Masa Kecil

18 4 1
                                    

Balap sepeda

  Pagi di Jakarta. Langit mendung tapi tidak ada tetesan air yang yang turun dalam bentuk hujan.

  Dua orang anak kecil berumur 12 tahun berlomba adu kecepatan dalam hal mengayuh sepeda. Seorang anak perempuan bernama Venus Jarlestin  Yang mencoba menikung, seorang laki-laki bernama Denta Andalas.

"Huuuh, mana... Katanya jago. Balap Ama aku kok kalah terus?"
"Aku sengaja ngalah kok."
Venus menjulurkan lidah. Kini Mereka berdua turun dari sepeda.

  Venus mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi " Jadi berapa skornya?
Jadi 2-0, ya?"

  Denta menaiki sepedanya dan langsung meninggalkan Venus. Cemberut. Mungkin dia ngambek.
Venus ikut menyusul.

"Kamu belum tahu, sih. Siapa nama panjang aku. Denta Thomas!
"Hahaha... Ngaku-ngaku sodaranya Geraint Thomas lagi. Kalah, sih, kalah aja. Emang susah ya, ngaku?" Venus menjulurkan lidah.

  Denta berpura-pura mengecek body sepedanya, untuk berusaha menutupi kekesalan.

"Gimana Denta Thomas? Masih mau balap?"
"Udah aku bilang, aku sengaja ngalah tadi. Tapi, ya udah deh, sekarang aku mau balapan yang serius."
Venus tertawa. Venus dan Denta bersiap-siap untuk balap.

  Denta mengatur napas. Harus menang! Harus kalahin Venus! Ujarnya dalam hati. Masa, sih kalah sama Venus. Perempuan itu sepertinya tidak kehabisan energi.

  Denta berusaha mengecoh Venus. Tapi usahanya sia-sia, Sepertinya Venus tidak mudah terkecoh. Venus seperti cenayang. Bisa membaca pikiran Denta. Posisi kembali dikuasai Venus.

"Huh!"

  Denta berpikir keras. Dia tidak boleh membiarkan Venus menikungnya Diam-diam. Denta menikung lalu menghalangi jalannya roda Venus.

"Denta curang!" Protes Venus.
"Hahahaaaa..."

Langit semakin gelap. Rintik air pelan-pelan menembus tanah.

  Denta melepas pegangannya. "Udahan, ah! Gerimis, nih."
"Tuh, kan... Udah curang sekarang malah ngajak udahan."
"Males balapan kalo ujan gini. Ntar dimarahin mama. Baju kotor."
"Bilang aja kamu capek!"
"Lagian kan kalo balapan lagi ujan gini, kan, bisa bikin sakit. Aku sih justru kasihan sama kamu, ntar sakit... Aku, deh, yang disalahin."
Venus tertawa "mana pernah, sih, aku sakit? Kamu, tuh, yang dikit-dikit nggak masuk kelas gara-gara sakit."

  Rintik hujan lama-lama berubah menjadi besar. Suara petir menyambar, membuat Venus mengayuh cepat menjauhi Denta yang sedang berdiam diri memandangi kodok yang melompat ditengah hujan.

Sepi.

  Denta membalikkan tubuh. Venus tidak ada dibelakangnya. Ia malah berlindung dibawah pohon. Denta mengayuh cepat menghampiri Venus.

"Liat nggak tadi ada kodok?"
"Nggak!"
"Tuh, kan... Nggak merhatiin."
"Hahaha."
"Eh! Malah ketawa lagi."
"Udah,deh, kamu nggak bakalan menang dari aku."
"Enak aja!"

  Hujan makin deras. Baju mereka basah. Venus menggigil kedinginan.

"Brrggghhh... Hujannya gede banget sih."
"..."
"Gimana pulang coba? Nggak bawa jas hujan."
"..."
"Denta?"
"..."
"Denta?" Venus mencari-cari sahabatnya.
"Denta? Kamu di mana? Ia mengelilingi pohon, tapi Denta tidak ada.

-Tuk-

"Aduh!" Sebuah batu kecil mendarat tepat di kepala Venus. Otomatis Venus mendongak.
"Nyariin aku, yaaa?" Denta tertawa. Dengan santai ia duduk di cabang pohon.
"Ih! Ngapain, sih, manjat-manjat. Liat, tuh, baju kamu udah kotor gitu!"
"Ntar dimarahin mama," ujar Denta nyinyir.
"Kesambar petir baru tahu rasa kamu." Venus melemparkan batu kecil ke arah Denta.

  Dengan muka komik Denta tertawa sambil menepis serangan batu yang dilemparkan Venus. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Benda logam itu mengkilat. Venus dapat melihatnya. Sebuah pisau lipat.

"Ya, ampun... Bawa-bawa pisau lipat dari tadi? Dasar preman!"
"Bodo!" Denta memahat sesuatu di pohon itu tanpa memperdulikan Venus yang mulai terlihat pegal mendongak ke langit.
"Ngapain, sih?"
"Bawel!"
"Ih! Judes banget, sih, jadi orang." Ucap Venus mengusap wajahnya yang basah.
"Aku lagi nulis tahu!"
"Nulis apa, sih?"
"Baca aja sendiri."

Venus diam.
Sial! Aku, kan, ngga bisa manjat pohon.

"Oi!"

-Tuk-

"Awww!"
"Bengong aja kamu!"
"Aduh! jangan lemparin aku terus, dong! Sakit, tau."
"Mau baca, nggak?" Denta memamerkan senyum komik lagi. Seperti menantang.
"Alaaah! Kamu pasti nulis yang ngeledek-ledek aku gitu, ya..."
Kaki kecil Denta bergerak bergantian dengan cepat. Ia tertawa keras-keras.

"Heh! Ketawa sendiri. Kaya orang gila!"
"Hahaha..."
"Denta! Turun dong! Udah, deh..."
"Aku tau! Aku tau! Kamu pasti takut manjat, kan? Kamu pasti nggak bisa manjat pohon, kan?"
"Sembarangan kamu!"
"Ya udah... M-a-n-j-a-t, dong!" Denta menantang Venus sekali lagi.

Venus melipat kedua tangannya dengan kesal.

"Venus nggak bisa manjaaat!"
"Sssh! Berisik!"
"Hahaha."
"Jadi dari tadi kamu pikir aku nggak bisa manjat?"
"Venus nggak bisa manjaaat... Venus nggak bisa manjaaat..." Kaki Denta bergerak riang.

"Huh! Emang aku ngga bisa manjat, sih. Tapi, kan, males banget diketawain terus sama Denta." Venus tertunduk dalam.

"Wahhh... Harus berapa abad yaaa, aku nunggu kamu diatas sini."
"Bawel!"
"Mau baca apa yang aku tulis, nggak?"
"Apa, sih? Ngomong aja, deh. Susah amat."
"Makanya... Manjat, dong!"

-Tuk-

"Arrrggghhh!!!"

  Lama-lama Venus merasa tertantang juga. Laki-laki itu membuat hatinya panas. Venus menendang batang pohon perlahan. Ia memutuskan untuk memanjat.

  Venus menatap batang pohon besar dihadapannya. Tidak ada celah untuk kaki sama sekali.

Bagaimana bisa naik?

  Tapi, mendengar derai tawa jahil yang keluar dari mulut mungil Denta, membuat Venus berusaha keras. Baru naik sedikit, Venus jatuh. Dahan pohon itu licin karena air hujan.

-Buk-

"VENUS!"

  Venus jatuh terlentang. Derai tawa Denta yang riang berubah. Ia cemas.

"VENUS!"

  Perempuan itu masih terlentang. Tidak bergerak. Kaki diatas tanah. Air hujan membasahi tubuhnya.

"Aduuuh!" Denta segera turun dari pohon.

  Muka komik itu berganti dengan muka yang cemas. Denta segera menghampiri Venus. Ia mengibaskan tangannya. Venus sama sekali tidak bereaksi. Denta mendekatkan tangan untuk merasakan hembusan napas Venus. Sama sekali tidak terasa. Napas Venus seperti berhenti. Denta makin cemas.

"Aduuuh... Apa aku harus ngasih pernapasan buatan, ya?"

  Mata kecil itu memandangi wajah Venus dengan gelisah. Setelah berpikir tiga menit, Denta memutuskan untuk memberi pernapasan buatan. Ia membungkuk. Bibirnya mendekat. Kekhawatiran semakin tergambar jelas di mata Denta yang bening.

  Ketika jarak semakin dekat, jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba mata Venus terbuka. Denta keget.

"Boo!"
"Hah?"
"Ketipu... Hahaha!"
"Sial!"
"Hahaha!"
"Jahat, tau, nggak."
"Jahat, tau, nggak." Venus dengan jahil menjulurkan lidah.
"Awas, ya!"
"Mau ngapain kamu? suka yaaa sama aku?" Venus terkekeh.
"Bhuuu! Enak aja."
"Hahaha... Ngaku aja, Deh! Ngapain deket-deket gitu tadi."
"Sial! Kirain pingsan beneran." Denta tertawa. "Aku kan, mau ngasih pernapasan buatan." Berberapa kali cubitan mendarat di lengan Venus.
"Aduuuh..."

Venus berlari ditengah hujan. Denta berusaha mengejar. Derai tawa kembali mengisi mereka.

Dua anak kecil itu berlari-lari dibawah langit mendung yang riang menurunkan air.

***

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DenveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang