Saga memarkirkan mobilnya di basement. Ia mengambil nafas dahulu. Sejenak mempersiapkan dirinya untuk hari ini. Mengambil ponsel lalu menelepon istrinya. Entah kenapa ia sangat merindukan Reres akhir-akhir ini. Apa karena Gladys? Apa Saga takut dengannya? Takut perempuan itu masuk lagi ke kehidupannya? Takut mengacaukan yang sudah tersusun rapi?
Saga sangat mencintai Reres. Reres dan anak-anaknya yang membuat ia begitu bahagia. Jadi, seharusnya kehadiran Gladys tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Iya, begitu.
"Hai, Love," sapa Saga saat Reres sudah menerima panggilannya. Wanita itu terlihat sibuk karena memang berada di ruang kerjanya.
"Hai, Bee. Kenapa?" Reres menjawab sambil tersenyum. Ah, senyum yang selalu disukai Saga.
"Res, lo taruh mana sih lip balm yang kecil tadi?" kesal Brian.
"Ada Brian?" tanya Saga saat mendengar suara Brian.
Reres mengangguk, tertawa kecil. "Rusuh banget dia. Kerjaannya ngomel doang. Tapi hasil nggak ada," cibir Reres dengan suara keras supaya didengar tersangka.
"Heh, gue nggak rusuh, ya. Ini memang produknya ilang satu. Lagian kenapa yang namanya lip balm itu kecil, sih."
"Kalo besar itu hand body, Brian!" kesal Reres.
"Bodo amat. Gini kan nyarinya susah."
Reres mengarahkan ponselnya pada kegiatan Brian yang memang rusuh. Kewalahan mencari produk yang akan ia foto. "Bri, matamu katarak kali. Nyari gitu aja nggak bisa, apalagi nyari cewek?"
Reres dan Saga tertawa melihat kekesalan Brian.
Saga menatap sang istri kemudian bertanya. "Anak-anak mana?"
"Aku sumpahin kalian yang paling repot pas aku nikah," teriak Brian di ujung sana. Saga dan Reres menghiraukan.
"Berkebun sama Mbok Mar. Nanti kamu lihat hasil mereka." Saga mengangguk senang. "Ya sudah, kerja yang bener. Bye, Bee. Love you."
Saga menutup ponselnya. Kini. Ia bisa bernafas lebih teratur setelah menelepon istrinya juga mengetahui kegiatan anak-anak.
Berjalan memasuki lobi, semua karyawan menunduk memberi hormat. Saga dan aura kepemimpinannya mampu membuat kejer siapa saja yang berhadapan dengannya. Ditakuti bukan karena sikap kedisiplinannya tapi juga karena tidak memberi toleransi pada kesalahan kecil sekalipun.
"Selamat pagi, Pak," sapa Siska dengan senyum secercah matahari di siang hari.
"Apa jadwal saya hari ini?" tanya Saga begitu memasuki ruang kerjanya. Di belakang, Siska mengekor dengan cepat.
"Jadwal Bapak hari ini, pukul sepuluh pagi bapak ada meeting dengan tim kreatif untuk hasil desain kemasan. Pukul satu siang, Bapak ada meeting dengan tim marketing. Sudah itu saja."Saga mengangguk paham. Ia menyuruh Siska pergi dengan menggerakkan tangannya. Meski mendumel, Siska setuju dan memilih pergi. Bagi Siska, Saga adalah bos yang paling keren dan tampan. Keren cara kerjanya, kepemimpinannya dan auranya. Tampan wajah dan bentuk tubuhnya. Meski Siska belum pernah melihat langsung bentuk tubuh yang tertutupi oleh kain itu, Siska yakin bentuk roti sobek di sana tidak hanya satu atau dua mungkin empat atau enam. Andai bisa, Siska ingin menyentuhnya. Namun, jangankan menyentuh, mendekati saja, Saga sudah seperti singa.
"Apa perlu dirubah, Pak?"
"Apanya?"
"Jam meetingnya."
"Tidak usah. Kembali saja ke ke meja kamu." Saga berkata dingin, seperti biasa.
"Baik, Pak." Siska kehabisan akal. Ia sudah mencoba menggoda Saga dengan berbagai cara, tapi tetap saja pria itu tidak menoleh padanya. Jangankan menoleh, melirik saja tidak pernah dilakukan pria itu.
Bukan Siska tidak tahu kalau bosnya itu sudah mempunyai keluarga kecil. Namun, ada sesuatu yang membuatnya sangat percaya diri bahwa Saga bisa jatuh ke pelukannya yaitu tubuh dia lebih seksi dan menarik dibanding istri bosnya. Ia lebih ramping dan lebih terlihat indah dibanding istri gemuk bosnya. Dia lebih cantik dan relawan dibanding istri bosnya. Iya, itu yang membuat dia begitu percaya diri. Maju terus pantang mundur meski tak kunjung mendapat balasan.
"Ayo dimulai," ucap Saga ketika semua sudah berkumpul di ruang meeting.
"Kita sengaja memakai warna hijau karena warna itu menyatu dengan alam sesuai dengan produk kita," ucap salah satu orang kreatif.
"Kenapa ada foto Gladys di sana?" tanya Saga heran. Ia menunjuk gambar Gladys di tengah kemasan itu. Terpampang sang jelas.
"Karena dia adalah brand ambassador kita, Pak."
Saga mendecih tidak suka dengan jawaban yang kurang memuaskan itu. "Bahkan ada produk lokal yang menggunakan brand ambassador orang Korea, tapi di kemasannya hanya ada gambar isi yang dijual dan mereka tetap laris manis." Saga menoleh pada tim marketing, dan berkata lagi, "Jadi, bukankah itu semua tergantung bagaimana tim marketing bekerja, seharusnya?"
Pada akhirnya meeting tim kreatif dan tim marketing digabungkan menjadi satu. Karena keduanya memang perlu berbincang. Perlu memahami cara kerja, visi dan misinya. Sehingga mereka bisa bekerja sama dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Apalagi ini adalah produk terbaru milik Saga yang rencananya akan diimpor ke luar negeri. Ia sudah menjelajah ke sana dan parahnya bagus.
"Desain lain?" Wajar Saga bertanya seperti itu karena tim kreatif bukan hanya satu dua orang. Mereka satu tim ada lima orang. Semuanya menunduk diam. "Saya bilang desain lain!!" Saga kesal dan helan napas. Diamnya Saga sudah buat semua yang ada di sana ketar-ketir.
"Apa kita pernah menyetujui Gladys di kemasan?" sengit Saga. "Apa kita pernah membahas Gladys di kemasan? Jika tidak, kenapa kalian mengambil kesimpulan sendiri?"
Pria itu menatap sengit pada tim kreatif yang hanya menunduk. Yang efeknya tidak hanya pada tim kreatif, tapi juga pada tim marketing yang saling senggol.kainya di bawah meja sana.
"Saya tidak mau tahu. Setelah jam makan siang, kalian berkumpul lagi di sini. Dan kalian ...." Saga menunjuk tim kreatif. Membuat tim leader mereka mendongak. "Kumpulkan paling sedikit dua desain untuk kemasan produk kita. Rapat ditutup."
Saga ke luar dari ruang rapat dengan geram. Amarah menyelimutinya. Mungkin terdengar kekanakan jika ia dianggap tidak profesional semata karena Gladys - mantan pacarnya - menjadi brand ambassador dari produknya.
"Pak, desain mereka tadi sangat cantik. Aestetik dan kekinian sekali lho, Pak," ungkap Siska jujur.
"Apa saya minta pendapatmu?" Saga melirik sengit pada Siska yang ikut diam. "Mending kamu ke luar."
Siska akhirnya memilih ke luar. Namun, tak lama kemudian wanita itu kembali lagi membawa kopi hitam dan snack untuk Saga. Membiarkan tiga kancing teratasnya terbuka. Mungkin bosnya itu, tak hanya penyegaran dari alat bernama ac, tapi juga dirinya. Itu yang dialiri Siska.
Saga menghirup aroma kopi yang dibawa Siska. Sejenak, Saga merasa sedikit tenang. Ia mengambil nafas lalu mengeluarkan lagi. Begitu terus hingga emosinya kembali normal."Pak, saya bawakan Bapak kopi dan camilan untuk menenangkan bapak," ujar Siska. Menunggu Saga melihatnya.
"Terima kasih. Letakkan di meja dan kembali ke meja kamu."
"Emm, coba Bapak lihat dulu, mungkin ada yang kurang," ujar Siska. Ia tak mau gagal lagi kali ini.
Saga menatap dan kembali melihat dokumen miliknya. "Kamu masih mau kerja di sini kan?" Tanya Saga datar dan dingin. Jelas, itu membuat Siska kocar-kacir dan berjalan cepat ke luar ruangan sang atasan.
***
Yang baca komen dong ..😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta 100 Kg
Romance🍓 Update lebih cepat di Karyakasa 🍓 "Bee, ce-petan ish, nan-ti anak-anak bangun," pinta seorang wanita bertubuh gemuk kepada sang suami yang tengah bergerak di belakangnya. Tak peduli dengan apa yang dikatakan sang istri, Saga malah asyik bergera...