Si Tempe dan Sumber Kacang Kedelai

20 1 0
                                    

Ini bukan cerita tentang asal mula pembuatan tempe kok. Tenang tenang… Tapi ada sangkut pautnya dengan kata tempe. Jika kalian membaca postingan saya sebelumnya yang berjudul Curhatan Si Pengangguran Mental Tempe, tulisan ini bisa dibilang lanjutan dari tulisan saya yang sebelumnya. Itulah kenapa saya memberi judul di atas.

Cerita kali ini tentang yang anak-anak gaul jaman now sebut “pencarian tulang rusuk.” Atau dalam kasus saya, pencarian sumber kacang kedelai si Pengangguran Mental Tempe ini. Saya sebelumnya belum menyadari betapa pentingnya misi pencarian kopongnya kacang kedelai di satu papan tempe karena menurut saya misi tersebut tidak sepenting mencari segepok uang untuk makan esok hari ataupun menimba ilmu untuk sedikit tidak bodoh dari sebelumnya. Iya saya memang se-materialistis itu. Bahkan menurut pendapat saya, seorang manusia itu wajar jika bersikap materialistis. Hari gini tidak punya uang bisa apa?

Namun, misi tersebut lambat laun mulai dihembuskan dari segala penjuru, dari mulai teman, ibu, sepupu, sampai akhirnya seluruh keluarga besar. Diusia saya yang ke 23 tahun ini, hampir semua keluarga bertanya perihal “siapa pacar kamu sekarang?”, “cerita dong lagi deket sama siapa sekarang”, dan “wah temen SD kamu udah nikah ya. Kamu kapan nyusul?” Mungkin ketiga pertanyaan itu akan lebih sering diterima oleh pihak perempuan karena di tanah air tercinta kita ini ada pemikiran yang sudah mendarah daging: perempuan jika memasuki usia duapuluh harus segera memikirkan pendamping hidup dan menikah sebelum usia tigapuluh; sedangkan laki-laki, mau usia berapapun menikahnya tidak masalah asalkan kalau bisa sebelum empatpuluh.

Selama ini—sampai sekarang—saya selalu menjawab bahwa saya sedang malas menjalin hubungan, ingin meniti karir dulu, atau memang belum bertemu dengan laki-laki yang pas. Untungnya, mereka masih bisa menerima karena toh usia saya masih 23 dan rentang waktu menuju tigapuluh itu masih jauh. Walaupun sindiran halus itu tetap saya terima dalam berbagai bentuk.

Jika sebelumnya saya bersikap masa bodoh tentang menikah, kini mau tak mau saya sering memikirkannya. Saya jadi lebih sering introspeksi diri kenapa sampai saat ini tidak ada lelaki menghiasi hidup saya. Apakah karena tampang saya yang pas-pasan, gigi saya yang tidak rapi, jerawat yang selalu hadir di wajah, tubuh yang kurang seksi, wawasan yang masih dangkal, atau apa? Saya tidak pernah menyangkal bahwa memiliki seorang pasangan kemungkinan akan membuat hidup saya jadi lebih berwarna. Tapi, saya tidak menampik juga bahwa tanpa kehadiran mereka pun saya masih bisa bersenang-senang.

Suatu hari, saya mendapat kabar via Instagram bahwa cinta pertama saya sewaktu SD akan menikah. Kami hanya berbeda tiga tahun yang artinya dia baru berumur 25 saat menikah. Bagiku, umur segitu masih terlalu muda untuk memikirkan menikah karena menikah itu bukan perkara ijab qabul atau sumpah sehidup semati saja. Menikah berarti kamu akhirnya terlepas dari naungan taman Firdaus orang tuamu. Menikah adalah suatu langkah ketika kamu bertanggung jawab bukan hanya pada dirimu saja tapi juga dengan pasanganmu. Tidak ada lagi cekcok yang berujung pada kata putus. Perceraian itu serumit benang headphone yang kamu coba urai.

Jika pada akhirnya kalian memutuskan untuk bercerai, ada pengadilan agama yang harus kalian hadapi. Belum lagi berkas-berkas sidang yang seabreg dan pembagian harta gono-gini maupun hak asuh anak yang bikin pusing lebih dari tujuh keliling. Hal ini saya pelajari dari salah satu keluarga dan dosen saya yang pernah bercerai. Mereka kehilangan banyak hal dari segi materil maupun emosional.

Bukan berarti masa pacaran pun tidak memiliki suka dukanya tersendiri yah. Saya sudah banyak mendengar cerita-cerita hancurnya hati teman-teman dan keluarga saya karena ditinggal oleh pacarnya. Entah itu karena tidak sepaham lagi, sudah bosan, atau diselingkuhi. Biasanya mereka yang sampai menangis tersedu-sedu dan susah move on itu adalah orang-orang yang sudah terlanjur jatuh hati pada pasangannya. Saya tidak bisa memihak ataupun menolak sudut pandang mereka karena saya sendiri sejujurnya belum pernah jatuh cinta yang begitu dalam pada seseorang.

Cuat-Cuit PahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang