Sandara. Bandung, Mei 2047
Mataku terbuka dan terpejam bergantian dalam frekuensi tertentu. Sungguh, aku baru saja melihat kejadian mengerikan. Ingin sekali aku berharap ini semua adalah mimpi. Mungkin benar ini hanya mimpi, saat remaja, aku mempunyai mimpi memiliki petualangan besar. Ah, petualangan besar itu hanya mimpi akibat rasa kehilangan besar: keluarga dan pacar. Aku hanya remaja yang salah menitipkan perasaan kepada seseorang. Hingga saat orang itu menghilang, imajinasiku berkeliaran. Hingga rasanya, imajinasi itu terasa seperti nyata.
Tunggu.
Apa yang telah ku imajinasikan?
Sedari kecil, aku berimajinasi menjadi seorang anak perempuan dari keluarga yang memiliki rumah dengan dikelilingi halaman. Anak perempuan dengan senyum manis yang berhasil memikat anak lelaki tetangga sebelah rumah. Bersama anak lelaki tetangga tersebut, aku menghabiskan waktu senggang bersama, hingga akhirnya kami memutuskan menikah. Di saat umurku 21 tahun, aku, sang anak perempuan akan menikah dengan anak lelaki tetangga di umur 21 tahun. Aku pun menjadi ibu rumah tangga yang sibuk dengan kegiatan sosial di panti, ataupun perpustakaan terbuka. Tiap sore menyediakan waktu berkumpul bersama anak dan suami di teras rumah.
Imajinasiku bukanlah imajinasi menjadi seorang wanita peneliti di sebuah organisasi raksasa rahasia berinisial SSA. Bukan pula menjadi seorang peneliti dengan bayangan liar mengenai senjata, perisai, obat-obatan melalui teknologi. Bayangan liar yang menjadi sebuah tuntutan, hingga di penghujung pilihan hanya ada satu pilihan tersisa: keikutsertaan dalam kerumitan peradaban. Keikutsertaan yang berantai mengharuskan keterampilan lebih layaknya agen rahasia atau prajurit. Bahkan tujuan menunjukan kepada dunia bahwa 'selalu ada pilihan' bukanlah imajinasiku. Tujuan itu baru mengetuk duniaku setelah aku masuk ke dalam dunia penelitian, dan baru kutetapkan ketika aku memiliki keponakan pertama: Junior. Lantas, mengapa aku masuk ke dunia penelitian? Aku hanya ingin lari dari rasa sedih dan malu atas kegagalan dan kehilangan.
Lari.
Ya, aku berlari terus berlari menuju sudut gelap yang tidak terjangkau lingkunganku sebelumnya. Hingga saat ini, aku merasa sudah tidak mungkin diri ini berlari menuju sudut gelap lain yang tidak terjangkau lingkunganku saat ini. Karena, saat ini aku sudah mendekati puncak cahaya. Satu-satunya cara tersisa adalah berlari menuju pusat cahaya hingga segala kemungkinan dapat terjadi.
Apakah aku berhasil menemukan bintik hitam abadi di dalam pusat cahaya?
Apakah justru aku akan menghilang abadi karena tersamar oleh pendaran cahaya abadi?
Yang jelas, jika aku masih berada di batas horizon pusat cahaya, aku masih akan terlihat. Bagaikan riak tetesan air dalam kolam. Keberadaanku di batas horizon hanya akan menaikkan entropi sistem, menimbulkan distorsi ruang dan waktu, dengan kata lain sebuah kekacauan.
"nduk"
Mataku benar-benar terbuka. Dalam sekejap, aku melupakan apa yang kupikirkan barusan. Aku bahkan lupa dengan apa yang terjadi beberapa saat lalu.
"kapan kamu akan balik lagi ke Indonesia?"
Indonesia? Itu negara tempatku tinggal. Memang aku sedang berada dimana?
"cobalah sekali lagi untuk hidup di sini. Bagaimana pun kamu masih anak Ibu, Dara"
Aku mulai ingat, sekarang aku sedang di Indonesia. Terjadi kecelakaan beberapa jam lalu.
"Jika masih ada sesuatu yang bisa diceritakan, jadikan ibu orang pertama yang mengetahuinya"
Misi. Itu kecelakaan misi.
"Ibu tahu bahwa sekarang ada yang tidak dapat diceritakan mengenai pekerjaanmu. Tapi, ibu berhak tahu apa yang terjadi dengan anak-anak ibu"
Apa-apaan ini, kenapa aku mengingat sebuah reka kejadian tabrakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
#2 Mukjizat Waktu: Absolute (SELESAI)
General Fiction"Katakan, apakah ini langkah perang kalian?" "Aku baru saja melancarkan langkah perang, jika ada kejadian lagi, itu artinya bukan pihakku. Pikirkanlah, siapa yang kuancam tadi di ruang sidang, maka itulah pelakunya" Empat organisasi rahasia dunia:...