Samantha
Waktu terus berlalu, dan tak sedetikpun mereka membiarkanku sendiri. Sadarkah mereka bahwa aku terikat di kursi?. Apapun yang aku coba untuk lakukan tidak akan berhasil. Bahkan jika aku berhasil kabur, sepatu heels ku tidak akan membawaku lari jauh.
"Berimajinasi lagi Sam?" tanya John yang sekarang duduk di hadapanku.
"Tidak kah kau lelah menanyaiku hal yang sama?" jawabku
"Aku tidak akan menyerah untuk sesuatu yang aku inginkan" balasnya
"Dan kau akan melakukan apapun demi itu? Termasuk melukai seorang gadis, lagi, lagi dan lagi? menyedihkan" ucapku
Wajahnya berubah merah padam bergitu kata 'menyedihkan' meninggalkan bibirku. Seperti yang kuduga, Ia menarik segenggam rambutku dan berkata,
"Kau yang bersikeras bahwa kau bukan gadis manja, bahwa kau menuntut kesetaraan derajat, sekarang kau protes?"
Ku tatap matanya yang berjarak kurang dari 10 cm.
"Siapa bilang aku protes? Aku hanya mencoba memberitahu mu bahwa di mata hukum, menyiksa perempuan adalah suatu perbuatan yang bisa membuatmu melewatkan masa muda mu" balasku.
Tawanya membuatku muak.
"Kau pikir aku peduli?" katanya sembari menarik diri.
"Katakan saja dimana kunci itu Sam, sudah cukup pukulan kau trima hari ini" sambungnya
"Kalaupun aku memberitaumu, aku tidak berpikir kau bisa menemukannya" ucapku
"Aku menyabotase proyektor sekolah dan meledakkannya, kemaren aku memutus aliran listrik, dan kau katakan aku tidak bisa menemukan dimana kunci sialan itu berada?" katanya dengan nada meremehkan.
Aku sungguh tidak berpikir Ia bisa menemukannya.
"Semua orang bisa melakukan itu dengan patner yang tepat" Kalimatku membuatnya terdiam. Ia menatapku frustasi.
"Pegang kata-kata ku Paulette! Cepat atau lambat, kau akan memberitau ku dimana kunci itu" ucapnya sebelum melangkah ke pintu dan membantingnya keras begitu Ia keluar.
Anak buah John tetap berada di ruangan ini. Berjalan kesana kemari dengan sesekali berbincang pada kawannya.
Perlahan kurasakan nyeri di wajahku. Sialan itu memang ahli memukul orang. Bisa kupastikan bahwa aku tidak akan perlu make-up beberapa hari kedepan, karna wajahku sudah cukup warna. Terutama bagian tulang pipi, aku sungguh akan menghemat penggunaan blush.
Lalu terlintas dalam benakku, apa kata ayah jika Ia melihatku seperti ini. Pasti Ia akan menghajar John habis-habisan.
Lucu bagaimana seseorang yang sudah pergi masih terus membayangimu.
Daniel
"Kau ada ide dimana kira-kira kunci itu disimpan?" tanyaku
"Kau yang menghabiskan waktu bersamanya akhir-akhir ini" ucap Agent Paulette
Kami berdua menghabiskan waktu 2 jam, menggeledah setiap sudut kamar Samantha, demi kunci itu. Lemari baju dan laci meja sudah selesai Ia teliti, sedang aku mencari di rak-rak buku Samantha yang tertempel di ujung dinding kamar Samantha.
2 rak selesai, dan tersisa 1. Bisa ku lihat Ia menyimpan novel-novel favoritnya di sana. Tidak hanya seri Hunger Games, tapi juga ada seri Under The Never Sky, serial Legend, dan serial The History Keepers. Semuanya di tata sesuai urutan seri. Namun, di ujung rak, terdapat buku dengan hardcover hitam polos, tanpa keterangan judul, penulis, atau penerbit.
Ku ambil buku itu dan membuka cover depan. Di halaman pertama tertulis 'Don't lose the spark that makes you, you.'. Halaman berikutnya berisi 2 bait puisi.
Telah lama bibir ini bungkam
Akan rindu yang terus menikam
Di kala kenangan datang menghujam
Akankah kau paham
Arti kesunyian malam?
Perlahan kubuka halaman berikutnya, puisi juga memenuhi halaman kertas polos itu.
Bagaimana aku dapat melepasmu
Bila senyum itu alasan aku bertahan dalam ombak
Bagaimana aku dapat terus berlari
Bila penopang jiwa ini hanyut bersama tatap yang kau bawa pergi.
Bagaimana aku mampu bertahan
Bila hanya dengan namamu aku hanyut dalam angan.
2/3 buku ini sudah terisi, dan semua halaman itu berisi puisi. Namun hampir semua sastra itu menggambarkan tentang kehilangan, atau keraguan.
Kini, bisa kubayangkan Ia berbaring di ranjang dengan buku ini dihadapannya dan pensil ditangannya. Pikirannya merangkai kata, sedangkan tangannya menari melukiskan kata, menghias kertas kosong yang membosankan, dan mengubahnya menjadi sebuah mahakarya.
"Apa yang kau temukan?" Tanya Agent Paulette
"Tidak ada, hanya susunan buku, ehm, novel" jawabku dengan buru-buru mengembalikan buku itu ke tempatnya
"Baiklah" balasnya dengan tatapan aneh. Aku tidak menyalahkannya, karena bagaimanapun kami berbicara tentang anaknya.
Sesaat kemudian ponsel Agent Paulette berbunyi. Ia keluar kamar dan menerima panggilan itu. Meninggalkan ku sendiri di kamar yang penuh kenangan. Sesaat kemudian, ku raih kembali buku itu, dan membuka halaman terisi yang terakhir.
Perlahan dunia memudar
Kala bayangmu merambat benak
Malam tak pernah lupa
Akan bagaimana kita mengukir cerita
Mungkin hanya sementara
Karena pada akhirnya kita terpisah
Aku mengejar mimpiku
Dan kau mengejar mimpimu
Karna sekeras apapun ku mencoba
Momen itu tak akan pernah kulupakan.
"Daniel! kita ke markas sekarang" ucap Agent Paulette
"Mereka menemukan lokasi Samantha" sambungnya kemudian.
Spontan, aku berlari mengikutinya keluar dan kami kembali ke markas.
Fakta bahwa kami menemukannya membuat jiwaku kembali bersorak. Tapi akankah John sebodoh itu untuk tidak mematikan gps pada box kunci?.
Mungkin Ia mencoba untuk membukanya dengan kalung Samantha. Tapi seharusnya Ia langsung menutup box itu, atau sinyal gps akan terpancar. Well, yang terpenting, kami mendapatkan Samantha kembali.
Sesampainya di markas, kami bergegas ke ruang basement dan memakai perlengkapan lapangan. Begitu 1 pistol terpasang di sabukku, aku mengambil belati milik ku dan Samantha yang tertinggal di lantai pesta, di hari John membawanya.
Bayangan akan Samantha menempelkan ujung belati ini pada John membuatku tersenyum. Kurasa kali ini ujung belati itu tidak hanya akan menempel di kulitnya.
Kuharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Infinity Necklace
Novela JuvenilDaniel Dayton adalah salah satu siswa baru di suatu sekolah menengah atas di kotanya. Pengelola sekolah mewajibkan seluaruh siswa baru mengikuti masa orientasi yang diselenggarakan selama 4 hari di sebuah lapangan di pinggir hutan. dalam masa orient...