"Shel, makasih ya kamu udah bantuin aku membujuk Pak Roby," ucap Fariz."Udah tugasku, kan kamu yang nugasin aku. Ya aku harus selesaikan kerjaan yang dikasih bos." Ashel menatap Fariz.
"Hehee... Besok aku akan temuin Pak Roby untuk mengurus proses jual beli tanah."
"Bagus. Lebih cepat lebih baik," jawab Ashel
Fariz mengambil cabe dan bersiap memotongnya.
"Eit, cabenya jangan dipotong." Ashel merebut cabe rawit yang sudah dipegang Fariz.
"Jadi?"
"Diblender." Ashel memasukkan cabe ke blender dan menggilingnya.
Brrrrt.... Blender mulai bekerja.
"Suara blendernya sadis banget." Fariz menutup kedua telinga dengan telapak tangannya, telinganya sakit mendengar suara blender yang memang sudah mengerikan, keras dan menyicit.
"Jangan protes. Uang Cuma-Cuma baru masuk, dan aku belum sempat beli yang baru. Bentar lagi ini blender juga bakalan ko'it. Kamu tunggu di meja makan, gih."
Fariz menurut, ia berjalan menuju meja makan dan duduk di salah satu kursi. Meski mereka berada di ruangan yang berbeda, namun Fariz dapat melihat setiap gerak tubuh Ashel yang tengah sibuk memasak melalui lubang pintu yang menghubungkan antara ruang makan dan dapur.
Dalam hitungan menit, Ashel telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia meletakkan dua piring mie goreng ke meja.
Mereka duduk berhadapan.
Sebenarnya selera makan Fariz sudah hilang sejak ia mendengar tidak ada udang yang bakalan teraduk di sajian mie goreng, tapi melihat tampilan serta aroma sedap dari mie goreng yang di suguhkan, nafsu makan Fariz pun bangkit lagi. Di atas mie, dihias daun seledri, potongan tomat dan timun, serta nuggeat goreng.
Fariz memegang garpu dan melilitkan mie ke garpu, lalu melahapnya.
"Amazing!" seru Fariz membuat Ashel kaget akibat suara keras suaminya.
"Nggak usah teriak-teriak ngomongnya, Mas. Jantungan aku."
"Kamu tau nggak?"
"Enggak."
"Aku belum selesai ngomong."
Ashel tertawa. "Ya udah, ngomong aja!"
"Oke, kuulang. Kamu tau nggak? Aku nggak pernah doyan makan mie goreng kalau nggak pakai udang. Berkali-kali Mama bikinin aku mie goreng tanpa udang, dan aku hanya mencicipinya sesendok doang, setelah itu nggak kuhabisin. Soalnya nggak sesuai sama lidahku. Tapi kamu mengenalkanku dengan cita rasa baru, untuk pertama kalinya aku jadi doyan mie goreng tanpa udang."
Lagi-lagi, Ashel mesam-mesem nggak jelas. Ini nih efek pujian suami, bikin bibir melebar melulu. Lama-lama gigi kering.
Tidak butuh waktu lama untuk Fariz menghabiskan makanannya. Ia meletakkan sendok dan garpu, lalu meneguk teh hangat yang Ashel sediakan untuknya.
"Alhamdulillah, kenyang," tutur Fariz sembari menatap piringnya yang kosong. Ia menunggui Ashel hingga selesai makan. Mereka bersama-sama mematikan lampu setiap ruangan, kemudian masuk ke kamar untuk tidur.
Fariz sudah merebahkan tubuhnya di kasur.
Ashel masih sibuk membereskan meja rias, tepatnya pura-pura sibuk. Padahal meja rias sudah rapi sejak tadi. Rasa canggungnya kambuh lagi. Iris matanya kembali melirik kasur sebelah Fariz. Haduh, bagaimana caranya ia bisa tidur seranjang dengan Fariz? Jantungnya ya ampun, rame banget.
"Kamu nggak mau tidur?" tanya Fariz seraya menatap Ashel.
"Iya, bentar lagi."
Nunggu kamu tidur. Lanjut Ashel dalam hati.
"Mejanya udah rapi, Shel. Mau berapa lama kamu bolak-balik nyusun bedak-bedakmu itu ke posisi yang sama?"
Iyaaak... ketauan. Ashel menggumam. Kemudian ia meninggalkan meja dan menyeret langkah menuju ranjang. Baru saja ia hendak memutari ranjang untuk menjangkau badan kasur yang kosong, kakinya malah terpeleset. Akibatnya... Gabruk!
Ashel terjatuh dengan posisi yang enak. Tepatnya separuh tubuhnya kini menimpa tubuh Fariz. Anehnya, bibir Ashel tepat mengenai leher Fariz.
Ya Tuhan, boleh nggak hentikan waktu untuk beberapa saat? Kapan lagi ngerasain kecelakaan yang indah ini? Ashel menahan nafas seiring dengan gemuruh dadanya. Ia yakin Fariz pasti merasakan detakan jantungnya yang kini tepat mengenai dada Fariz.
"Mau gini terus, nih? Ngak mau bangun?" tanya Fariz dengan nada menggoda.
Jiaah... Nih laki lempeng amat? Ashel kan ingin diperlakukan dengan manja, diapain gitu, kek. Eh, malah diledekin. Ashel dengan cepat bangkit lalu melompati tubuh Fariz menuju ranjang yang kosong dan merebahkan tubuh di sisi Fariz. Mendingan dia tidur.
Fariz mengubah posisi tidurnya menjadi miring, tepat menghadap Ashel. Satu lengan kokohnya ia letakkan di atas perut Ashel, tepatnya untuk memeluk.
Degupan yang tadi belum hilang, sekarang ditambah lagi degupan yang kian mengeras akibat ulah Fariz.
"Mas, aku mau nanya sesuatu."
"Apa?" Fariz menatap mata Ashel intens.
Ashel yang juga tengah menatap mata Fariz, kini malah bengong. Yasalam, jarak mata mereka begitu dekat, bahkan hambusan nafas Fariz terasa menyapu wajahnya.
"Ayo, mau ngomong apa? Kok, malah diem?" lengan Fariz menyenggol perut Ashel.
Tatapan Fariz membuat Ashel nggak kuat. Meleleh, Bang. Aduduh...
Saat ini, sekujur tubuh Ashel terasa dingin, gugup dan grogi.
"Hah?" Ashel terkejut saat sadar bibirnya kini bertaut dengan bibir Fariz. Entah sejak kapan insiden caplok itu terjadi. Wajah mereka menempel, hidung mereka juga menempel. Entah apa yang membuat Ashel merasa seperti kehilangan kesadaran hingga bisa-bisanya wajahnya maju dan mencium bibir Fariz. Akibat terbawa situasi, terbawa perasaan, juga terbawa hati, jadinya main sosor aja.
Beberapa detik berikutnya, keadaan tidak berubah. Fariz tetap diam, hanya menatap Ashel tanpa sedikitpun pergerakan.
Ah, konyol! Betapa bodohnya Ashel yang berharap lebih. Mana mungkin Fariz akan membalas kehangatan yang baru saja dia berikan. Fariz itu mencintai Ayesha, bukan Ashel.
Oh tidak, pemikiran Ashel tidak boleh dibenarkan. Ashel saat ini sedang berusaha membuat Fariz berpaling dari Ayesha dan mencintai dirinya. Ashel tidak boleh menyerah hanya karena sikap dingin Fariz. Ashel harus maju terus, tidak boleh patah semangat. Ia ingin membuat rumah tangganya penuh cinta, sebuah niat yang baik jika ia berusaha untuk membuat Fariz menjadi suaminya seutuhnya.
Ya, Ashel ingin mempertahankan rumah tangganya dengan caranya sendiri. Tapi apa layak kalau cewek yang justru agresif? Malu-maluin iiiih... Ashel bergidik membayangkan dirinya yang sosor sana sosor sini.
Ashel memundurkan wajah menatap muka Fariz yang datar. Fariz kelewatan. Apa dia tidak bisa bersikap lebih leluasa? Setidaknya menyembunyikan sikap dinginnya itu dengan menampilkan sikap sedikit hangat untuk menghargai Ashel? Ah tidak, lebih baik Fariz menunjukkan sikap aslinya yang memang tidak mencintai Ashel, dari pada Ashel harus hidup dalam kepura-puraan. Sakit karena kejujuran itu lebih baik dari pada bahagia di atas kebohongan dan dusta.
Ashel kembali ke posisi semula, berbaring. Kini langit-langit kamar yang menjadi pemandangannya.
Tbc
Apa ungkapan kalian sama perasaan Fariz sekarang ?
Berhubung banyak yang minta jangan end dulu, aku bikin banyak chapter buat kalian. Nggak enak kalau gantung kan? Aku tuntasin satu per satu deh.
Yg sider, semoga juga muncul ngeluarin komen cetar membahana.
See you next time
😘😘😘
Salam,
Emma Shu
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit)
EspiritualBISA DIPESAN DI SHOPEE. Status Fariz yang awalnya adalah senior Ashel saat SMA, kini berubah jadi atasan di kantor setelah lima tahun berlalu. Pertemuan Ashel dan Fariz membuat Ashel jatuh cinta. Tapi sifat Fariz sulit ditebak, membuat Ashel jadi s...