malam ini indah, penuh dengan warna, yang selalu menghiasi sudut kota. hai! perkenalkan, namaku Dera. lagu yang baru saja aku nyanyikan itu adalah lagu favoritku karena liriknya yang secara magis menyemangatiku. akhirnya setelah menjalani tiga tahun masa sekolah di SMP, aku berhasil diterima bersekolah di salah satu SMA unggulan di Kota Magelang. meskipun baru tahun pertama, aku sudah memiliki tiga orang sahabat yang luar biasa,yaitu Azizah, Raras, dan Dita. jelas mereka bukan orang baru buatku karena kami berasal dari SMP yang sama. awalnya kami tidak terlalu saling kenal karena berbeda kelas. namun sejak tau kami masuk SMA yang sama, kami mulai saling mengenal dan bersahabat seiring berjalannya waktu sembari menunggu hari pertama bersekolah di SMA. kami memulai setiap harinya dengan bersemangat. aku merasa seperti remaja yang sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka. tapi ini bukan sebatas cerita tentang aku dan mereka, ini cerita tentang semuanya, ya semuanya. aku akan memulainya dari istana kecilku agar kalian memiliki perspektif yang tepat mengenai diriku. ini kisahku yang dimulai dari tanah yang basah. jalan setapak yang sederhana, namun lembut dan nyaman, entah bagaimana aku harus menceritakannya.
"Dera, bangun!", teriak ibuku dari depan kamarku dengan membawa bungkusan berisi tempe mendoan panas. "baru seminggu sekolah masa udah mau telat sih."
"iya bu", jawabku lemas sambil mengolet.
aku adalah anak paling tua di keluarga. aku punya dua adik, Wati yang masih sekolah di SMP dan Dimas yang masih sekolah di SD. Bapakku adalah pegawai swasta dengan gaji bulanan yang jarang ada lebihnya jika dibandingkan pengeluaran keluargaku. ibuku adalah penjahit yang pandai, tidak heran kami selalu punya stok baju baru setiap lebaran tanpa harus membeli mahal di toko baju di alun - alun kota. kondisi keluargaku sebenarnya biasa aja, hampir setiap pagi ibuku membeli lima tempe mendoan panas sebagai menu sarapan kami. aku, dua adikku, ibuku, bapakku. masing - masing dapat satu tempe mendoan dan sepiring nasi putih hangat sebagai tabungan energi dalam menjalani hari yang baru. jika kamu lebih fokus, maka kamu akan menggarisbawahi kalimat "hampir setiap pagi" yang artinya nyaris 100% sarapanku nasi dengan tempe mendoan.
aku tidak pernah mengeluh. kedua adikku tidak pernah mengeluh. untuk apa mengeluh toh keluarga kami tetap bahagia walau sebagian orang mengatakan kami "kekurangan". jalan setapak yang kami lalui setiap pagi menuju sekolah adalah saksi bisu dimana kami merajut jejak kami dengan banyaknya pengharapan. setiap langkahnya ada mimpi yang melayang tentang masa depan yang akan kami hadapi. tentu saja saksinya tidak hanya jalan setapak itu, jika kamu bisa melihatnya, di sisi barat jalan setapak ini ada kemegahan Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. disebelah utaranya ada kehebatan Gunung Merbabu. disebelah selatannya ada juga Gunung Tidar dan Gunung Merapi. tapi aku yakin dua gunung terakhir yang aku sebutkan, aku tidak bisa melihatnya. cuma promosi saja untuk memperlihatkan betapa menakjubkannya lokasi jalan setapak ini.
untuk sampai di sekolahnya, Dimas harus menyusuri jalan setapak sejauh 500 meter, sementara Wati harus berjalan kaki sejauh 800 meter. aku sendiri bersekolah paling jauh, tepatnya 2500 meter. kalian jangan pernah membayangkan aku jalan sejauh itu ya, karena sebagian jauhnya aku sambung dengan mobil angkutan kota.
"yaaaaahhh, hujan", ucap Wati setengah berteriak kagetkan aku yang sedang mempersiapkan peralatan sekolahku.
"gimana nih mbak, kita ga punya payung. aku mau sekolah mbak. aku gak mau bolos pokoknya", Dimas merengek kepadaku. sementara bapakku hanya bisa menatap memelas kearah luar rumah sambil berkata pelan," jangan hujan dong ya Allah gusti."
aku tidak mengerti apakah itu keajaiban atau sebatas kebetulan saja, hujan berhenti walaupun gerimis halus masih saja enggan berhenti untuk menjatuhkan butirannya ke bumi. dengan modal plastik sampah yang dibolongi dibagian tengah dan sampingnya, kami kenakan seperti jas hujan berbayar yang digunakan teman - temanku.
tanahnya masih basah. harum khas dedaunan yang disirami air hujan menjadi penyemangat sekaligus relaksasiku sepanjang perjalanan ke sekolah. "ibu lupa ya mbak kalau sepatu kita juga harus ditutupin plastik", bisik Wati kepadaku sambil meringis. aku hanya mengangguk pelan tersenyum.
jalan setapak yang basah sepanjang 500 meter sudah kami lalui bersama, Dimas masuk ke gerbang sekolahnya setelah mencium tanganku dan Wati dan pamit. dia nampak riang sekali masuk sekolah. baginya sekolah adalah taman bermain yang penuh dengan ilmu. perpustakaan sekolahnya tidak memiliki koleksi buku yang lengkap, tapi hampir seluruh waktu istirahatnya dihabiskan Dimas dengan membaca buku di perpustakaan. tidak banyak anak seumurannya yang berfikiran dan melakukan hal demikian di sekolahnya, aku meyakini.
selanjutnya 300 meter jalan setapak yang basah aku dan Wati lalui, setelah cium tanganku, pamit, diapun masuk ke gerbang sekolahnya. nampak lelah, namun aku masih melihat sebidang semangat memancar dari ujung tatapannya. sulit namun harus, sebagai seorang kakak untuk memberikan semangat kedua adikku agar terus semangat dalam bersekolah agar menjadi orang pintar kelak dan bisa membahagiakan kedua orangtua kami.
akhirnya tinggal aku yang berjalan sendiri. langit sudah cerah, pelangi sudah menyeberang didepanku. sampai sudah aku di pangkalan mobil angkutan kota. aku lepas jas hujan buatan ibuku untuk naik ke mobil angkutan kota. "Dera!", panggil seorang gadis diseberang jalan menghentikan satu kakiku yang sudah naik ke atas mobil angkutan kota. aku menoleh dan melihat ternyata ada Raras disana. aku segera membalas panggilannya dan mengajak dia untuk naik mobil angkutan kota bersamaku.
sepanjang perjalanan menuju sekolah di mobil angkutan kota, Raras banyak terdiam. aku tahu pasti ada yang tidak beres. Raras adalah sahabatku yang paling cantik, bukan, bukan cuma sebagai sahabatku. dia adalah siswi tercantik di sekolah. aku masih tidak mengerti bagaimana aku yang "aku" ini bisa bersahabat dekat dengan seorang Raras. tapi sudahlah abaikan saja. "aku putus sama Joni, Ra. aku udah gak ngerti lagi harus gimana lagi pertahanin dia. dia gak juga ngerti kalau aku terima dia apa adanya".
Raras pun menceritakan semuanya terkait berakhirnya hubungan dia dengan Joni. aku tidak memahami seluruhnya, tapi yang aku pahami adalah bahwa Raras masih menyayangi Joni, titik. selebihnya hanyalah intermezzo yang ada dalam hubungan mereka. sebagai informasi saja, Joni adalah teman SMP kami. dia teman yang menyenangkan, tapi memang penyakit Hypochondria yang dideritanya membatasi Joni untuk banyak berkomunikasi dan bergaul dengan kami. kasihan Raras, menyayangi laki - laki yang menderita penyakit semacam itu yang membuat penderitanya merasa ketakutan akan mengalami sakit karena lingkungan disekitarnya. saat Raras bersin, Joni pasti langsung panik dan segera mencari atau bahkan pergi ke warung untuk membeli obat flu karena sangat takut akan ketularan. padahal bisa saja Raras bersin karena aroma lada yang terlalu menyengat. bayangkan rasanya menjalin hubungan dengan seseorang berpenyakit semacam itu. ah membayangkannya saja sudah pusing.
"Pecinan! Pecinan!", teriak kernet mobil angkutan umum yang kami naiki. kami harus turun disini dan melanjutkan menyusuri jalan setapak lagi sejauh 200 meter sampai ke gerbang sekolah.
aku pikir teriakan kernet menjadi tanda berakhirnya cerita Raras, ternyata itu hanya stasiun sementara untuk cerita Raras menuju stasiun berikutnya, sekolah kami. tapi aku salah. Raras masih terus bercerita, aku jadi semakin paham mengapa berakhirnya hubungan mereka memang yang terbaik untuk mereka berdua. Joni melanjutkan sekolahnya dengan home schooling karena orangtuanya khawatir anaknya akan jadi bahan olok - olokan jika bersekolah di sekolah umum. aku tau, untuk mempercepat ini aku akan ajak Raras untuk memotong jalan ke sekolah melewati pertokoan sempit didekat sekolah kami. aku cuma tersenyum licik dalam hati setelah Raras setuju untuk "potong jalan".
"Dita!!!", Raras menjerit keras, menunjuk ke arah jalan setapak didepan kami. aku kaget bukan kepalang melihat Raras. aku menoleh kedepan. ekspresi wajahku berubah drastis dari kaget menjadi panik. Dita tergeletak di depan sebuah toko dengan baju sekolah yang sudah compang - camping, tak sadarkan diri!
YOU ARE READING
DERA : Perspektif
General FictionDera adalah sosok gadis sederhana dengan perspektif yang istimewa. mampukah Dera membantu sahabat dan keluarganya untuk keluar dari masalah dengan hanya bermodalkan perspektif yang dia miliki ?