Aku melihat sosok itu. Dialah seorang dengan tangan penguasa hujan. Seorang yang mampu getarkan lampu di dahan kenanga. Dan pula, seorang yang selalu di pelukan bunda. Semenjak ku mengenalnya, tak pernah ada kabar buruk berkisahkan dirinya. Yang kudengar, hanya cuitan merdu tentang paras dan kesempurnaannya.
Dia menempatkan dirinya pada rangkaian kayu yang mulai melapuk. Sosoknya masih dengan tumpukan kertas di atas mejanya. Ditambah pena hitam kesayangannya yang masih mengait di antara jari-jari panjangnya. Dahinya mengerut, dan sesekali bergumam. Tampaknya, ia sedang berpikir dan mengira.
Aku terus memperhatikannya dari tempatku berada. Tepat di samping kelambu biru yang menyibak di terpa angin yang berhembus perlahan dari balik jendela. Garis wajahnya yang tegas lengkap dengan mata sendu yang terus berkedip dan menatap lurus ke arah soal-soal itu.
Dia masih sama. Sebagai orang yang berwibawa dimanapun berada. Banyak sekali wanita yang mengidamkannya. Namun sepertinya, dia tak tertarik pada satupun diantara mereka. Dia sudah sangat cinta pada nilainya, pada bukunya, dan seluruh ilmunya. Tak lagi dibingungkan oleh masalah percintaan.
Dia Natan. Kecintaannya pada angka di atas kertas, bisa membuat semua orang iri kepadanya. Setiap hari ia disibukkan dengan kegiatan yang selalu monoton. Tidak berubah. Tidak ada variasi apapun. Begitulah, bergulat dengan soal, rumus, dan teori. Buku sudah seperti makanan sehari-hari baginya.
Tak selang waktu lama, beberapa anak laki-laki datang dan berjalan kearahnya. Ya, ku pikir mereka satu spesies dengan Natan. Sama-sama mencintai angka di atas kertas. Dan aku benci orang seperti mereka. Orang yang terlalu memikirkan nilai dan berusaha membodohkan orang lain karena kepandaiannya.
Tiba-tiba, suara bel dari luar kelas memekikkan telinga. Hal itu sontak membuyarkan kegiatan Natan dan kawan-kawannya. Merekapun kembali ke tempat duduknya masing-masing dan melanjutkan kegiatan belajarnya.
"Selamat siang anak-anak! Hari ini kalian akan melaksanakan ulangan harian matematika," ucap Pak Robi seraya merapikan tumpukan kertas yang dibawanya.
"Ra, kamu udah belajar?" tanya Daniel, teman sebangkuku.
"Plis deh, Niel. Aku bukan Natan yang tiap hari makan buku pelajaran. Toh, masa depan gak bisa diukur dengan nilai," jawabku seraya membetulkan poni yang menutupi mataku.
"Tapi kan, seenggaknya nilai kita harus bagus biar gak dianggep bodo," kata Daniel membantah perkataanku. Ya, ku tahu dia memang pandai berkata-kata.
"Udahlah, yang penting paham pasti bisa ngerjain kok." Aku masih dengan cermin merah muda bergambar kelinci di tanganku. Menurutku, berkaca dan menjaga penampilan merupakan suatu hal wajib yang harus dilakukan daripada belajar dan terus belajar seperti Natan dan sekawannya.
Pak Robi mengitari setiap bangku untuk membagikan lembar soal ulangan harian matematika. Ku lihat teman-teman di sekelilingku, mereka tampak sangat takut dan khawatir. Inilah yang tidak ku suka. Rasa pesimis sebelum melakukan sesuatu. Padahal, soal ulangan belum saja dibaca. Namun, mereka sudah takut lebih dulu. Lemah!
"Kerjakan soal dengan teliti dan tentunya jangan lupakan kejujuran. Kejujuran lebih penting dari angka, mengerti?" kata Pak Robi mengingatkan kami setelah membagikan soal kepada seluruh siswa di kelas ini.
Ya, itu yang selalu dikatakan para guru. "Kejujuran lebih penting daripada nilai". Pernyataan dengan penuh kebohongan di dalamnya. Ketika nilai yang didapatkan tidak sesuai harapan walaupun sudah mengerjakan dengan jujur, mereka akan menyebut 'bodoh'. Sedangkan, yang mendapat nilai baik dengan cara yang curang tidak pernah dihakimi. Sudahlah, yang penting aku tidak melakukannya.
Sebelum mulai mengerjakan, diam-diam aku membuka ponselku dan mengirim pesan pada ibuku. Ini sudah kebisaan bagiku untuk meminta doa dari ibu sebelum mengerjakan ujian. Setelah itu, aku mulai membaca soal demi soal. Dengan bekal pemahaman dari penjelasan Pak Robi sebelumnya, aku dapat mengerjakan soal ini dengan mudah. Walaupun memang aku tidak belajar semalam. Ya, berdoa sajalah agar Dewi Fortuna berpihak kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laman Yang Belum Terungkap
Short StoryPada dasarnya, kau selalu bersembunyi di balik perunggu kelabu yang kau rakit dari hari awalmu. Lalu, mereka mengira, dirimulah sosok pelangi yang hanya ada di langit biru.