Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
"Heh!" Panggilku pada Defia yang sedang mengucek satu bajuku yang semalam. "Awas sampai baju gue kenapa-kenapa! Yang bersih!" Kataku sekali lagi di depan pintu kamar mandi sambil membenarkan lengan kaosku yang sedikit terlipat.
"Iya, iya! Berisik lo!" Bentaknya sampai Mama kembali menoleh ke dalam kamarku.
"Jangan keras-keras lo!"
"Udah sana pergi! Anterin tuh Mama, baik-baik jangan ngebut lo!"
"Iya iya, gue tahu gimana caranya memperlakukan Mama, nggak usah dikasih tahu. Yang penting lo itu nyucinya yang bersih!"
"Ishhh, gue siram juga muka lo pakai air cucian!"
Aku sedikit menendang ember di depannya sampai airnya muncrat ke bajunya.
"Hanif! Gue bunuh lo!" Teriaknya sudah tidak terkontrol lagi.
Hanya tertawa sambil berlari menjauh dan mendekati Mama di ruang tamu, yang ternyata ada Ibu di sana. Jelas mereka berdua memandangku dengan wajah ingin membunuh. Ya mau gimana lagi, biasanya elo gue kalau tiba-tiba jadi aku kamu kan aneh.
"Pamit dulu, Bu," kataku setelah Mama dan kedua adikku berpamitan dengan mertuaku.
"Iya, hati-hati di jalan ya, A. Jangan kebut-kebutan!"
"Iya, Bu."
Perjalanan dimulai, hanya ke stasiun ini jadi dekat lah. Maunya sebenarnya antar sekalian ke Jakarta, sekalian pulang nggak usah kembali, tapi bisa putus telingaku dijewer sama Mama.
"A, kenapa sih tinggal manggil aku kamu saja susah?" Tanya Mama di tengah perjalanan.
Aku yang mengemudikan dan kedua adikku sibuk bermain ponsel di belakang.
"Ya, nggak biasa, Ma."
"Ya mulai dibiasakan. Tahu nggak kebiasaan itu awalnya juga dari paksaan?"
Menghela napas panjang.
"Cobalah, A. Kamu ini kepala rumah tangga sekarang, harus kasih teladan yang baik, punya wibawa, bijaksana. Mending sekarang adanya istri, besok-besok sudah ada anak. Meskipun ada kekurangan, kepala keluarga tidak boleh menampakkan itu. Bahkan ketika lelah saja akan lebih baik anggota keluarga tidak mengetahui kelelahan itu. Kodratnya kepala rumah tangga."
"Ya susah juga, Ma. Defia juga manggilnya elo gue, ya Aa juga elo gue."
Mama langsung memukul lenganku. "Ya kamu dulu yang mulai, A!"
"Ah, males ah, Ma. Dia aja kasar gitu!"
"Kenapa dia kasar? Karena kalian terbiasa pasang urat selama di Wisma Atlet. Coba kalau Aa dulu yang mulai pakai aku dan kamu, terus belajar jadi suami yang penuh perhatian. Nanti dia luluh sama kamu, A."
Rasanya akan panjang dan tidak sampai di ujungnya jika semacam ini. Hanya perlu diiyakan dan berusaha untuk dilakukan meski tidak sekarang ini.
Hanya mengantar saja sampai di depan stasiun, membawakan barang mereka lantas kembali lagi ke rumah Defia. Mama hanya pesan agar aku bisa bersikap halus pada perempuan, seperti aku bisa bersikap lembut sama Mama.
Sampai di rumah yang aku lakukan pertama kali adalah mencari paku kecil dan palu. Untuk membenarkan kunci kamar mandi bagian dalam. Daripada tidak ada kerjaan lain, hanya duduk mainan ponsel nggak jelas. Malah jadi seperti pengangguran di rumah mertua.
"Ngapain?" Tanya Defia begitu aku masuk ke kamar mandi membawa palu dan paku.
"Benerin kunci," jawabku mulai memaku kunci yang lepas sebagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanfictionDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...