Tar. Lo baik-baik aja kan?
Tar lo kenapa? Tumben nggak balas chat gue.
Tak ada satupun dari pesannya yang kutanggapi. Sejak tadi malam hingga pagi ini kudapati puluhan lebih chat yang dikirimkannya baik via whatsapp maupun pesan singkat sms.
Kelas masih sangat sepi, hanya ada beberapa siswa yang datang lalu keluar lagi untuk bermain sepak bola sebentar di lapangan sebelum bel masuk. Aku sengaja tidak memberitahu Bagas dan memilih untuk pergi sekolah naik angkutan umum. Mengertilah, tidak mudah bagiku menerima kebohongan terlebih lagi itu dari sahabatku sendiri, orang yang selama ini kupercayai. Rasanya seperti aku baru baru saja menelan pil pahit yang meracuni persahabatan kami.
Ponselku kembali bergetar, menampilkan sebuah panggilan dari Bagas. Secara refleks jariku mereject panggilan tersebut.
"Kenapa direject?" Aku kaget mendapati Bagas berdiri di ambang pintu kelas dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Di sekolah ini, kami di bebaskan membawa ponsel. Dengan syarat : tidak boleh digunakan saat jam pelajaran. "Kenapa direject?" Dia mengulangi pertanyaannya saat sudah berada di samping mejaku. Oh, atau lebih tepatnya meja kami karena aku duduk sebangku dengannya.
"Gak sengaja," jawabku sekenanya.
Bagas membasuh kasar wajahnya, "Gue khawatir sama lo, Tar. Gue ke rumah lo tapi elo nggak ada. Gue telepon, sms, tapi nggak ada balasan sama sekali. Dan lo bilang ngereject telepon gue barusan itu gak sengaja?"
"Emang nggak sengaja kok."
"Tar, gue sahabat lo. Gue tahu gimana elo. Kalo lo marah karena gue nolak lo ajak jalan tadi malam gue minta maaf. Gue bener-bener gak bisa karna—"
"Karena kamu nggak bisa nolak ajakan teman satu geng berandalan kamu? iya?" Sudah kuduga, Bagas akan menampakkan raut kaget saat aku mengatakan hal itu. Iya, aku meminta nomor salah satu teman futsalnya, Arif, untuk mencari tahu lebih banyak informasi soal Bagas. Tentang beberapa hal yang mengganjal di otakku, kini sudah terjawab. Alasan kenapa Bagas dipanggil BK beberapa waktu lalu karena dia terlibat tawuran dengan SMA tetangga. Arif juga bilang kalau ia sering melihat Bagas bergaul dengan anak-anak geng motor SMK Pradika yang terkenal suka membuat keributan dan pemicu tawuran antar sekolah dua tahun lalu yang menewaskan beberapa siswa dari sekolah kami.
Beberapa saat ekspresi Bagas kembali biasa. Malah terkesan tidak ada sesuatu yang mengganggu dari pertanyaanku. "Maksud lo apaan? Berandalaan apanya Tar, lo kan tahu temen-temen gue cuma Arif sama anak-anak futsal. Lo udah kenal juga kan? mereka anak baik, sholeh, tidak sombong, rajin menabung—"
"Kemarin aku nyusul kamu ke tempat biasa kamu main futsal. Tapi kamu gak ada."
Aku senang berhasil mempermainkan ekspresinya. Dia kembali terlihat kaget atas perkataanku. "Jadi, tadi malam lo—"
"Iya, dan aku udah tau semuanya dari Arif. Aku nggak nyangka kamu berubah, Gas. Tega kamu bohongin Ibu sama sahabat kamu sendiri."
"Tar, gue bisa jelasin semuanya."
"Kamu mau jelasin semuanya setelah aku tahu dari orang lain? Ini yang kamu bilang kalau kamu sahabat aku? iya?"
"Tapi Tar, gue bisa jelasin semuanya. Gue punya alasan—"
"Aku kecewa sama kamu!"
Aku memutuskan untuk pindah tempat duduk. Sebangku dengan Lastri, dan Uci pindah ke tempatku—sebangku dengan Bagas. Aku tidak mau mengangkat kepalaku dari atas meja meski Bagas memaksaku untuk bicara dengannya. Ratusan kali dia meminta maaf dan berjanji akan menjelaskan semuanya denganku namun kuabaikan karena aku benar-benar kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dan Ilusiku [Completed✔]
Fiksi Remaja[ Selesai ditulis 17 juni 2019 ] ================================== Note : Follow terlebih dahulu sebelum membaca. ================================== •Attention : Cerita mengandung unsur ketagihan. Baca 1 part dan kalian akan kecanduan sampai endin...