Akhirnya aku bisa melihat cahaya kembali ketika Bapak membuka bagasi. Ia mengambilku dan berjalan menuju rumah denganku di tangannya. Rumah baruku sepertinya terletak di pinggiran kota jauh dari keramaian. Rumah kecil dengan ruang keluarga, kamar mandi, dapur, kamar tidur, dan halaman yang cukup luas. Saat kami masuk ke dalam rumah seorang pemuda telah menunggu kami di sofa ruang keluarga.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Alam kemari, Bapak punya sesuatu untukmu."
"Apa?"
"Kaulihat saja sendiri sini."Ia beranjak dari sofa dan menghampiri kami. Ia lalu membuka plastik dan mulai meperhatikan tubuhku.
"Wow, sungguh sarung yang sangat indah."
"Sarung ini untukmu anakku."
"Terima kasih, Bapak."Mereka lalu melanjutkan obrolan mereka. Mengobrol tentang kondisi kehidupan mereka masing-masing.
"Maaf Alam, Bapak tidak bisa berlama-lama"
"Tidak apa-apa Bapak, hati-hati dalam perjalanan pulang"Alam lalu berpamitan dengan Bapaknya. Suara mesin mobil lama-lama memudar digantikan oleh kesunyian malam.
Alam adalah seorang pemuda yang berperawakan kurus tapi kuat. Ia sepertinya seorang pekerja kantoran dilihat dari pakaiannya. Ia memakai kemeja merah, celana bahan hitam dan dasi. Sepertinya ia baru pulang kerja dan sedang bersantai di sofa sebelum kami menggangu waktu istirahatnya.
Ketika terdengar bunyi azan Alam langsung mengenakanku di pinggangnya dan bergegas menuju Masjid. Di perjalanan aku sudah tidak sabar untuk memenuhi tujuan utamaku semenjak lahir. Aku merasakan sensasi yang luar biasa ketika tubuhku terkena cipratan air wudu. Saatnya telah tiba, pada setiap rakaat aku dapat merasakan kedamaian dalam diri Alam. Aku mengikuti semua pergerakannya dari takbir sampai salam.
Semenjak pertemuan pertama kami, Alam dan Aku rutin pergi ke masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah tempat Alam tinggal sendiri. Aku pikir kehidupan baruku akan terus sempurna. Tapi ternyata aku salah.