Part 20

4.2K 204 27
                                    

"Ampun ndoro putri, ampun...beribu-ribu ampun. Kami tidak bisa menemukan Den Ayu Kartika." Seorang rewang berkali-kali memohon ampun sambil bersimpuh di hadapan Ajeng Kamaratih.

"Sri ! Aku ingin kau yang menjelaskan semuanya. Katakan padaku kalau Kartika sudah pulang." Ajeng Kamaratih tidak menggubris perkataan rewang itu dan mengacuhkan permohonan ampunnya. Ia bersikeras kalau Sri pulang dengan anaknya.

Secara tidak langsung, ia seolah membebankan keselamatan dan keamanan putrinya pada Sri. Padahal, pada waktu yang sama, disaat Kartika hilang, Sri dan yang lainnya sedang bergelut melepaskan Rindayu dari serangan ayahnya, Raden Kerta Kesuma.

Mendapati pertanyaan seperti itu, Sri sungguh tak kuasa. Ia hanya seorang wanita, terlebih tempatnya sebagai orang bawahan, wanita dari kalangan rakyat biasa. Rasa bersalah yang seharusnya bukan menjadi tanggungannya, ia pikul juga. Wajah dan bajunya kuyup terkena air mata.
Namun Ajeng Kamaratih tampak tak peduli, amarahnya semakin menjadi. Matanya menatap nanar sekaligus kasar pada wanita di depannya, ia gelisah bukan main diperlakukan seperti itu. Sri mendiamkannya, tidak memberi jawaban atas pertanyaannya.
Sebenarnya, diamnya Sri juga merupakan jawaban. Akan tetapi, itu bukanlah jawaban yang ingin ia dengar.

Hari sudah hampir gelap. Sebagian abdi dalem sudah pulang termasuk Sri dan Ahmad. Namun warga desa masih terus menelusuri tepian sungai demi mencari jejak Kartika. Di tengah suasana carut marut, seorang pemuda datang bersama Basir. Rupanya Basir pulang terlambat. Ia berpisah dengan Ahmad saat mencari Raden Ajeng Kartika di sungai.

"Ampun ndoro, saya datang bersama pemuda dari desa sebelah, dekat hilir sungai. Dia orang terakhir yang melihat Raden Ajeng Kartika." Kedatangan Basir membawa sedikit harapan.

"Siapa namamu, katakan di mana kau melihat anakku ?"

"Ampun ndoro, saya Seno, tadi sore saya sedang mencari kroto. Dan melihat seorang anak perempuan berpakaian bagus sekali, saya bahkan masih ingat warnanya, hijau lumut. Kulitnya bersih dan rambutnya digerai sebahu." Jawab lelaki itu.

Ajeng Kamaratih menangis mendengar penjelasan itu, ciri-ciri yang disebutkan memang sama persis dengan Raden Ajeng Kartika. Pakaian yang digunakan anak bungsunya, ia sendiri yang memilihnya tadi siang. Hijau lumut. Dan pakaian bagus, kulit bersih, tidak banyak anak dengan kelebihan seperti itu di desa ini.
Sebenarnya, dari pemuda itu jua, Sri dan warga desa berinisiatif mencari Kartika di sungai. Sebelum pulang, Seno melihat banyak orang kebingungan, mencari seseorang. Saat itu ia tengah mencari "kroto" atau telur semut. Lantas ia pun mengatakan hal yang sama, seperti yang baru saja ia katakan pada Ajeng Kamaratih.

"Saya melihat anak kecil itu bermain bersama teman sebayanya. Dan ada seorang wanita bersamanya ndoro." Sambung pemuda itu.

"Apa yang kau katakan, bagaimana rupa wanita itu, dan anak yang bersamanya, bisa kau sebutkan ciri-cirinya ?" Cecar Ajeng Kamaratih.

"Wanita itu, mengenakan kebaya warna putih ndoro, ia berdiri di dekat mereka, sedangkan anak yang satunya berpakaian layaknya anak kampung."

"Kau yakin, anak itu memakai pakaian warna hijau lumut, bagaimana dengan bawahan yang ia kenakan ?" Ahmad tiba-tiba menukas.

"Saya yakin tidak salah melihat. Karena saya cukup lama di sana, sampai saya selesai mengambil kroto, mereka bertiga masih ada. Kalau rok yang digunakan anak itu berwarna hitam coraknya bagus, seperti... bunga keemasan." Tegas Seno dengan sungguh-sungguh.

Lagi-lagi pemuda itu benar. Ajeng Kamaratih tidak mampu menguasai diri. Ia kalap dan tangisnya meluap.

"Lantas... di mana anakku sekarang, apa tidak satupun dari kalian_orang satu kampung yang melihat anakku !" Teriaknya berusaha lantang, namun suaranya justru parau, terdengar serak. Seluruh usahanya untuk menumpahkan kemarahan telah ia kerahkan. Menangis, berteriak, menjerit dan meratap. Meski begitu, wanita ningrat itu tak pernah sekalipun memaki.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang