Semoga Allah tetap melindungi hatiku.
****
"Faradina, tunggu!"
Seseorang berteriak kencang memanggilku dari belakang. Aku segera membalikkan badan.
"Kelasmu belum mulai, kan?" Tanyanya dengan alunan nafas yang masih terengah karena setengah berlari mengejar langkahku yang hanya tinggal beberapa meter lagi di hadapannya.
"Kayaknya belum, masih ada sekitar lima belas menit lagi. Ada apa? " Tanyaku.
"Aku mau bicara sebentar." Pintanya.
"Tentang?"
"Begini," Dia mulai menjelaskan, "Kemarin aku melihatmu bermain basket, kamu bermain dengan teknik yang bagus. Kayaknya kamu punya bakat." Sambungnya.
"Aku emang pernah ikut klub basket di SMP. Tapi semenjak aku masuk SMA, aku fokus memanah. Karena dalam Islam dianjurkan untuk memanah dan berkuda." Jawabku.
"Jadi, kalau aku ngajak kamu masuk klub basket, kamu bakal nolak?" Tebakan yang pesimis.
"Hm, gimana, ya. Aku enggak bisa fokus dalam dua bidang. Aku emang masih suka main basket, tapi untuk mapel olahraga aja. Kalo gabung klub basket pasti harus ikut latihan mingguan, ditambah klub memanah seminggu dua kali. Wah nanti kecapean." Jelasku.
"Padahal sayang banget, kamu terlihat sangat handal main basket. Dan klub kami juga membutuhkan anggota baru. Tapi ya udahlah aku gak mungkin maksa." Ia tersenyum memberi respon mengerti.
"Maaf banget, ya. Lagipula, kelas dua belas kan hanya punya waktu satu semester lagi buat aktif di ekskul. Jadi, kalo aku gabung juga sebentar lagi keluar."
"Tapi, Ra, ini hanya untuk olimpiade bulan depan."
"Bukannya udah ya minggu kemarin ke tingkat kabupaten?" Tanyaku heran.
"Iya kan jadi perwakilan buat ke provinsi, Ra. Tim putri kekurangan cadangan. Kami kewalahan mengandalkan Wanda, sampe kemarin dia masuk rumah sakit karena kecapean."
"Wah, gimana, ya. Aku juga bingung. Di samping harus lebih fokus belajar, aku juga nantinya harus bagi waktu banyak buat kegiatan lain."
"Hanya untuk olompiade kali ini aja, Ra. Bisa harumin nama baik sekolah sebelum jadi alumni."
Dia benar, seharusnya aku bisa sedikit saja berkorban demi sekolah. Tempat yang memberiku banyak ilmu dan pengalaman, bukan hal yang sulit untuk membalas semuanya dengan prestasi. Sekecil apapun balasan, yang terpenting adalah usaha membalasnya kembali.
Aku menundukkan pandanganku, menatap jari-jari yang saling merangkul membentuk beberapa susunan yang tak kuketahui maknanya. Aku hanya memainkan jari tanganku.
"Jadi gimana? Mau gabung gak?" Dia memberi tawaran kembali.
"Insya Allah. Aku izin sama orangtuaku dulu, ya. Nanti kukabari lagi." Jawabku yang mulai terbukakan hati.
"Nah gitu dong. Ditunggu kabar baiknya secepatnya, ya. Aku masuk kelas dulu. Assalamu'alaikum." Dia tersenyum bahagia, seperti menemukan solusi terbaik atas masalah yang sedari tadi membuat wajahnya kusut.
"Wa'alaikumsalam."
Dia Anindya, teman masa orientasiku yang berpisah kelas karena berbeda jurusan.
"KRING... KRING..."
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Aku segera berlari menghampiri pintu yang beberapa meter di hadapanku. Trauma dihakimi seperti kemarin karena terlambat masuk lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TSUMETAI HITO
RomanceBukan hanya kedinginannya yang membuatku jatuh cinta. Tapi keimanannya. Ia sosok yang pandai menata bahasa. Namun kadang berubah menjadi dingin seketika. Pandai menempatkan sesuatu sesuai posisinya. Membuatku berusaha ingin ia tempatkan dalam hatiny...