Dibalik Kebisuannya

14 5 0
                                    


Seorang lelaki berambut ikal seleher yang dibiarkan terurai tengah duduk di bangku besi taman kota. Tubuhnya dibalut jaket denim belel, mengenakan sepatu kets lusuh. Ia menatap kosong ke langit telanjang tanpa bintang dengan udara sekitar yang terasa sejuk namun menusuk. Pikirannya hanyut mengingat kembali secara detail apa yang ia lakukan dan tempat mana saja yang ia singgahi hari ini.

“Dasar bodoh!” gumamnya pada diri sendiri.
Lelaki itu terus merutuki dirinya tatkala gadis berwajah manis menghampiri dan duduk disampingnya.

"Daru udah dong, pasti ketemu kok. Kamu cuma lupa nyimpen kameranya dimana." ujar gadis manis itu sembari mengusap lembut bahu kekasihnya.

"Una, kamu tau kan kamera itu udah selama apa dihidup aku? Leica M3 tahun 1954 susah nyarinya. Aku gabisa kehilangan semua yang ada didalem situ. Aku gabisa." Suaranya serak. Kepalanya bersandar pada bahu si gadis.

"Kalo kakek masih ada dan tau kameranya aku ilangin, kayanya bakal kecewa banget.." Ucap Sadaru yang semakin larut dalam kesedihannya.

"Na gimana aku mau ikut lomba pemotretan di Nias bulan depan kalo Leicaku ilang." Ucapnya lagi.

Sedari tadi Aruna hanya membiarkan Sadaru berkeluh kesah. Sudah cukup lama Aruna memasuki kehidupan Sadaru, ia tahu betul lelakinya bukan lemah. Siapapun akan merasa sedih jika kehilangan apa yang telah dirawat dan dijaga sepenuh hati. Meskipun kamera itu hanya benda mati, bagi Sadaru sangat berharga. Selain karena pemberian mendiang kakeknya saat ia mendapat juara umum ketika masih sekolah, Leica M3 1954 juga langka untuk dicari.

Aruna memeluk erat Sadaru, dengan harapan itu mampu membuatnya merasa tenang. Aruna memang tak pandai berkata-kata. Acap kali Sadaru sedih, gundah, marah, atau berkeluh kesah, ia hanya memeluk erat Sadaru. Tanpa berucap apapun. Menurut Sadaru, itu hal yang paling menenangkan dibanding nasihat terbijak di semesta ini.

"Pulang yuk, dingin.." Aruna melepaskan pelukannya.
"Padahal barusan jadi anget tau Na." Timbal Sadaru. Membuat Aruna melengkungkan garis bibirnya.

***

Jalanan Buah Batu menjadi saksi bagaimana mereka menerobos dinginnya malam, berboncengan menuju jalan pulang. Dagu Aruna bertengger pada bahu keras milik Sadaru, tangannya juga melingkar dipinggang Sadaru. Selama berada di atas sepeda motor klasik milik Sadaru, mereka diam seribu bahasa. Biasanya Sadaru yang memulai obrolan atau bergurau menggodanya, namun Aruna mengerti ini bukan waktu yang tepat.
Sesampainya di rumah Aruna, Sadaru berpamitan pada seorang lelaki berkumis dan beralis tebal. Tatapannya tajam. Namun sebenarnya ayah Aruna sangat menyenangkan.
Setelah sedikit berbincang, Sadaru pamit undur diri. Ia melesat menyusuri jalanan malam yang dingin. Kesendirian di atas kendaraan membuatnya semakin beku. Pikirannya masih terus melayang mengingat-ingat kembali yang terjadi hari ini. Ia hanya pergi ke 2 tempat, yaitu galeri foto dan toko buku Palasari. Ia tahu betul bahwa ketika di galeri foto ia masih memegang kameranya. Ia menyadari kameranya hilang setelah mengantar Aruna ke Palasari untuk mencari buku referensi.

"Sekalipun ketinggalan disuatu tempat, harusnya masih ada yang nyimpen atau dibalikin. Dasar orang Indonesia! Selalu mengutamakan harta dibanding kejujuran." gumamnya sendiri.

Tatkala sudah memasuki daerah perumahannya, Sadaru melihat seorang gadis tengah berjalan sendirian. Tangan kirinya memegang tas dan tangan kanannya memegang sesuatu entah apa. Ia melambatkan laju sepeda motornya, seperti mengenali sesuatu. Benar saja, yang dibawa ditangan kanan gadis itu adalah tas kameranya.

"Hei! Tunggu!" Sadaru turun dari kendaraannya berniat untuk menghampiri gadis tersebut.

Si gadis menoleh dan terlihat ketakutan, lalu melarikan diri. Sadaru mengejar gadis yang lari nya lumayan kencang. Tak peduli dengan sepeda motor yang ia tinggal sembarangan, karena perumahannya sangat aman. Sialnya, ia kehilangan jejak gadis itu. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napas.

"Sudah ku duga, kameraku memang dicuri. Aku akan menemukanmu pencuri kecil." Ucapnya gemas.

BRUK!

Terdengar suara seseorang terjatuh, suaranya sangat dekat. Sadaru mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, ia mendapati bayangan dibalik mobil yang tepat terparkir di depan rumahnya.

"Kamu salah tempat untuk bersembunyi." ucapnya pelan, ia menghampiri bayangan itu.

"Ngapain kamu disini? Mau mencuri lagi? Kembalikan kamera saya!" hardiknya pada gadis itu.

Gadis itu terlonjak kaget, Ia hendak melarikan diri kembali namun Jingga menghalangi. Jingga merebut tas kamera yang tengah di peluk dari gadis itu. Ia memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu kira-kira berusia 15 tahun. Tampak kumal, rambut sebahu seperti tak terurus, pakaiannya pun kotor. Ia tak mengenakan alas kaki. Persis seperti pengemis.

“Kamu curi dimana kamera saya? Masih kecil sudah jiwa pencuri!" Hardik Sadaru.

Gadis itu tak menjawab, diam saja di tempatnya berdiri. Ia menatap ketakutan, namun tak merasa malu seolah tak bersalah sama sekali.

“Kamu tidak punya mulut untuk jawab apa ya?” hardiknya lagi dengan lebih kasar

“Sudah, sana pergi! Jangan coba-coba mencuri di sini! Mau saya laporkan polisi? Dasar pengemis!” Usirnya pada gadis itu.

Gadis itu sudah tak tahan lagi. Tangisnya pecah, namun tak bersuara. Ia menggerakkan tangannya membentuk silang sembari menunjuk kamera dan menggelengkan kepalanya. Ia mengusap air matanya kemudian memberi isyarat dengan gerakan tangan juga mimik wajahnya. Sadaru terperangah melihat apa yang gadis itu lakukan. Ia bingung dengan yang dimaksudnya.

“Kamu… tidak bisa bicara?” tanya Sadaru dengan pelan.

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Ia mengeluarkan secarik kertas dan pena dari sakunya, menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Sadaru.
“Aku memang tidak bisa bicara dan aku hanya anak jalanan, tapi aku sama sekali tak punya niat untuk mencuri. Aku menemukan tas ini di Palasari. Tas ini tergeletak di samping meja yang berisi buku-buku. Aku ke sini berniat mengembalikannya pada kakak, dengan melihat alamat dari kartu nama yang berada di dalam tas itu. Aku lari karena aku pikir tadi kakak pencuri yang ingin mencuri tas ini." Ia memberi secarik kertas seraya mengembalikan kartu nama Sadaru.

Sadaru menatap gadis remaja bisu di hadapannya. Ia masih tampak tak percaya. Namun gadis itu begitu lugu dan polosnya. Terpancar jelas diwajahnya yang begitu teduh, meski sedikit kumal. Sekali lagi, gadis itu mengusap sisa-sisa air mata dipipinya. Ia tersenyum kepada Sadaru seolah pamit ingin undur diri. Sadaru meminta maaf lalu berterima kasih dengan memberi sejumlah uang. Gadis itu menolak halus, ia melangkahkan kaki meninggalkan Sadaru yang masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Sadaru sadar, ternyata di muka bumi ini masih ada orang-orang jujur. Ia sangat merasa bersalah karena sudah berprasangka buruk, juga merasa takjub pada gadis itu. Meskipun hanya anak jalanan yang bisu, namun ia menjadi guru Sadaru malam ini. Sadaru meraih gawai di saku jaket denim belelnya, berniat untuk menelepon gadis tercinta.

"Halo Una, kamera aku udah ketemu. Aku ditampar sama pelajaran yang gabakal terlupakan malam ini." Ucap Sadaru.

"Bagi-bagi ke aku ya?" jawab Aruna di seberang sana yang tampak semangat.

"Pasti, selamat malam Aruna. Mimpi indah."
Sadaru melengkungkan garis bibirnya dan mematikan telepon sepihak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dibalik KebisuannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang