“Athalea?”
Athalea mendongak ketika melihat Zeno yang ada di depan pagar rumahnya seraya memanggil – manggil namanya. Athalea tidak mendengarnya tadi karena ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Ia menghapus sisa air mata yang ada di pipinya, lalu mencoba untuk menetralkan deru napasnya.Athalea menghampiri Zeno dan membukakan pintu pagar untuk lelaki itu. Hal pertama yang Athalea lihat adalah senyum manis Zeno—membuat hati Athalea sedikit tenang
.
“Aku mau—““Lea, kamu nangis?” Zeno mengurungkan ucapan awalnya dan terkejut ketika melihat mata Athalea yang berakaca – kaca.
Athalea menggeleng dan tersenyum kecil. “Aku gak papa. Kak Zeno ada perlu apa?”
Zeno masih ragu dengan jawaban Athalea, tapi lelaki itu tidak bertanya lebih lanjut. Lelaki itu memilih memberikan buku Athalea yang tidak sengaja terbawa olehnya—tujuan awalnya ia kemari, ia hanya ingin mengembalikan buku itu, lalu pulang. Tapi, setelah melihat Athalea yang sepertinya menangis, Zeno berniat ingin menemaninya dulu.“Oh, buku Matematika aku kebawa?” tanya Athalea yang sudah diyakini tidak membutuhkan jawaban. Zeno mengangguk ketika Athalea mengambil buku itu dan menggenggamnya.
“Kak Zeno, mau masuk dulu?” tanya Athalea hanya untuk sekadar basa – basi. Dalam hatinya, Athalea berharap Zeno akan menolak ajakannya.
“Boleh.” Dang it!
Athalea mengangguk kaku. Terlebih dahulu ia melangkahkan kakinya dan terhenti di depan pintu itu.
“Lea, kenapa?” tanya Zeno yang bingung karena Athalea hanya berdiam diri di depan pintu itu, tanpa membukanya. Athalea berbalik untuk menatap Zeno.
“Kak... diluar aja, gapapa?” Saat itu Zeno mendengar sayup – sayup teriakan dari dalam rumah—ia tahu apa yang terjadi. Akhrirnya, Zeno tersenyum kecut dan mengangguk.
Athalea menghela napas. “Kita mau diam disini, atau—“
Belum selesai Athalea berbicara, Zeno sudah menarik tangannya untuk mengkutinya duduk di lantai teras rumah Athalea, dengan kepala yang menyandar ke pintu.
“Gak usah dengerin yang di dalem, oke?” ujar Zeno memandang mata Athalea yang berkaca – kaca. Athalea tidak dapat menahan isakannya, tapi ia mengangguk menyetujui perkataan Zeno. Mengikuti Zeno, Athalea juga menyandarkan kepalanya ke pintu yang ada di belakang tubuhnya.
Sumpah demi apapun di dunia ini, Zeno ingin sekali menenangkan Lea – nya, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Jadi, ia memilih untuk membiarkan Athalea menenangkan dirinya. Hingga, isakan kecilnya sudah mereda, Zeno baru berbicara, “Orangtuaku juga sudah cerai, Lea.”
Ucapan Zeno membuat Athalea terhenyak dan menatap Zeno dengan penasaran. Mengerti bahwa Athalea tertarik untuk mendengarkan ceritanya, Zeno memutuskan untuk melanjutkannya. “Mereka udah cerai dari aku umur dua belas tahun.”
“Kenapa?” tanya Athalea dengan suara serak.
Zeno tersenyum pahit, kini pandangannya lurus kedepan. “Mereka berdua berselingkuh. Mereka tidak cocok satu sama lain, hingga akhirnya menemukan seseorang yang menurut mereka cocok. Mereka bisa menerima kenyataan itu. Tapi, gak bisa mengatasi pernikahannya. Jadi, mereka bercerai.”
“Lea, sometimes life doesn’t always romantic. Sometimes, it’s realistic.” Zeno memandangaya Athalea—tepat dimanik matanya.
“Kak Zeno...”
“Apapun yang terjadi sama orangtua kamu, itu urusan mereka. Udah seharusnya kamu gak ikut masuk ke dalamnya, dan terkena dampaknya. Mereka udah dewasa, tahu apa yang benar dan yang salah.” Zeno tersenyum seraya masih memandang Athalea.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Teen FictionIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...