Mencekam

7.2K 364 32
                                    

GRUBAK!

"Kyaaaaah!"

Nara menjerit tertahan dengan mata nyalang. Saat tiba-tiba terdengar suara seperti barang-barang jatuh dari atas lemari.

Tapi tempat ini tidak ada lemari satu pun. Rumah Mbah Pringgo hanya memiliki beberapa ruangan. Ruang tamu kecil dengan tiga kursi dari bambu tanpa sandaran, satu kamar tidur dengan dipan yang muat untuk dua orang, tanpa lemari, dan dapur dengan peralatan masak yg sederhana.

Jadi dari mana arah suara tadi?

Nara duduk, tubuhnya gemetar dengan napas menderu cepat.

"Bangun, Tha!" Nara berbisik, tangannya gemetar mengguncang tubuh Martha yang masih terlelap di sampingnya.

"Apa?"

"Ih... lo nggak denger apa?! Kayak ada suara barang jatuh, Tha." Nara berbisik sangat pelan. Jantungnya berdebar cepat.

"Tikus kali, Ra. Udah tidur aja," gumamnya masih memejamkan mata.

Nara berdecak. Ia menatap pintu kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu. Napasnya berembus cepat. Matanya menyipit saat menangkap kegelapan pekat di balik pintu yang memiliki sedikit celah. Rupanya lampu minyak di ruang tamu sudah mati. Batinnya ngeri.

Ia menoleh. Martha sudah kembali terlelap sangat nyenyak. Nara berdecak.

Suasana hening, sepi dan gelap. Dini hari yang mencekam. Lampu di dapur juga telah mati karena kehabisan minyak. Hanya ada satu lampu yang masih menyala, yang saat ini ada di kamarnya.

Nara menggigit bibirnya, berpikir. Jika ia membawa lampu minyak itu, Martha akan menjerit histeris saat terbangun nanti.
Nara menunduk menatap sahabatnya. Semakin pulas.

"Gue bawa bentar lampunya kayaknya nggak masalah deh. Martha juga lelap banget kayak kebo tidurnya." Nara bergumam sambil menyingkap selimutnya.

Perlahan ia beringsut lalu kakinya turun meraba lantai mencari sandalnya.

"Nah ini dia." Nara terkikik lalu membekap mulutnya sendiri, ia menoleh, Martha masih lelap. Nara menghela napas lega.

Ia berdiri lalu mengambil lampu minyak yang digantung di dekat jendela. Sedikit berjinjit, ia membuka pintu perlahan.

Gelap. Nara merinding saat kegelapan menyapanya. Ruang tamu tempat wildan dan Reza tidur tidak terlihat sama sekali. Lampunya pasti sudah kehabisan minyak.

"Mbah Pringgo udah pulang belum ya?" gumamnya masih mengamati sekitar. Matanya berusaha memindai ruangan sempit itu.

Seharusnya nggak akan menyeramkan, toh hanya kecil rumah Mbah Pringgo. Pikirnya agar tidak merasa takut.

Sesaat terbersit pemikiran untuk berhenti dan kembali tidur, tapi jika tidak mencari tahu, gadis itu juga tidak akan bisa tidur. 

Sreet.

"Apa tuh?!" Nara terlonjak, saat sudut matanya menangkap pergerakan dari arah dapur.

Nara meneguk salivanya lalu melangkah perlahan. Matanya awas meneliti sekitar yang remang-remang.

Kegelapan di ruangan itu begitu mencekam. Angin berembus agak kencang menimbulkan suara gemerisik saat menerjang dedaunan atas pohon di belakang rumah. Suara berdecit terdengar sangat jelas seperti berada di balik pintu di depan gadis itu. Pintu yang mengarah ke belakang rumah Mbah Pringgo.

Bulu kuduk gadis itu meremang, langkahnya sedikit melambat. Tangannya terulur menyentuh pintu yang terbuat dari anyaman bambu.

Gadis itu menunduk lalu perlahan mendekatkan wajahnya di bagian anyaman bambu yang berlubang.

Kriieeet

Suara berderit itu kembali terdengar. Nara terlonjak kaget, lalu mundur. Napasnya semakin cepat.

"Gue berani, gue berani, gue berani!" ucapnya mantap lalu kembali menunduk. Matanya berkedip saat melihat kegelapan di luar sana. Tidak terlihat apapun, pohon, daun atau apapun. Benar-benar gelap gulita.

Nara berdiri, menatap palang yang berfungsi sebagai pengunci pintu. Ia menelan ludah gugup. Keinginan untuk menarik palang itu begitu besar. Perlahan tangannya bergerak menyentuh palang. Dan ....

"Nara!"

Nara berjengit dan langsung berbalik. Gadis itu hampir berteriak kalau saja Wildan tidak membungkam mulut gadis itu dengan tangannya.

"Lo ngapain malem-malem gini? Kurang kerjaan aja?! Lo nggak denger apa yang dibilang sama Mbah Pringgo tadi?" ucap Wildan setengah emosi.

Nara menggeleng lalu menarik tangan Wildan dari bibirnya.

"Apaan sih lo! Dengerin! Tadi gue denger suara barang jatoh. Lo nggak denger apa?" bisiknya tajam. Nara melotot kesal, merasa kehadiran Wildan hanya mengganggunya saja.

Wildan tertawa kecil. "Lo, dengerin gue. Dari kemarin lo yang bikin keributan, lo bisa nggak sih diem, tenang gitu?! Lo emang suka cari masalah ya?" Wildan berkacak pinggang. Balik menatap Nara yang masih melotot.

Nara berdecih. Ia hanya ingin melihat sebentar dari jauh, apa itu salah? Nara hanya penasaran ingin tahu benda apa yang baru saja jatuh. Apa itu salah?

"Udah deh, lo... urusin urasan lo sendiri. Logika aja deh, gimana kalau yang jatoh itu Mbah Pringgo?"

Wildan mengernyit lalu mendengkus sebal, senyum mengejek terlihat dari sudut bibirnya.
"Terserah lo aja!" ucapnya sambil berbalik hendak menuju ruang tamu. "Dan kalau mau pakai logika itu yang masuk akal! Mbah Pringgo nggak bakalan benerin genteng dini hari kayak gini!"

Wildan berjalan menuju ruang tamu, Nara menatap punggung Wildan samar-samar yang menghilang di dalam kegelapan.

****

"Kenapa lo, Ra?!"

Martha mengguncang tubuh Nara. Gadis itu meringkuk di pojokan dapur dengan tatapan kosong dan wajah pucat. Keringat membasahi punggungnya.

Lampu minyak yang tadi di bawa Nara tergelak di dekat kaki gadis itu. Padam, kehabisan minyak.

"Ra! Jangan bikin gue takut! Lo kenapa?" Martha menepuk pipi Nara yang dingin, berusaha membuat Nara sadar.

"Ra! Hiks... hiks!"

"Kenapa, Tha?" Reza dan Wildan berlari menghampiri Martha yang bersimpuh di lantai dapur. Airmata mengalir deras dari mata sembabnya.

"Nara... Nara...." ucap Martha tersengal.

"Kita bawa Nara ke kamar dulu! Baru lo cerita." Wildan mengangkat tubuh dingin Nara.

Dalam hatinya ia menyesal tadi malam tidak menyeret gadis itu masuk. Tapi malah meninggalkan gadis itu sendirian dengan rasa penasarannya.

Maafin gue, Ra. Batin Wildan, ia berjalan tergesa-gesa sambil membopong Nara di lengannya.

Misteri Seruni (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang