Acara ke Banyuwangi terpaksa ditunda. Mbak Endang, istrinya Mas Sena, melahirkan lebih awal dari tanggal yang diprediksi oleh dokter. Kami semua heboh tentu saja, dan mencemaskan keselamatan Mbak Endang juga buah hatinya. Oleh karena itu, Eyang memutuskan untuk menunda keberangkatan kami. Sekitar satu bulan lagi. Karena kami harus kesana tepat di hari kelahiranku, yaitu Selasa, dan tepat di wetonku, yaitu Kliwon. Imbasnya, pernikahanku dan Pamanah juga harus diundur. Eyang bersikeras bahwa aku harus ke Banyuwangi terlebih dahulu.
"Antasena, kamu ya mbok jangan mondar-mandir begitu tho," ujar Pak Atmaja menegur anak sulungnya yang sedari tadi wara-wiri di depan kami yang duduk di kursi deretan bangsal rumah sakit. Mbak Endang masih berada di dalam bersama dokter ahli kandungan. Atau ahli bedah? Aku kurang tahu. Dan walaupun Papa dan Mas Sena juga dokter, tetap saja mereka berdua was-was dan hanya bisa menggantungkan nasib Mbak Endang ke rekan-rekan sejawatnya yang memang lebih ahli dan memang pakar dalam bidangnya. "Bikin pusing," tambahnya.
Tanganku ditarik oleh Jatayu, ketika Pak Atmaja dan Mas Sena masih berdebat. Jadi di sini ada aku, Jatayu, Papa, Mas Antasena, dan Pak Atmaja. Sementara Mama dan Ibunya Jatayu, Bu Ratna, menunggu di rumah, berdoa bersama para tetangga. Apa sih itu namanya? Yasinan? Eh yasinan kayaknya buat orang meninggal deh. "Temenin Kak Atha makan sebentar," bisik Jatayu. Aku nganut. Berjalan sejajar dengan Jatayu, dan tanganku pun masih digandengnya. Jatayu memegang pergelangan tanganku, bukan jari-jemariku. "Pamanah bilang, Mbak Endang akan baik-baik saja. Bayinya perempuan." Ooh. Rumah sakit ini sepi, karena hari sudah larut. Entahlah sudah pukul berapa ini. Kantin rumah sakit dekat dengan lapangan parkir, dimana pohon beringin besar tumbuh tepat di tengah-tengahnya. Ada banyak cerita mistis tentang pohon beringin ini, dan mengapa pohon ini tidak ditebang saat lapangan parkir rumah sakit ini mulai dibangun. Sudah ada beberapa saksi yang bercerita tentang penampakkan seorang perempuan. Ceritanya hampir mirip, mereka melihat perempuan berusia sekitar 30-an sedang kebingungan, lalu ketika mereka bertanya, mereka akan sadar bahwa perempuan tersebut tidak memiliki bola mata karena bola matanya hilang. Rumornya, perempuan tersebut adalah korban malpraktek rumah sakit ini zaman dulu. Dan dikubur di area pohon beringin tersebut. Aku memang merasakan aura penuh amarah dari sekitar pohon beringin, namun aku tidak melihat siapa-siapa. Atau dia takut karena adanya Jatayu? Mary saja takut dengan Jatayu.
Ngomong-ngomong, aku dan Jatayu masih memakai seragam sekolah karena kami belum sempat pulang. Kami tadi main sebentar setelah pulang sekolah, lalu tiba-tiba dapat kabar jika Mbak Endang dilarikan ke rumah sakit. Dan kami langsung menuju kemari.
Setibanya di kantin, Jatayu memesan nasi kuning dengan telur dadar dan ayam, sedangkan aku hanya meminta es teh manis. Dan karena penjaga kantinnya tahu jika aku adalah anak dari Raden Gusti Abimanyu Prawiro, maka es tehku gratis. "Senonya Kak Atha jangan noleh ke belakang," tegur Jatayu ketika aku iseng ingin melihat pohon beringin di tengah lapangan parkir itu sekali lagi. "Jangan dulu." Jatayu menyuap nasi kuningnya dengan perlahan namun matanya menatap garang ke arah belakangku. Apapun itu, atau siapapun itu yang berada di belakangku, pasti bukan hal yang baik. Aku bahkan sekarang bisa merasakan aura kemarahan, frustasi, dan dendam yang meluap-luap. Aura jahat itu menusuk-nusuk punggungku, mencoba menggodaku untuk menengok ke belakang. "MINGGAT!" Seru Jatayu. Lirih namun penuh ketegasan. Aku tahu Jatayu tidak sedang berbicara denganku. Dan entah mengapa, aku ingin sekali menengok ke belakang! Aku mendengar sajak lirih . . . .
Nandhi motoku . . . .
Nandhi motoku . . . .
Kalau diartikan ke bahasa Indonesia, kurang lebih . . . .
Mana mataku . . .
Mana mataku . . .
Dan walaupun aku memiliki ilmu kebathinan cukup, dadaku bergetar, dan bulu kudukku merinding. Ada yang aneh dengan setan yang satu ini. Dia seperti mempengaruhi pikiranku untuk marah. Untuk dendam. Untuk mengamuk. Hingga aku melihat Jatayu membuka dua kancing atas seragam sekolahnya, lalu memperlihatkan puting kanannya. "Senonya Kak Atha fokus ke sini aja," katanya tanpa dosa sambil menunjuk putingnya yang kecoklatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)
أدب المراهقينAku Arseno, baru lulus SMP, dan harus migrasi dari ibukota Jakarta, ke sebuah dusun terpencil dari bagian kota kecil. Dan disinilah, ceritaku dimulai. (Cerita ini fiktif, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan kejadian, mohon dimaafkan karena buk...