“Ra, sudah makan nak?” tanya ibu sembari membenahi tempat tidur lusuh yang terletak tepat diatas tanah.
“Tidak usah bu, Ara tidak lapar” balas Azura ketus.
“Kuatkanlah hatimu, lalu berdoa. Percayalah bahwa Tuhan selalu ada untuk mengabulkan apa yang kamu minta” seru Ibu diikuti dengan kecupan pada kening anak sulung perempuannya itu.
Jika Tuhan memang selalu ada, mengapa tidak ada satu pun doaku yang Ia kabulkan? Aku tetap sengsara karena kasta ini, rumahku tidak layak huni, keluargaku harus menahan lapar setiap harinya, pekerjaan pun aku tidak punya. Lantas, untuk apa aku hidup? Mengapa Tuhan tidak mematikan aku saja? Aku tidak suka, dunia ini membuatku kesal.
“Ku mohon pertemukan aku dengan bahagiaku, Tuhan.”
Setiap malam hari, perempuan pemilik nama Azura Purnama itu memang seperti ini. Berbaring di kasur sembari melihat langit malam berhias bintang berkelap-kelip, berharap Tuhan akan mendengar doanya. Maklum, tempat yang ia tinggali itu tidak bisa membawakan bahagia untuknya. Tanah Tua, “Desa Tak Terlihat” begitu katanya.
Sementara itu di Istana, seluruh pejabat sedang riuh berbincang-bincang.
“Sang Kaisar memasuki Istana...” teriak Ajudan lantang, membuat siapapun disekitarnya mengalihkan perhatian.
“Maaf jika saya lantang menanyakan hal ini, tapi Anda terlihat sangat pucat dan lesu. Apakah Anda baik-baik saja?” tanya seorang Perdana menteri.
“Maafkan saya, Tuan. Namun, saya tidak tega melihat Anda seperti ini. Anda harus istirahat, tidak usah dibuat pusing oleh urusan negeri ini. Saran saya, Anda harus segera mempersiapkan penerus Anda.”
“Jaga ucapanmu, Perdana Menteri!” sela Putra Mahkota ketus.
Kepala Sensor menambahkan. “Benar apa yang dikatakan oleh Perdana Menteri, Tuan. Kondisi Anda semakin hari semakin lemah, Kerajaan pun sedang diambang kehancuran akibat bencana Tsunami kemarin. Rakyat resah, membutuhkan bantuan.”
“Tenanglah semuanya, saya paham betul bagaimana kondisi saya dan negeri ini. Saya akan bertanggungjawab membenahi kekacauan ini. Namun, mengapa kalian semua sangat khawatir mengenai penerus saya?” seru Sang Kaisar heran.
“Maafkan saya, Tuan. Namun, kami selaku pejabat Istana ragu kepada kecakapan Putra Mahkota. Saat kemarin dilaksanakan Ujian Kenegaraan, Putra Mahkota tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, kemampuan bela diri nya pun masih belum bisa dikatakan sempurna” seru Perdana Menteri yang hanya dibalas dehaman ketus oleh Kaisar.
“Tidak perlu khawatir, Menteri” jawab Putra Mahkota sembari duduk bertekuk lutut dan merendahkan kepalanya.
“Apa yang kau lakukan, Putra Mahkota?” balas Kaisar cepat.
“Maafkan saya, Ayah. Semua yang dikatakan Perdana Menteri benar adanya, hasil ujian saya tidak baik, kemampuan bela diri saya pun payah. Saya memang tidak pantas untuk menjadi penerusmu” seru Putra Mahkota diiringi tetes air mata yang jatuh menyentuh pipinya.
Setelah perbincangan panjang yang melelahkan itu, keputusan akhirnya rampung untuk diumumkan.
Kaisar membuka selembaran kertas panjang. “Tiga hari yang akan datang, Kerajaan akan melakukan sayembara yang dapat diikuti oleh siapa saja, meski ia berkasta rendah sekalipun. Syaratnya adalah pejuang harus menemukan sebuah bendera berwarna emas mengkilap dengan 5 simbol kehidupan tersembunyi di sebuah tempat. Untuk menemukannya, masing-masing pejuang akan diberi satu petunjuk awal. Siapa yang mampu menemukan bendera emas itu dan mengibarkannya di puncak Gunung Tanjung Harapan , maka ia lah yang akan menjadi Kaisar negeri ini serta mendapatkan harta kekayaan yang melimpah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNA & ZURA
Short Story"Dimana aku bisa menemukan bahagiaku?" "Kamu sudah menemukannya" "Mana?" "Aku"