Perihal rindu, ia mungkin sudah muak untuk terus kuucap. Namun ia harus tahu, akupun muak disiksanya. Perihal rindu, ia menyekik. Sesak dada ini kala mengenangnya.
Langit, aku ingin bertemu, lalu membelai wajahnya. Aku ingin memasang hiasan angkasa yang terindah untuknya. Hanya untuk .... dirinya.
Rindu sudah seperti belati yang terus menerus menusuk, namun enggan mati aku. Sudah mati rasa, tapi tetap bernapas. Sudah bagai mayat hidup. Zombie, istilah zaman kini.
Tahukah engkau bagaimana rasanya tatkala engkau berangan mendekap erat tubuhnya, bilang merindukannya, lalu dibalas senyuman manis olehnya sembari menjawab, "Tak apa. Aku disini. Sudah tak apa sekarang, kita sudah bersama, 'kan?"
Namun .... lagi-lagi realita menghantam keras aku. Lagi-lagi realita merusak suasana dimana euforia menyeramkan ini mulai mengambil alih seluruh pikiranku. Lagi-lagi realita buat aku benci dunia. Duh. Kenapa harus ada angan, 'sih? Kurasa jika tak ada angan, tentramlah dunia ini. Tak ada angan untuk cepat kaya, sehingga niat buruk pencuri terminimalisir. Tak ada angan untuk menjadi lebih kaya lagi, maka terberantaslah tikus-tikus bertuxedo. Tak ada angan untuk bisa meraihnya, membuatku cukup tahu dan sadar diri sehingga tak pernah mendekatinya sejak awal.
Miris, ya? Haha.
Jadi .... ini bukan cerita tentang dua remaja yang saling rindu. Rindu ini lebih menyekik karena membebani sebelah pihak. Ya, semesta alam raya, aku merindunya yang bahkan hanya sekilas tahu namaku. Aku mencintanya yang bahkan tak kenal dan tak mau kenal aku. Aku menyukainya karena ...
....mata elang itu.