54. Luka Lagi

14.2K 2K 577
                                    

Ashel mengedarkan pandangan ke sekeliling. Untung kantin sepi. Beberapa orang yang tadi makan di sana, sudah pergi. Wajar, ini sudah jam masuk kerja. Semua orang pasti berada di ruangan masing-masing untuk memulai pekerjaan. Ashel merasa leluasa untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan tanpa harus was-was diperhatikan orang lain. Paling-paling hanya para pelayan yang memperhatikan.

"Ini bukan hal sepele," lanjut Ashel.

"Masih mau ngelanjutin debat nggak penting ini, hm?" Suara Fariz semakin meninggi. Lalu ia kembali meminum kopi.

"Aku sebenarnya juga males ngomongin hal kayak gini, aku cuma minta pengertianmu."

"Pengertian yang mana lagi?" gertak Fariz keras. "Apa masih kurang semua yang kuberi ke kamu?"

"Menurutmu?"

"Cukup! Jangan lagi bicara!" Fariz meletakkan gelas dengan hentakan kuat. Mengejutkan pelayan di belakang.

"Masalah nggak akan kelar kalau nggak dibicarakan."

"Oke, sekarang tulis sebarapa banyak yang kamu mau, akan kupenuhi." Gigi Fariz tampak menggeletuk, menahan geram.

"Ini bukan perkara materi," tegas Ashel kemudian bangkit berdiri.

Fariz tak mau kalah. Ia juga bangkit berdiri, bahkan dengan gerakan kasar hingga menimbulkan suara derit keras oleh kaki kursinya yang terdorong mundur. "Sedikitpun aku nggak pernah menuntut apapun darimu. Kau juga jangan menuntut kalau ingin bahagia."

"Ini bukan tuntutan, tapi manusiawi."

"Oh.. bagus! Pelihara aja semua yang kamu rasakan itu. Penderitaanmu itu muncul akibat perasaanmu sendiri yang terlalu banyak menuntut. Sama halnya dengan kebahagiaan, rasa itu muncul karena perasaanmu sendiri. Intinya, menderita atau bahagia, perasaanmulah yang menentukan, bukan orang lain."

Ashel tercekat, diam menatap tajam Fariz.

"Kalau kau ingin bahagia, perbaikilah perasaanmu itu supaya nggak gampang sakit hati. Jangan banyak tingkah dan menyalahkan orang lain. Paham?" lanjut Fariz kemudian melenggang pergi.

Ashel kembali terduduk di kursinya. Badannya mendadak lemas. Ia ingin menangis lagi. Tapi sebisa mungkin ia menahan air mata supaya tidak mencuat keluar.

****

"Pak Pak, berenti, Pak!" seru Ashel pada supir taksi online yang ia pesan beberapa menit sebelum jam pulang kantor. Ia sengaja pulang lima menit lebih awal supaya tidak bertemu Fariz. Sengaja ia menghindari Fariz supaya tidak pulang satu mobil. Batinnya masih berkecamuk, rasanya sulit berdekatan dengan Fariz disaat begini. Jadi lebih baik menghindar.

"Berenti di sini, Non?" tanya supir.

Ashel tidak menjawab. Pandangannya tertuju kepada sesosok perempuan yang berdiri di tengah-tengah hamparan luas tanah kosong bersama beberapa orang lelaki berpakaian necis. Mereka seperti sedang membicarakan hal penting.

Itu kan Ayesha? Ngapain dia celingukan di tanah milik Pak Roby yang beberapa hari lalu sudah dibeli oleh Fariz? Pikir Ashel.

Ashel menurunkan kaca dan menatap Ayesha penuh tanya. Kebetulan Ayesha menoleh ke arah Ashel dan ia tersenyum sembari melambaikan tangan. Dengan langkah sedikit pincang, Ayesha berjalan mendekati Ashel.

"Shel, kamu di sini?" tanya Ayesha dengans eulas senyum.

"Kebetulan lewat dan ngeliat Kakak."

"Kamu mau pulang, kan?"

"Iya."

"Kebetulan aku nggak bawa mobil karena kakiku sakit. Bisa nggak kita barengan? Kita kan searah."

Ashel mengangguk. Lalu menggeser duduk. Ayesha masuk dan duduk di sisi Ashel. Taksi kembali melaju.

"Gimana kondisimu? Kayaknya tadi kamu jatuh deh dari tangga, aku mendengar suara tangga ambruk, tapi aku nggak sempet ngeliat kondisimu karena keburu dibawa masuk. Kamu nggak pa-pa, kan?"

"Seperti yang Kakak lihat."

"Maaf Shel, seharusnya tadi aku nggak meminta bantuanmu. Gara-gara aku, kamu jadi jatuh."

Ashel diam.

"Hari ini aku nggak masuk kerja, aku sibuk mengurus proyek baru. Semoga restoran yang akan kubangun berjalan lancar," ucap Ayesha dengan muka berbinar cerah.

"Membangun restoran? Maksudnya gimana?"

"Aku beli tanah itu dari pemilik lahan yang lama. Roby Robenson namanya. Baru beberapa hari yang lalu aku selesaikan pemindahan kepemilikan ke notaris. Aku udah lama banget menginginkan tanah itu loh, Shel. Dan keinginanku untuk membangun restoran di tanah itu terwujud berkat bantuan Fariz. Tanpa Fariz, pemilik tanah itu nggak akan mungkin mau melepas tanahnya untukku. Aku seneng banget cita-citaku yang udah lama kuinginkan ini akhirnya terwujud."

Oh... kenapa sakit sekali mendengar penjelasan Ayesha? Terbongkar sudah alasan apa yang membuat Fariz begitu antusias memerintah Ashel menyelesaikan tugas untuk bernegosiasi dengan Pak Roby. Ashel diperalat Fariz untuk membuat Ayesha bahagia, supaya Ayesha mencapai cita-citanya. Tega sekali Fariz.

Setelah tadi Ashel jatuh dari tangga dan Fariz malah memilih menolong Ayesha, lalu adu argumen di kantin kantor dengan Fariz dan nyesaknya masih terasa, sekerang ditambah dengan kejujuran Ayesha yang membongkar rahasia Fariz. Tambah sakit rasanya.

"Udah beberapa kali aku menemui Pak Roby untuk menawar tanah itu, dan beliau keukeuh nggak mau jual. Tapi alhamdulillah, seperti yang kukatakan tadi, Fariz membantuku hingga tanah kini beralih nama menjadi milikku." Ayesha tersenyum. "Kau beruntung memiliki suami sebaik Fariz, dia rela mewakafkan hidupnya demi kamu, wanita yang telah dia bikin jadi hidup sebatang kara."

Ashel menatap Ayesha intens, kalimat Ayesha sulit ia mengerti.

"Maksudmu?" tanya Ashel.

"Maksudku, lawan kecelakaan suami dan ayahmu itu kan Fariz, jadi dia...."

"Stop! Berenti di sini!" potong Ashel dengan nafas tersengal. Ashel tidak tahan lagi mendengar penjelasan Ayesha. Mata Ashel sudah berair.

Jadi Fariz adalah lawan dari tabrakan waktu itu? Kenapa dia nggak jujur dan berterus terang? Kenapa dia tutupi semua itu dariku? Batin Ashel nyesek.

Supir menghentikan taksi meski belum sampai tujuan, rumah Ashel masih beberapa meter di depan.

Ashel membuka pintu mobil dan segera turun.

"Loh, Shel, kok turun?" Ayesha yang tidak mengetahui duduk perkara, menatap Ashel bingung. "Saya turun di sini juga, Pak." Ayesha menyerahkan uang ke supir. Niatnya numpang Ashel, eh malah jadi dia yang bayarin supir. Ayesha mengejar Ashel. Ia semakin yakin kalau Ashel sedang marah padanya. Namun ia bingung alasan apa yang membuat sikap Ashel mendadak berubah.

Ashel berjalan dengan langkah lebar menuju rumahnya yang masih agak jauh. Ia tidak perduli teriakan Ayesha yang memanggil-manggil namanya di belakang sana.

Kaki Ayesha pincang-pincang saat mengejar Ashel yang berjalan dengan kecepatan luar biasa, tentu saja kuwalahan.

Bersambung

O ya, maaf aku bukan tipe penulis yang suka diatur pembaca. Kalau ga suka sama tulisanku, ga usah baca. Silahkan bikin cerita sendiri. Gampang kan?

Ide cerita dan karakter tokoh dalam cerita ini berjalan berdasarkan pemikiran pengarang, jadi penulisnya jangan diatur supaya jalan cerita sesuai dengan kemauan reader.

Silahkan mengkritik dan memberi saran yg bersifat membangun dengan bahasa yang SOPAN. Jangan paksa penulis mengikuti jalan cerita pembaca apa lagi merubah karakter tokoh. Bedakan antara kritik dengan ngatur-ngatur penulis.

Aku suka dikritik dan dikasih masukan, tapi paling ga suka digurui apalagi diatur. Plis, jangan ngatur penulisnya supaya jalan cerita sesuai dengan kemauannya. 🤔🤔

Ah, rasanya aku jadi lebih tegas di sini. Maaf kalau agak pedes kata katanya

Happy minggu. Bijaklah dalam berkomentar.

Reader ghoib, tunjukkan dirimu

Masih nungguin My boss is my love kan? Yuk cung 👆

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang