01

86 10 6
                                    

Aku mengagumimu tanpa sengaja, ketika lembayung senja menyinari jagad raya, orange mempesona.

****

Olahraga di bawah panas terik matahari memang melelahkan. Aku kurang setuju dengan jadwal Penjaskes di siang hari. Menguras lebih banyak tenaga. Stamina tubuh menciut terbakar oleh panas yang sangat menyengat.

"Para..." Seseorang memanggilku dengan logat Sunda yang mengubah pelafalan huruf awal namaku dari 'F' menjadi 'P', jelas namaku ia ubah menjadi 'Para'.

"Panggil aja aku Dina. Huruf 'F' yang kamu lafalkan ketika menyebut namaku terdengar enggak bagus." Aku menjawab sembari bergurau.

"Oke oke, Dina. Kamu selalu aja begitu. Padahal aku udah berusaha mengucapkan huruf 'Ep' dengan baik." Lagi-lagi dia salah melafalkan.

"Udahlah, lebih baik kamu belajar milih kata yang enggak ada huruf 'F'nya aja. Kamu ngerusak tatanan bahasa Indonesia. Haha." Aku semakin merenyahkan candaanku. Kini sahabatku ikut tertawa.

Intan memang berlatar belakang dari Bandung, blasteran dengan Cirebon. Ketika Sunda dan Jawa bersatu, sangat unik sekali. Dialek yang menyatu padu, terdengar penekanan dan ayunan saat ia berbicara. Aku merasa cocok saja berteman dengan gadis ayu seperti dia, perlahan berpengaruh baik kepada kebiasaanku. Menjadi wanita anggun seutuhnya.

"Pulang sekolah nanti aku dijemput kakakku. Kamu gimana?" Tanya Intan.

"Hm. Aku nunggu Papa pulang kerja aja kayak biasa."

"Aku kira kamu mau minta antar Arman. Hahaha." Intan tertawa terbahak begitu saja, hingga beberapa pasang mata heran tertuju pada kami.

"Sstt. Kamu ini, jangan terlalu keras. Aku sama Arman emang masih temenan, tapi bukan berarti bebas antar jemput kayak dulu lagi. Aku udah jauhin dia biar dia bahagia." Aku berbicara dengan nada pelan sembari memberi penjelasan pada Intan.

"Demi menjaga perasaan kekasih baru Arman, itu mungkin yang seharusnya kamu katakan." Celetus Intan seakan membaca fakta yang sebenarnya. Memang bukan karena ingin Arman bahagia, ada hati lain yang sebaiknya aku mengerti dibanding hatiku sendiri.

"Mungkin begitu." Aku mengangkat kedua alisku kemudian memalingkan pandanganku pada paving block lapangan yang kududuki tanpa alas.

Tentang Arman, semuanya telah berakhir begitu saja. Memang rumit dan menyiksa. Tapi aku sudah terbiasa dengan semuanya. Terbiasa mengerti dan memahami situasi. Dimana Arman lebih mencintai wanita lain dibanding aku. Hingga aku merasa tak ada lagi cinta yang harus kuterima. Semua kulewati begitu saja. Seperti Arman yang berlalu kian menjauh dariku. Raga kita memang dekat, namun hati kita sudah tak saling menyapa. Salahku, awalnya terlalu percaya.

****

Adzan Ashar berkumandang dengan merdu. Jam belajarku telah usai. Aku pergi untuk menyucikan diri dan segera memakai mukena dengan rapi. Shaf wanita terlihat tak sebanyak ketika berjamaah shalat Dzuhur. Sebagian pelajar pulang lebih awal sebelum waktu Ashar tiba, lain denganku yang harus menunggu Papa sekitar satu jam lagi.

Iqamah terdengar menyemangati hati. Sepersekian detik lagi aku akan bersimpuh menjalani kewajiban dan mencurahkan segenap doa bahagia setelahnya. Aku mengikuti gerakan imam seperti halnya makmum yang lainnya. Ayunan tangan ketika bibir mengucap takbir dan hati menguntai niat, secara bersamaan terjalankan dalam kekhusyukan. Sujud memuja Sang Pencipta alam semesta. Hingga salam penutup di rakaat keempat. Hatiku merasa damai tanpa sedikitpun kekeliruan. Semenjak hari paling menyakitkan ketika Arman pergi, aku mengerti bahwa yang seharusnya kucintai sepenuhnya adalah Ilaahi Rabbi bukan manusia.

TSUMETAI HITOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang