Gontai langkah Andini membawanya menyepi di taman Friedenspark yang mulai berkemas meninggalkan musim panas. Sendu kalbunya atas kehilangan masih ternampak di bekas kering airmatanya yang tadi sempat melembah turun menganak sungai lagi.
Di ruang labor tadi, ia sempat terdiam di dekat tabung atomisasi lantaran uji coba yang belum berhasil. Ia berusaha keras mencari sebab kesalahan. Tapi nihil. Dipejamkan mata jelinya untuk mengumpulkan konsentrasi yang belakangan makin langka.
Lantaran rasa frustasi, dengan gemas diremasnya catatan hasil percobaan yang sedari pagi ia habiskan berkutat dengan alat, larutan pereduksi, larutan asam, pereaksi natriumborohidrid, dan lain-lain. Sudah ketiga kali ia melakukan ujicoba untuk menentukan konsentrasi unsur pada logam mudah menguap. Tapi semua tidak mencapai hasil seperti yang seharusnya ditargetkan.
Andini sering mengeluh merasa lelah yang sampaikan pada Ruth. Bukan hanya lelah pada kekecewaan yang kerap datang tapi juga pada rasa lemahnya sendiri. Ruth dengan sabar selalu mendengarkan curhat Andini. Sekalipun kini keduanya tak lagi bersama setelah acara kelulusan, karena Ruth diterima bekerja di sebuah perusahaan kimia terkenal BASF, sementara Andini melanjutkan S3.
Sering pula keduanya terlibat diskusi tentang penelitian Andini dan sebagai sahabat, Ruth tak lupa terus menyemangati Andini bahwa ia tak boleh menyerah. Setidaknya untuk saat ini. Hasil ujicoba labor penelitian Andini harus sudah selesai dilaporkan pekan depan pada profesor Guttenberg.
Aroma ruangan labor kimia yang sudah kebal di penciuman mahasiswa kimia baru kali ini berhasil membuatnya mual dan sakit kepala. Segera dilepaskannya baju labor, masker dan sarung tangan menuju ke rest room. Perlahan dan seksama ia membersihkan diri. Ia melirik dan mendapati pipinya yang kian tirus pada bayangan yang memantul di cermin besar. Andini tak percaya bahwa rasa sakit telah membuat fisiknya terpengaruh. Segera dilangkahkan kakinya keluar. Ia ingin mencari udara segar di taman.
Matahari masih malu-malu menampakkan diri di bulan September ini. Andini melewati setapak dimana kanan dan kirinya ditumbuhi pohon Baldcypress besar yang berjajar. Pada saat musim gugur, daun merah kekuningan rimbun mereka yang saling bertaut seolah membentuk lorong. Kakinya menginjak dedaunan kering yang menimbulkan bunyi gemerisik saat diinjak. Ia menyapu pandangan pada taman luas ini. Di tepi sebuah kolam, sebatang Willow yang daunnya hijau rimbun berjuntai ke bawah mulai beralih menguning bersendirian. Andini terus berjalan menikmati keindahan alam musim ini yang diharapnya bisa menghapus luka.
Aroma angin kering menusuk hidung. Sepoi yang berhembus dingin membuat daun-daun hijau meranggas, mengering lalu gugur ke bumi. Sebuah Ek raksasa di tengah taman yang dikitari tembok melingkar sebagai tempat duduk bagi pengunjung pun sama terlihat semerana dirinya.
Daun-daun di dahannya yang melengkung kokoh hampir menyentuh tanah kini mulai menguning. Tak lama lagi dia akan telanjang kehilangan mahkota rimbun yang dibanggakannya. Berguguran menyerak di bumi yang perlahan disergap dingin.
Rumput-rumput juga akan mengering dan taburan biji pohon ek akan mulai dipunguti kawanan tupai sebagai bekal makanan selama musim gugur dan salju menyambangi bumi Eropa.
Bagi Andini Herbst* adalah unik. Menikmati alam yang merangkum perpaduan warna indah cerah dan kelam. Saat musim gugur datang, semua nuansa hijau pohon-pohon saat musim panas akan berganti warna-warna peralihan antara merah, kuning dan coklat. Langit yang membiru disaput abu-abu teramat manis menaungi tanah bumi yang tertutup daun berwarna-warni. Matahari yang terang tapi teduh tak menyengat karena suhu berkisar antara 4-14 derajat. Daun-daun beraneka warna yang jatuh luruh diterbangkan angin yang dingin menusuk tulang itu gugur ke tanah dan mendaur ulang diri mereka sendiri menjadi humus menyuburkan bumi.