MERAH-PUTIH, MEMANGGILMU

265 17 3
                                    

        17 Agustus telah berlalu, sejak 3 bulan yang lalu. Namun di beberapa halaman rumah tetanggaku, masih saja terlihat Bendera Merah Putih yang menggantung, lengkap dengan bambu yang juga dicat berwarna merah putih. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, Bendera Merah Putih sepertinya menjadi hiasan di halaman rumah. Tidak akan disimpan rapi kembali sampai 17 Agustus tahun berikutnya. Miris memang negeri ini. Orang-orang sama sekali tidak peduli dengan bendera yang pada masanya diperjuangkan mati-matian oleh para pendahulunya. Salahsatunya aku. Aku terlalu takut untuk bersuara, terlalu takut untuk bicara, hanya mampu membiarkannya walau dalam hati banyak sekali kata-kata yang ingin kuungkapkan.

        Tapi, jika ada 1 orang saja yang menyebutkan bahwa Bendera Merah Putih bukan salahsatu hal yang mempersatukan bangsa, orang-orang yang tidak peduli itu marah besar. Menggonggong, melolong, sekuat tenaga menyerukan bahwa bendera adalah pemersatu bangsa. Bunyinya mirip seperti karya Sutardji Calzoum Bachri dalam penggalan sajaknya ;

Tanah air kita satu
Bangsa kita satu
Bahasa kita satu
Bendera  kita satu!

Bendera kita satu! Kata mereka. Padahal apa yang mereka katakan tak seperti apa yang mereka perbuat. Kenyataannya, mereka tak peduli dengan bendera tersebut. Hanya sebagai ajang 'ikut-ikutan' saja agar dikira masih memiliki patriotisme yang tinggi.

        Aku memang pendiam. Menurutku, diam adalah cara terbaik dibandingkan banyak berbicara tapi tidak berisi. Namun dibalik diamku, aku asyik dengan duniaku yang kritis ini. Apalagi mengkritisi negeri ini. Bahkan teman-teman menganggapku orang aneh karena aku lebih suka diam, memilih memperhatikan lingkungan sekitar dibandingkan bermain seperti teman-temanku. Kelas 1 SMP tidak menjadi halangan untuk menjadi orang yang kritis bukan?

         Siang itu tak biasanya aku bosan berada di rumah. Biasanya aku sangat nyaman berada di rumah, untuk sekadar bersantai di teras belakang, menulis puisi ataupun membaca buku di gazebo. Tapi siang itu terasa sangat membosankan, hingga aku memutuskan untuk pergi keluar rumah untuk sekadar jalan-jalan menikmati udara luar.

"Bun, Pandu mau jalan-jalan keluar mencari udara segar. Boleh?"

Bunda sepertinya terkejut mendengar pertanyaanku. Maklum saja, aku keluar rumah hanya untuk sekolah, pada saat bulan Ramadhan dan lebaran saja.

"Iya, Dek. Adek bosan kan di rumah terus? Ya udah, main gih sana! Jangan jauh jauh ya, Dek!" Bunda mengizinkanku dengan memberi senyuman hangat.

"Iya, Bun. Cuma disekitaran sini aja kok, Pandu berangkat ya, Bun." Aku sengaja mencium tangan Bunda ketika hendak berangkat, karena aku sangat menyayangi Bunda.

         Tidak jauh setelah aku berjalan dari rumah, aku melihat seorang Kakek yang menaiki kursi roda karatan. Ia sedang memandangi Bendera Merah Putih lusuh yang berkibar di salahsatu halaman rumah. Terdengar sayup-sayup nyanyian dari mulutnya.

'Bendera merah putih bendera tanah airku
Gagah dan jernih tampak warnamu
Berkibarlah di langit yang biru
Bendera merah putih bendera bangsaku'

Suaranya terdengar gagah ketika bernyanyi. Meskipun sudah sangat renta. Ia menyanyi dengan penuh semangat sebelum akhirnya menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu, hatiku merasa tak tega. Aku mencoba mendekati Kakek itu dan bertanya.

"Kakek kenapa?"

Sambil menunjuk bendera yang sedari tadi ia pandangi, ia menjawab dengan suara tersedu-sedu.

"Merah Putih memanggilmu untuk menyadarkan betapa berharganya Ia."

Aku sempat terdiam. Belum begitu paham terhadap perkataan si Kakek. Sambil berkata di dalam hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MERAH-PUTIH, MEMANGGILMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang