36. Masing-masing

4.8K 561 93
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Pagi-pagi buta sebelum subuh alarm ponsel milik Hanif membangunkanku, sementara yang punya ternyata sudah terjaga duduk di kursi kecil dekat dengan pintu. Dua matanya membentuk lingkar hitam meski tidak begitu jelas, tersamarkan oleh kulit hitamnya. Bagian bola mata yang putih itu terlihat merah. Dengan itu aku yakin sekali dia sangat mengantuk dan tidak tidur semalaman. 

"Nggak tidur?" Tanyaku terbangun, mendekati kopernya.

"Menurut lo?"

"Ya udah sih, mandi sana, biar gue cek ulang barang bawaan lo!" Kataku masih sambil menguap.

Entahlah, semalam aku ketakutan sekali satu ranjang dengan Hanif, bahkan malah dia yang menarikku untuk tidur eh malah aku yang bisa tidur dia yang nggak bisa tidur. Memang tak begitu nyenyak, sebab gerakku begitu dibatasi.

"Nggak usah, udah lengkap juga."

"Lo nggak bawa obat-obatan!" Kataku setelah membuka dan mengacak-acak lagi isi kopernya.

"Ahh, malah lo acak-acak lagi! Mau benerin ulang? Lagian ya di Malang ada apotek! Nggak hidup di tengah hutan gue!"

Aku menatap Hanif cukup tajam, pasti mengerikan sekali baginya. "Ya emangnya kalau sudah urgent banget lo bisa jalan ke apotek? Keburu tewas di jalan lo!"

Hanif justru memoles ringan kepalanya. "Lo ya jadi istri ngomongnya kek gitu!"

"Eh ya habisnya lo diperhatiin malah kek gitu. Kan kesel gue mah!"

"Ya kenapa lo perhatian sama gue? Udah mulai sadar?"

Menghela napas panjang, kalau dia bilang nggak bisa menceraikan aku, aku pun berpikir hal yang sama, pernikahan bukan permainan meski berawal dari keterpaksaan. Dan dalam hidup aku butuh bekal untuk hidup selanjutnya, apa yang bisa aku lakukan baiklah aku lakukan untuknya. Apa yang belum bisa, aku masih butuh proses untuk melakukannya suatu saat nanti, seperti mencintainya mungkin.

"Lo tinggal mandi aja ntar semuanya udah beres!" Tekanku melenggang pergi untuk mencari kotak obatku. Tak masalah buat dia dulu, aku berangkat siang ke Wisma Atlet, masih sempat mampir ke apotek, sementara jadwal pesawatnya cukup pagi.

"Eh, ya tapi kenapa lo perhatian sama gue?" Dia mengikutiku hingga depan kamar Febby, Adikku yang paling kecil. 

"Yaelah A Anif sama Teteh jam segini udah ribut! Ganggu orang tidur!" Teriak Febby dari dalam kamarnya.

"Maaf, Dik," kata Hanif cukup lembut.

Dia selalu lembut sama siapapun di rumah ini, kecuali aku.

"Heh ditanya juga!"

Menghela napas panjang, mendekati Hanif. "Karena gue..." Menyentuh hidungnya yang super mancung itu. Dari situ aku tahu tubuhnya menegang, biar dia tahu rasa tidak menurut apa kataku dan terlalu banyak bicara. Aku yakin dia baper sudah. "Gue mau cari pahala," lanjutku mencubit hidungnya itu.

Hanif tetap diam di tempatnya, tidak pergi dari sana bahkan sampai aku sudah mengembalikan seluruh pakaiannya ke dalam koper.

"Lo nggak usah mandi kali lah, waktu lo habis!" Bentakku di telinga kanannya dalam perjalanan menuju dapur untuk menyiapkan sandwich, meskipun tak banyak waktu, biar Hanif juga tetap bisa sarapan.

Barulah Hanif sadar dan dia berjalan ke kamar mandi, kudengar guyuran air itu tanpa ada suara yang lain. Mungkin dia masih terkejut dengan apa yang aku lakukan tadi, memang kelewat berani.

"Ke masjid dulu," pamitnya saat aku sedang menyiapkan beberapa sandwich ke kotak makan.

"Iya," jawabku sambil mendengarkan suara adzan.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang