"Sophia..." Suara lembut Mama berhasil menarikku kembali ke dunia nyata. Ya, sedari tadi aku terus melamunkan seseorang yang sering disebut-sebut di sekolah. Bukan karena aku menyukainya, bahkan aku tidak peduli pada orang itu. Tapi perkataan sahabatku kemarin terus terngiang-ngiang diotakku.
Aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran tentang orang itu, lagipula untuk apa aku memikirkan orang itu. Lebih baik aku memikirkan oppa-oppa korea, daripada orang itu.
"Ma, aku berangkat dulu ya...." Aku mencium tangan Mama lembut. Kebiasaan yang tidak pernah terlewat setiap paginya. "Nanti pulang mau aku belikan apa, ma?"
Mama cuma jawab pakai senyumnya. Kalau udah begitu artinya Mama tidak ingin dibawakan apapun atau mungkin Mama tidak suka aku menghabiskan uang untuk membeli sesuatu untuknya. Entahlah, Mama bukan wanita yang mudah ditebak.
Aku menatap Mama yang masih berada di depan pintu, "Yaudah, aku berangkat sekarang ya, ma..."
Rumahku memang tidak jauh dari sekolah, maka dari itu hari ini aku memutuskan untuk berjalan kaki. Tidak sampai 30 menit, aku sudah sampai di sekolah. Sekolah masih sepi, itu yang aku suka. Tidak ada acara desak-desakan dan tidak akan diperhatikan banyak orang.
"Wah, ada Sophia the First. Mau kemana sih buru-buru banget?" sapa sahabatku, Selena. Ya, Selena memang tidak sekaku aku, tapi tidak juga sepopuler Angel anak anggota DPR yang senang berbagi. Iya berbagi, berbagi kesakitan dan penderitaan.
"Nanti keburu banyak orang di koridor, kamu tumben sekali datang pagi?" tanyaku. Selena tersenyum penuh makna. Kalau sudah begini aku tahu apa yang dia inginkan. Contekan dari buku Si Juara Umum, Alfarel Adijaya.
"Yaudah sana, semoga beruntung dan mendapatkan contekan yang kamu mau," ucapku menyemangati Selena. Dan setelah itu, dia pergi ke arah kelas Alfa yang berlawanan dengan kelasku dengan penuh senyum.
Menyadari koridor sudah mulai ramai, akupun melanjutkan langkahku menuju kelas. Kata orang kelasku adalah kelas terbodoh, ah tidak bukan hanya terbodoh. Kelasku sering dibilang kelas terendah diantara kelas lainnya. Karena semua cercaan selalu ditunjukkan ke kelasku, maka akupun ikut menyembunyikan diri dari banyak orang. Aku benci mereka menghina kami, aku benci mereka merendahkan kami.
Apa salah kami memangnya? Toh, kami semua juga membayar sekolah. Memang menyebalkan jika diingat. Tapi, kalau dibiarkan mereka akan selalu seperti itu.
"Pi, lo jadikan ikut modelling antar kelas itu?" tanya Bintang memastikan. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Lagipula hanya menjadi model, bukan masalah buatku. Dulu saat papa masih bersama keluargaku, aku mengikuti kelas modelling.
Arya yang duduk di belakang kelas mengangkat jempolnya tinggi-tinggi, "Bagus, Pi. Biar Angel cengo liat lu. Kan bisa membuktikan secara pribadi sama perwakilan."
"Sophia the First ku..." teriakan seseorang -yang sudah dipastikan adalah Selena- itu menyudahi pembicaraan ku dan teman sekelasku tentang modelling.
Aku mencebik kesal. Kebiasaannya tidak pernah hilang, dan selalu membuatku menanggung malu karena ulahnya itu. Tanpa menunggu kehadirannya, aku memasang earphone ku dan menenggelamkan diri diantara ribuan aksara.
Baru beberapa menit aku tenang, Selena sudah mengguncang-guncang tubuhku. Aku menatapnya tajam, tidak peduli dia akan kesal terhadapku. Dan bukannya takut dia malah tersenyum dengan tidak berdosanya.
"Ada apa Selena Ayudhia?" tanyaku dipenuhi penekanan. Aku benar-benar jengah dengan tingkah sok polosnya, untung saja dia sahabatku.
"Kayaknya soal Alfa yang pakai topeng itu bener deh, soalnya tadi pas gue minta contekan, dia tuh kayak banyak aturannya gitu." Selena terdiam, dia masih mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja dia lihat dan dia simpulkan. " Terus tuh Alfa seperti nyebut-nyebut Warung Maok."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA
Teen FictionNamanya Alfarel Adijaya, teman sekelasku yang lain memanggilnya Alfa. Dia juara umum di sekolahku. Selain pintar dia juga tampan, karena itulah dia disebut most wanted boys. Tidak hanya di sekolah saja, tetapi di luar sekolah pun juga dia dise...