Seharusnya aku tahu. Seharusnya dari awal sudah menyadari bahwa hal ini pasti akan terjadi. Namun, mengapa? Mengapa aku masih saja kaget dengan apa yang terjadi. Apakah aku terlalu mudah menurutnya? Bagaimana mungkin, hal yang sulit untukku tetapi selalu mudah untuknya? Aku yang harus selalu berusaha sekeras mungkin agar diterima tetapi dia dengan mudahnya langsung diterima tanpa berusaha sedikitpun. Apakah ini adil? Tentu saja tidak bagiku. Aku tak akan pernah menganggap bahwa ini adil bagiku. Terlalu mengejutkan, saat aku tahu bahwa kejadiannya akan seperti ini. Betapa kecewanya diri ini.
"Selamat yah, Ni!"
"Selamat, Ani!"
"Wah, selamat Ani!"
Banyak sekali ucapan yang dilontarkan kepada Ani yang tengah tersenyum senang di sudut sana. Berbagai macam ucapan dia terima beserta beberapa hadiah yang diberikan padanya. Oh, apa dia tak menoleh sedikitpun padaku. Orang yang rela mengorbankan waktu hanya demi dirinya yang kuanggap sahabat. Saat dia dengan tidak tahu waktunya memintaku memeriksa tugasnya sementara aku tengah mengerjakan tugasku yang akan dikumpulkan besok. Saat aku tengah pusing memikirkan tugasku yang belom selesai tetapi dia malah merengek memintaku menemaninya membeli makanan. Oh, lupakan saja. Itu tak berarti apa-apa baginya saat dia sudah berhasil sejauh itu. Saat dia dengan bangga memamerkan keberhasilannya.
"La?"
"Ya?" Aku tersadar dari lamunan panjang.
Terlihat Lala di depanku tengah tersenyum lembut padaku. Perempuan yang selalu mempedulikanku. Entah karena dia kasihan pada diri ini atau bagaimana. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekarang.
"Bagaimana hasilnya? Lancar?" tanyanya antusias.
Aku hanya menggeleng lemah. Kenyataannya aku kembali gagal. Kenapa begitu sulit untukku. Bahkan hampir saja aku berteriak frustasi, kalau tidak ingat bahwa sekarang sedang ramai oleh orang yang berkerumun di sini. Di tempat pengumuman ini.
"Sabar, yah. Mungkin dilain kesempatan," ucapnya menyemangatiku.
Mengangguk sekali lagi sebagai jawaban. Sudah terlalu lesu untuk menjawab bahkan hanya sepatah kata. Entah kesempatan keberapa yang bisa membuatku diterima. Entah masih ada harapankah untuk bisa kembali bersiap untuk seperti semula.
"La?"
Dengan serentak aku dan Lala menoleh ke sumber suara. Tampak di sana, Ani tengah melambaikan tangannya pada kami. Senyum lebarnya tak lupa ia pasang.
"Sini!"
Aku dan Lala melangkah mendekati Ani yang sekarang hanya seorang diri. Mungkin teman-temannya sudah menyibukkan diri dengan hal lain.
"Bagaimana?"
"Gagal." Singkat, padat dan menjelaskan segalanya.