Cerita Hujan

39 14 0
                                    

Suara langkah kaki memecah keheningan malam itu, langit tak berbintang dengan udara dingin menemani kepulangan Abi selepas mengerjakan tugas kelompok di rumah teman setianya, Ares.
Gemuruh dari langit mulai terdengar, Abi mempercepat langkahnya melewati deretan rumah di sisi kanan dan kirinya. Takut jikalau hujan mengguyurnya dan menghancurkan hasil tugas yang ia bawa.

Saat melewati Pos Satpam RW. 16, terdengar suara berat berseru,
"Jang, karek uwih?" sapa seorang Bapak dengan sarung menggantung di bahunya seraya bertanya kepada Abi.
Abi menoleh dan memperlambat langkahnya, lalu berhenti menyambut sapaan tadi dengar berujar, "Iya, Mang. Biasa abis kerja kelompok".
Rintik hujan mulai turun. Bapak itu -Mang Kadi- segera berujar kepada Abi,
"Waduh, gerimis ini, Bi. Hayu sini! Neduh dulu" ajaknya.
Dengan tergesa Abi menuruti ajakan Mang Kadi untuk menyelamatkan hasil tugas kelompoknya.
Abi langsung mengamankan kertas tugasnya, menaruhnya di tempat yang paling kering di sana dan berusaha mengeringkan tubuhnya yang basah terkena hujan.
"Aduh... Mana udah malem lagi," gumam Abi mengeluh sembari melihat ponsel genggamnya. Sudah pukul 9 malam.
"Keur  buru-buru, Jang?" tanya Mang Kadi penasaran.
"Iya, Mang. Udah ditunggu Mama, nih, di rumah. Tadi nelfon-nelfon mulu," keluh Abi terus terang.
"Lho, kalau gitu hayu atuh, Amang anter. Daripada dimarahin, entar  barabe." saran Mang Kadi.
"Tapi masih hujan. Gimana dong, Mang?"
"Nggeus, tong reuwas. Pan anggo becana Amang, insyaallah aman..." tawar Mang Kadi.
"Bener, Mang? Ya udah deh, ayo!" Abi setuju, ia pun segera bersiap kembali memastikan keamanan tugasnya dari tetes air hujan.
"Sip, atuh. Hayu! " Mang Kadi mulai menyiapkan becaknya, membenarkan posisi plastik penutup becak yang ia buat sendiri agar tetap dapat melindungi penumpang di dalamnya saat kondisi hujan seperti ini.
Abi mulai masuk dan duduk di dalamnya. Terdengar suara memanggilnya dari belakang.
"Jang, nih atuh pake aja. Bisi kedinginan," ujar Mang Kadi seraya mengulurkan sebuah sarung motif goyor berwarna merah hati yang tadi sempat ia gantungkan di bahunya. Abi menerimanya dengan sungkan, "Ngga apa-apa ini, Mang?" "Nggeus, teu nanaon" timpal Mang Kadi meyakinkan, seraya bersiap melajukan becaknya menerobos derasnya hujan malam itu.
...
Abi sampai ke rumahnya yang ada di RW. 12 dengan selamat, begitupun dengan kertas tugasnya yang berharga berkat jasa Mang Kadi. Ya, begitulah sosok Mang Kadi. Beliau terkenal baik dan sangat ramah pada siapapun, suka menolong orang tanpa kenal pamrih. Seperti yang Abi alami tadi, Mang Kadi menolak upah yang diberikan Abi kepadanya dengan beralasan, "Amang ikhlas, kok, nganterin Abi. Nu penting mah geus sampe dengan selamat. Beres."
Hanya satu yang Abi tahu, Mang Kadi sangat baik.

KeliruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang