, mengerjapkan matanya berkali-kali sambil menggeleng.

Tidak, tidak mungkin itu dia. Ya Tuhan, kenapa wajah mereka sangat mirip? Tapi tunggu, dari suaranya sepertinya memang bukan gadisku.

"Kakak yang mana?" pemuda itu balik bertanya.

Alyana yang terheran segera menjawab.

"Ya kakak lah. Siapa lagi orang di depan kita? Pohon? Aku bertanya padamu, Kak."

"Anak muda aneh," gumam si pemuda asing, yang cukup tertangkap oleh pendengaran keduanya. Mungkin orang aneh ini pingsan karena dehidrasi ditambah terik matahari, sehingga hilanglah sebagian kewarasannya, pikir Lux. Ya, itu bisa saja terjadi, seru Lux dalam hati, setelah melihat tingkah pemuda di hadapannya ini.

"Kakak orang mana, sih? Kenapa bisa tergeletak di pasir begitu?" tanya Alyana penuh selidik. Agaknya ia masih khawatir, takut-takut si pemuda asing memiliki riwayat penyakit, bisa saja 'kan?

"Kamu panggil saya Kakak? Benar-benar!" jawab si pemuda sembari mengernyitkan alis, dengan pandangan tak percaya.

Oh, ya ampun. Rasanya Alyana ingin membenturkan kepala pemuda itu ke pohon. Orang aneh macam apa ini! pikirnya.

"Terus saya harus panggil kakak apa?" Seru Alyana dengan  intonasi meninggi, ia sungguh merasa kesal dengan pertanyaan konyol itu.

Namun bukannya mendapat jawaban yang logis, pemuda itu malah menggerutu,

"Eh, Gak sopan banget kamu!" katanya, dengan jari telunjuk mengawang, ikut memperingati.

"Saya ini lebih pantas dipanggil 'Bapak', Bahkan pantas jadi Kakek kalian!" serunya ikut tersulut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lux AeternaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang