Entah sudah berapa kali aku mengatakan padanya untuk mengganti sepatu bututnya itu. Kalau sepatu itu masih layak pakai sih mungkin tidak apa-apa, tapi sepatu itu sudah kelihatan sangat kumal, jauh dari kategori layak pakai. Walaupun orangtua kami bukanlah orang yang kaya, tetapi kurasa mereka masih mampu membelikan Andi sebuah sepatu baru yang lebih layak pakai.
Entah mengapa pula, hanya aku yang selalu memperhatikan sepatu bututnya Andi. Sepatu butut itu begitu menggangu pandanganku. Orangtua kami tidak pernah protes kalau Andi menggenakan sepatu butut itu lagi.
Pagi ini kami akan berangkat sekolah, dan lagi-lagi sepatu butut itu lagi yang kuperhatikan. Tidak ada yang lain yang kuperhatikan dari Andi, aku jadi malas bila berjalan dengannya. Aku malu bila harus berjalan dengannya, seperti berjalan dengan seorang gembel.
Sepatu butut itu begitu mengganggu pikiranku Kenapa Andi tidak minta sepatu baru aja biar keren seperti teman-temanya, si Ivan dengan sepatu ketsnya, atau seperti Dodi dengan sepatu sportnya?
Di suatu malam, aku berfikir untuk menyingkirkan sepatu butut itu. Aku berencana membuangnya di hari Sabtu malam, karena kutahu ia akan mencucinya di hari Minggu. Jadi kalau di hari Minggu ia tidak menemukannya, masih ada kesempatan untuk membeli yang baru sehingga ia masih bisa masuk di hari Seninnya.
Untuk membuang sepatu butut tentu saja tidak memerlukan rencana yang rumit, cukup sederhana saja pasti aku bisa melakukannya, hanya tinggal menunggu Andi tidur di malam hari, dan kemudian aku tinggal menjalankan misinya. Hari yang kunantikan pun tiba, segera aku bersiap menjalankan misiku. Kulihat Andi sedang tidak ada di rumah.
Aku melihat sekeliling rumah untuk memastikan bahwa keadaan telah aman. Kedua orang tuaku telah tertidur lelap. Melihat orang tua Ku tertidur, Aku jadi teringat dari tadi pagi sampai sore tadi mereka pergi entah kemana. Adikku Andi, sore tadi Dia berkata ada tugas kelompok dan sekalian ingin tidur di rumah temannya bersama teman sekelompoknya. Keadannya memang sudah sangat aman.
Dengan segera Aku melakukan misiku. Kuambil sepatu Andi yang berada di bawah meja belajarnya. Tak sengaja Aku melihat kalender, Aku jadi teringat sesuatu. 3 hari lagi, tepatnya hari Selasa Andi akan berulang tahun. Selisih 1 hari, 4 hari lagi tepatnya hari Rabu Aku juga akan berulang tahun. Aku tersadar kembali dengan misiku. Segera kubuang jauh-jauh sepatu itu. Dan semuanya telah beres.
Keesokannya, Andi sudah pulang ke rumah. Ketika Aku sedang sarapan di dapur, terdengar suara teriakan Andi dari dalam kamarnya. Teriakannya membuat Aku, Ayah, dan Ibu terpaksa datang ke kamarnya.
Saat Kami di kamarnya, Dia bertanya dimana sepatu miliknya. Orang tua Ku jelas tak tahu dimana sepatu bututnya itu. Dengan lantang Aku mengaku bahwa pelakunya adalah Aku sendiri. Aku menceritakan semuanya, betapa malunya Aku melihat Adikku sendiri memakai sepatu butut, lantas orang tua Ku bahkan masih mampu untuk membeli sepatu baru untuknya.
Sekejap keadaan menjadi sunyi. Akhirnya Ibu pun bicara. Dia menceritakan bahwa sepatu bututnya itu Andi dapatkan 2 tahun yang lalu ketika Aku sedang berpiknik sekolah. Tepat dihari ulang tahunnya, sepatu itu adalah kado sepatu pertama yang pernah diterimanya dari almarhum neneknya. Andi sangat menyukainya. Jadi, pikir Ayah dan Ibu, dihari ulang tahun Andi pada besok Selasa, mereka akan membelikan sepatu baru lagi untuknya. Begitu juga denganku. Aku juga akan mendapatkan sepatu baru dihari ulang tahunku nanti pada Rabu besok.
Setelah mendengar cerita dari Ibu, Aku menangis dan merasa bersalah kepada Andi. Aku memeluknya dan meminta maaf kepadanya. Karena sepatu butut Andi sudah terlanjur Ku buang dan besok Andi masih harus sekolah, Aku memohon kepada Ayah dan Ibu untuk membelikan sepatu baru untuk Andi hari ini juga. Mereka pun setuju. Lagipula, ternyata kepergian Mereka dihari kemarin adalah untuk melihat-lihat sepatu yang akan Mereka pesan untukku dan Andi.
Setelah pulang dari toko sepatu, Aku dan Andi sedang duduk memandangi sepatu baru milik Kami tersebut. "Andi, maafkan Aku. Aku belum bisa menjadi kakak yang baik untukmu." ucapku kepada Andi. Lantas Andi tersenyum kepadaku dan membisikkan satu kalimat ditelingaku. "Kak, terimakasih sudah mau menjadi kakak yang baik untukku."
YOU ARE READING
Bukan Kakak Baik
Short StoryAyah, Ibu, makasih sudah memperbaiki perlakuan burukku pada adikku sendiri.