Bag 2 : Bagaimana Kabarnya?

95 16 1
                                    


Malam minggu ini, di tengah malam yang dingin ini. Terlihat dua orang pria dewasa, yang satu berambut hitam legam dan satu lagi berambut coklat gelap sedang duduk di sofa balkon apartment sambil menikmati hembusan angin khas malam serta ditemani dengan secangkir coklat panas.

Dua pria itu yang satu bernama Alfarrell Mahardika, si pria berambut hitam legam dan yang satu lagi Revian Joseph Laksana si pria berambut coklat gelap. Mereka berdua hanya larut dalam keheningan sembari menikmati angin-angin pelan khas malam, sampai akhirnya salah satu dari mereka memecah keheningan yang terjadi.

" Permata apa kabar an ? " tanya Al— panggilan akrab dari si pria berambut hitam legam

Ian—si pria berambut coklat gelap menyerengit berpura-pura tidak tau,walaupun sebenarnya Ian tau siapa yang Al maksud " Permata ? Permata siapa deh Al. Perasaan gue gak kenal orang namanya Permata deh, siapa emang Permata?"

Al hanya tersenyum tipis menanggapi jawaban Ian yang menurutnya sangat klasik " Ck, lo gak usah pura-pura bego ya An. Gue tau lo pasti tau maksud gue Permata itu siapa." Jawabnya dengan sedikit menahan kesal.

" Hahahahahahahahaha " Ian hanya tertawa menanggapi jawaban Al, sebenarnya untuk mencairkan suasana sih. Karena pasti habis gini yang dibahas pasti serius.

" si Dian maksud lo ? " tanya Ian sekali lagi, untuk memastikan apakah yang dimaksud Dian yang Ian kenal.

" iya elah Dianti " jawabnya dengan gemas, karena pertanyaan yang sedari tadi tidak di jawab-jawab oleh si penjawab—Ian maksudnya.

" Hm, Dianti ya. Yaa... baik sih dia " Jawab Ian dengan sedikit menggantung. Mendengar jawaban Ian, Al langsung menendangkan kakinya ke kaki Ian sebagai pentuk protes atas jawaban Ian yang menurutnya tidak jelas—sama sekali tidak jelas.

" kenapa lo tanya-tanya tentang Dian lagi? Emang masih ada urusan sama dia? " tanya Ian dengan nada dingin dan tidak bersahabat, sepertinya topik ini terlalu sensitive untuk Ian dan tentunya Al sendiri.

Mendengar Ian yang terkesan menyudutkannya, Al hanya menanggapinya dengan santai " ya gapapa kali An. Masa pengen tau kabar temen sendiri gaboleh sih? "

Mendengar itu Ian hanya tersenyum sinis, tidak terima dengan reaksi kelewat santai yang Al berikan. " Temen? Gasalah lo? Udah deh Al gausah tanya-tanya tentang Dian lagi. Masih untung deh lo gue mau jemput lo tadi di airport, sampai nemenin lo ngobrol disini. Kalau bukan karena permintaan Dian buat suruh temenan sama lo lagi gue juga males " jawab Ian dengan emosi yang sengaja dia tahan dari tadi.

Al hanya terdiam melihat jawaban tidak bersahabat yang Ian tujukan padanya, " Oh jadi karena Dian lo mau maafin gue? Berarti Dian masih peduli lah ya sama gue. Eh, apa lo yang masih suka sama Dian lebih dari sahabat ya ? mangkanya lo nurutin semua kemauan Dian ? " jawanya diiringi dengan kekehan sinis khasnya.

Ian mengepalkan tangannya menahan amarah yang akan memuncak mendengar jawaban kurang ajar yang Al lontarkan, namun dia segera melonggarkan kepalan tangannya mencoba untuk tenang.

" udah ya Al. Gue gak mau tubir sama lo lagi. Lo selalu kayak gini setiap bahas Dian. Gue males. Dah ya gue balik. " Ian segera melangkahkan kakinya keluar dari balkon menuju pintu keluar, dia ingin segera keluar dari sini sebelum amarahnya memuncak.

" Lo gamau ngasih tau kabar Dian ? Oke, fine. Gue bakal cari tau sendiri dan datengin Dian langsung "

Mendengar itu Ian segera melangkah pergi, tidak peduli dengan apa yang Al katakan. Menurutnya semua itu hanya omong kosong dan baginya percuma saja menanggapi omongan orang keras kepala dan egois seperti Al, tidak akan ada habisnya batin nya.

Melihat itu, Al hanya mengepalkan tangannya dengan mata bekilat menahan amarah, lihat saja, batinnya. Dia akan segera menemukan Dian sendiri tanpa bantuan siapapun.

Tunggu saja.

Tunggu saja, permata jiwaku.........

Suara HatiWhere stories live. Discover now