Antara Dua Hati

68 3 2
                                    


("Untuk sebuah kasih yang tak sampai. Mencintaimu adalah beban yang membuatku semakin menderita. Kau mengatakan bahwa menanti seseorang hanya akan berujung pahit. Aku pun sempat berpikir demikian. Tapi apakah dengan begitu lalu aku tidak boleh berharap kepadamu? )

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penghujung September, 2008

Dear Anjani,

Resahku kembali melanda. Perasaan suka yang sudah sedari dulu hinggap tidak mudah hilang begitu saja. Kau benar, Anjani. Aku tidak bisa menghilangkan rasa yang kadung mengakar kuat dalam hati. Aku bingung, An. Tidak tahu harus melakukan apa. Aku berharap bisa membersamai setiap langkahnya dan mengarungi kehidupan baik suka maupun duka.

Aku paham. Cinta memang kadang membuat seseorang bisa melakukan hal yang berlebihan. Ah, tapi aku tidak begitu, An. Sederhana saja. Aku hanya tidak ingin kehilangan dia. Simpel, kan? Tidak muluk-muluk, dan cukup realistis menurutku.

Aku hanya bosan saja terjebak dalam kondisi serba menyesakkan seperti ini. Selalu ingin menatapnya, seakan wajah ini sulit berpaling. Ketika dia bersuara hatiku kempas-kempis, wajahku selalu memerah. Ini tidak adil, An! Seharusnya aku bisa mendapatkan lebih dari ini. Bukan terjebak dalam hal yang serba tanggung, serba ketar-ketir dan canggung.

Kau sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Kau tahu diriku sama halnya kau mengetahui dirimu sendiri. Begitu pula sebaliknya. Jika kau berada dalam posisiku, apa yang akan kamu lakukan? Apakah sama sepertiku? Hanya mendunduk kaku dan badan mematung bak es batu? Atau kau malah berani menyampaikan perasaanmu yang sesungguhnya? Tidak, tidak An. Kau pasti tidak akan melakukannya, bukan? Sama sepertiku, mana mungkin seorang perempuan seberani itu? Aku takut dengan penolakan, An. Aku yakin itu adalah hal yang terlalu sakit untuk diterima. Jadi biarlah aku merasakan perasaan serba tanggung ini sekarang. Daripada menderita akibat penolakan yang bakal menyebabkanku tambah kacau.

Ngomong-ngomong kuliahku lancar, An. Bagaimana kabar pekerjaanmu di sana? Dengar-dengar kamu sudah menjadi karyawan tetap di sebuah butik? Wah, aku turut senang mendengarnya, An. Semoga selalu lancar dan doakan aku juga agar bisa cepat-cepat lulus kuliah.

Salam hangat dari sahabat terbaik :v. Nayla.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Anjani memeluk erat surat itu di dalam dada. Ah, Nayla. Dengan membaca suratmu saja seolah-olah kamu sudah berada di depanku. Saling berbagi curhatan atau perasaan bersama-sama. Seperti yang biasa kita lakukan dahulu. Kau, benar. Nay. Kabarku baik-baik saja. Aku saat itu memang mendapat pekerjaan bagus. Lingkungan kerjaku juga menyenangkan dan selalu dapat membuatku bahagia. Aku ingin cepat-cepat bertemu denganmu ketika itu. Tentu menyenangkan jika kita bisa mengobrol bersama. Sahabat terbaik? Ah, bahkan jika ada status hubungan yang lebih dari itu, aku akan menjadikanmu satu-satunya orangnya, sweetheart.

Kamu akhirnya benar-benar jatuh cinta, Nay. Aku penasaran siapa lelaki yang beruntung itu. Tentu menyenangkan memiliki seseorang yang kau cintai berada di dekatmu. Jangan sepertiku ya. Aku terlalu selektif memilih jodoh. Sehingga menemukannya butuh proses yang lama. Aku? Tentu saja aku tidak akan mengatakan perasaanku Nay jika aku berada di posisimu. Kau benar. Perempuan memang tidak harus mengungkapkan perasaannya. Bukan karena takut penolakan, melainkan karena lelaki lah yang harusnya melamar kita, Nay. Mengucapkan ikrar kesetiaan. Terus saja berdo'a, sahabatku. Semoga segera dipertemukan dengan jodoh terbaik yang dipilihkan Allah untukmu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pertengahan Februari, 2009

Secangkir RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang