Dua

254 35 37
                                    


Anyelir sedang menyisir rambutnya saat merasakan kehadiran pria yang sedari awal terus ia tunggu. Keadaan pria tersebut tidak jauh beda dengan dirinya saat pertama kali menginjakkan kaki pada lantai rumah. Setengah basah ulah air hujan.

Pria berdagu lancip tersebut menggosok lengannya yang sudah terbalut jas formal dengan dalaman kaos neck-turtle, yang rasanya sungguh tidak nyaman apabila sudah basah begini.

Ambigu ya?

Anyelir beranjak, mengambilkan handuk baru, karena handuk yang biasa dikenakan pria itu masih ada di dalam mesin pengering.

Alden menerimanya begitu Anyelir mengulurkan benda berguna tersebut. Lemah lembut seperti biasa.

"Kau kehujanan dimana?"

Anyelir mulai membuka bicara.

"Tadi ada sidang, tidak tahu kalau di luar sedang hujan." Alden tidak menatap Anyelir. Melainkan fokus pada proses menyeka basah di tubuhnya. "Kau mencuci rambutmu. Tadi kehujanan?"

Anyelir mengangguk singkat. Menerima kaos berbahan dasar kain rajut serta jas yang disodorkan oleh Alden. Saat ini, lelaki yang berstatus sebagai suami Anyelir sedang berganti pakaian. Di depan Anyelir.

"Lain kali minta Ifan untuk menjemputmu, aku tidak suka kau kehujanan seperti ini."

Senyuman tipis itu terbentuk di sudut bibir Anyelir. Apa ini adalah satu cara Alden untuk meminta maaf? Setelah insiden makan malam bersama yang selalu tertunda. Tetapi, setidaknya hati Anyelir menghangat mendengar bahwa Alden juga memperhatikannya.

"Aku tidak mau merepotkan Ifan."

Alden berjalan ke walk in closet di dalam kamar mereka. Memilah pakaian ganti yang cukup hangat untuk membungkus tubuh kekarnya hari ini. Diikuti Anyelir yang mulai memunguti pakaian kotor milik mereka kemudian membawanya ke ruang cuci.

"Sekalipun Ifan kerepotan, itu sudah jadi tugasnya. Aku bayar dia buat mobilitasmu," katanya.

"Ya, aku paham."

Sedikit informasi, Anyelir ingin memberitahu bahwa pekerjaan Alden adalah pekerjaan paling hebat di dunia. Setidaknya, itu adalah pola pikirnya. Seorang pengacara. Ya, berkecimpung di dunia perhukuman yang memang sangat diminati Anyelir. Dulu.

Sepeninggalan Anyelir, Alden membuka ponselnya. Sudah tertera nama itu di sana.

"Aku merindukanmu. Bisa kita bertemu malam ini?"

*

Seperti biasa, Anyelir sebelum berangkat ke kafe. Ia tentu harus melakukan kewajibannya terhadap Alden. Mulai dari menyiapkan pakaian serta makanan untuk sarapan mereka berdua.

Wanita itu mengikat rambutnya dengan ikatan rendah ke belakang. Mengenakan gaun tidur berbahan katun seraya asik mengicip sup ayam buatannya sembari menunggu Alden turun ke ruang makan.

"Kenapa masih hambar," gumam Anyelir kemudian membubuhkan sejumput garam ke dalam panci serbagun tersebut. Kemudian kembali mengicipnya lagi. Dan hasilnya sudah lebih baik ketimbang dengan yang tadi.

Selang beberapa lama terlalu asik merasai makanan buatannya sendiri. Ia sampai tidak menyadari bahwa Alden sudah menuruni anak tangga dengan langkah tergesa.

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang