Lebaran yang Basah

489 4 0
                                    

Malam itu, saya tidak menunggu sidang isbat yang menentukan hari lebaran itu jatuhnya kapan, memang benar-benar besok atau besoknya lagi. Saya tenteng beras zakat fitrah saya ke musholla dekat rumah.

“saya belum tahu, besok sudah lebaran apa belum mas, tapi sini, saya doain dulu zakatnya” kata Subur, yang sering azan idak lebaran, dan tetangga di musholla itu. Saya mengangguk.

“lebaran seringnya beda-beda ya mas. Saya sebagai ketua panitia takbiran keliling jadi bingung, sudah dipersiapkan segala sesuatunya, eh, lebarannya masih besoknya lagi. Tahu kapan, ga dipersiapkan, eh, tahunya lebaran sudah besok” katanya. Aku mesem, mengangguk lagi.

“mas, saya turut berduka cita ya. Semoga mas Rudi diberi ketabahan selalu” katanya lagi, suaranya berubah sendu. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

“iya kang” kataku pendek

“Padahal mbak Sari itu, orangnya baik ga ketulungan. Ga ada duanya didunia ini”

“saya tahu itu kang. Orang-orang juga bilang begitu. Saya permisi dulu ya kang” kataku pamit.

“ga ikut takbir keliling mas ?” serbu kang Subur, menahan saya memakai sandal jepit warna hijau yang diparkir diteras depan.

“katanya belum tahu lebarannya kapan. Nanti kalau sudah pakem, saya kesini lagi deh” kataku. Giliran kang subur yang mengangguk sambal mesam-mesem.

Saya lari-lari lewat jalan setapak,  menerobos ke semak-semak hingga tembus ke lapangan voli belakang rumah. Anginnya kencang malam ini. Hujan tinggal tunggu hitungan detik sampai mereka ambrol atas kepala. Samar-samar kumandang takbir menggema dari masjid yang paling jauh, lalu merembet cepat ke musholla kang subur. Lebaran kelihatannya jadi besok pagi.

***

Saya tahu lebaran kali ini pasti jadi seperti ini.  Prediksi saya ga meleset. Dari pagi, hujan sudah turun. Tidak, dari semalam malah. Berhenti sebentar, lalu turun lagi. Tanah-tanah jadi becek dan masjid musti dipasangi terpal dibagian depan untuk shaf perempuan. Lebaran tahun ini akan jadi lebaran yang basah.

Orang-orang kampong yang biasanya keliling, jalan kaki, kerumah-rumah tetangganya, jadi malas keluar. Begitu juga saya, ngendon dirumah jaga opor ayam. Diluar dingin juga basah. Kucingpun tak kelihatan seekorpun. Ngomomng-ngomong soal kucing, saya ga lihat Jeremy-nama kucing kampong saya- dari kemaren. Terakhir saya lihat, badannya luka-luka lalu muncul seperti borok dimana-mana, ini gegara pertarungannya memperebutkan kucing seksi sebelah rumah.

Lamunan saya terhenti ketika ada suara orang masuk. Payungnya yang basah sempat mengotori teras rumah saya. Orang itu menjabat tangan ibu mertua saya lalu mulai terdengar suara isakan tangis lagi. Sudah 3 pasang orang kesini, dan kesemua-muanya menangisi kepedihan kami.

Ahh, saya belum cerita. Saya baru saja kehilangan istri. 2 bulan yang lalu. Dengan usia perkawinan satu tahun lebih 3 hari. Anak ibu mertua saya ini. Ini bukan kampong saya, ini kampong mendiang istri saya. Saya sekarang dirumahnya. Saya lebaran disini. Dan orang-orang sudah kenal saya baik. Ini karena istri saya yang kelewat baik dengan orang-orang sini

“Mas Rudi, yang sabar ya mas” saya hanya mengangguk. Bagaimana bisa saya sabar kalau di takbir pertama berkumandang yang saya ingat adalah bagaimana dulu saya dan Sari menghabiskan malam takbiran bersama. Bagaimana saya bisa tahan, saat semua orang bergembira, berkumpul dengan keluarga mereka, berbagi kebahagiaan dengan keponakan-keponakan mereka, tapi lebaran tahun ini saya justru tidak sedang bersama dengan orang yang paling ingin saya ahh, mata saya mulai perih lagi.

Orang-orang ini mulai bercerita tentang kebaikan-kebaikan mendiang istri saya. Dan bagaimana orang sebaik istri saya meninggalkan dunia dengan cepat. Disaat kebahagiaan dengan suami sedang terpusat.

“saya permisi kebelakang sebentar ya” saya tersenyum lalu berdiri pergi dari lingkaran obrolan mereka. Sial ! mata saya makin perih. Saya menangis tanpa suara dikamar mandi. Saya tutup pintunya rapat-rapat.

Saya mencoba mengalihkan pikiran saya ke hal lain sejak tadi, ke hal-hal lucu. Saya coba buka buku komedi-komedi yang saya punya supaya air mata tak ambrol didepan orang-orang. Saya coba pusatkan pikiran saya ke hal lain lagi. Kerjaan-kerjaan saya di kantor yang sudah menunggu. Keponakan saya yang di Padang mau menikah, apa lagi apapun yang membuat saya sibuk, sibuk berfikir.

Saya mulai mengusap wajah saja, berusaha memposisikan bentuknya supaya tak kelihatan habis menangis. Lalu mulai keluar lagi. Tamu-tamu yang tadi sudah tidak ada, mereka sudah pergi ke tetangga yang lainnya. Minta maaf ke orang lain.

“Sudah makan kamu Rud ?” Tanya ibu mertua saya sember. Diluar masih hujan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lebaran yang BasahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang