Rasa kantuk masih menyergapku saat Kak Ivan datang selepas zuhur. Enggan rasanya berpisah dengan kasur empukku yang baru dua jam aku tempeli setelah pulang dari toko. Sedikit memaksa kelopak mataku untuk tetap terbuka, aku menemui laki-laki itu di teras rumah.
Sebenarnya aku berencana untuk membatalkan acara kencan kami di hari Minggu ini. Atau paling tidak, bisa diundur sore nanti. Akan tetapi, sepertinya aku lupa untuk mengirimkan pesan untuknya tadi sebab aku yang langsung ketiduran begitu pulang.
Kak Ivan menyambutku dengan senyuman secerah mentari andalannya. Aroma musk dari parfum yang dia pakai menguar, mengantarkan kesan maskulin yang cukup kuat. Meskipun harus kuaku bahwa wangi itu sedikit menusuk penghiduku.
"Kamu belum siap-siap, Tha?" tanya Kak Ivan begitu melihatku muncul dengan rambut masai dan muka bantal.
Aku menggeleng lemah. Lidahku hampir mengatakan untuk membatalkan janji. Akan tetapi, wajah penuh pengharapan yang dipasang Kak Ivan selalu bisa membuatku tak berkutik untuk menolaknya.
Ya, ekspresi itu pula yang dipakainya saat memintaku untuk menjadi pacarnya delapan tahun lalu. Aku yang bodoh memang, kan? Bahkan aku tidak kuasa untuk sekadar mengatakan tidak saat Kak Ivan telah memasang wajah pengharapan tersebut.
"Maaf, Kak. Aku baru bangun," jawabku seadanya.
Setelah menyapa Kak Ivan sebentar, aku pun segera pamit untuk mandi dan bersiap-siap terlebih dahulu. Aku butuh guyuran air yang menyegarkan seluruh tubuhku agar tidak dilanda rasa kantuk lagi. Baru setelah itu, kami pun telah menyusuri jalanan ibukota dengan Mini Cooper berwarna putih yang menjadi kesayangan Kak Ivan.
"Maaf, Tha. Sebelum jalan, kita mampir ke Kemang dulu, ya?" tutur Kak Ivan sembari membelokkan mobilnya ke arah tol dalam kota.
"Mau apa, Kak?" tanyaku sedikit penasaran. Tidak biasanya Kak Ivan pergi ke daerah selatan ibukota itu.
"Ada perlu sama kerjaan di sana sebentar. Nggak apa-apa, kan?" Kak Ivan menolehkan kepala sejenak ke arahku sebelum berhenti di depan palang masuk tol yang masih tertutup.
Aku membuang muka. Berusaha mengerti akan kegilaannya dalam bekerja.
Ah, Kemang, ya? Aku jadi teringat Nina yang katanya akan pergi ke workshop idolanya di sana. Semoga saja fotografer itu menyukai buket bunga yang aku buat.
"Kamu marah?" tanya Kak Ivan melihat reaksiku.
Kugelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Kak Ivan. Aku sebenarnya sama sekali tidak marah atau kesal kepadanya. Hanya saja, Kak Ivan sepertinya hanya mementingkan pekerjaannya saja. Tidak, bukan maksudku tidak ingin mengerti dirinya. Hanya saja, hari ini aku merasa kelelahan dan butuh istirahat.
Tidak ada pembicaraan lagi di antara kami setelahnya. Pria di belakang kemudi itu fokus ke jalanan. Musik bernuansa jazz mengalun dari seperangkat audio yang terpasang di mobil mewah ini. Membuatku tak kuasa untuk tidak memejamkan mata.
Aku tertidur dan sontak terbangun begitu deru mesin mobil dimatikan. Kelopak mataku terbuka, lalu yang kulihat pertama kali adalah sebuah bangunan berlantai dua dengan fasad kaca di bagian luar. Di lantai atas, aku bisa melihat meja dan kursi yang berjejer, ditata sedemikian rupa dengan beberapa muda-mudi yang sedang asyik duduk bercengkerama.
Sebuah kafe? Aku mengerjap beberapa kali.
"Pules banget tidurnya, Tha," ujar Kak Ivan sembari mengacak rambutku gemas.
Aku mencebik. Berpura-pura kesal. Kusingkirkan tangan besar Kak Ivan dari puncak kepalaku.
"Rambutku jadi berantakan tahu, Kak!" Aku merogoh mini backpack yang berada di atas pangkuan untuk mengambil ikat rambut di dalamnya. Menyisir sebentar dengan jemari, lalu membuat kucir bergaya messy bun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomanceAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...