Duapuluh Sembilan

1.1K 42 2
                                    

"Happy birthday willi"
sebuah nyanyian itu serentak mereka nyanyikan ketika aku tiba di meja makan, damas segera menghampiriku dengan sebuah cake raksasa di tangannya, kulihat lilin yang tertancap di kue itu ya tuhaann '29' apakah aku setua itu? Bahkan aku lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku

"make a wish terus tiup lilinnya ya abang gue tercinta" ujar dimas sambil senyum mesem-mesem. hmm aku menghela nafas dalam-dalam mengucap doa di dalam hati dan meniup lilin yang sebagian cairannya sudah jatuh ke bagian atas cake, tak banyak yang aku ucapkan tadi, aku hanya berdoa semoga kebersamaan ini selalu terjaga sampai nanti, amin.

"Happy birthday uncle willi" ujar seorang anak laki-laki berusia kurang lebih 4 tahun yang baru bisa berbicara itu sembari memberiku sebuah kotak yang di bungkus dengan kertas koran

"wah bagus banget bungkusnya, pasti kamu yang bikin ya?" Ujarku ketika memegang sebuah kado pemberian keponakanku itu, dia hanya mengangguk sambil tersenyum, kami semua hanya tersenyum melihat tingkahnya yang begitu menggemaskan

"uncle buka yaa" begitu aku buka kotak itu, isinya adalah sebuah jam tangan rolex dengan model klasik

"aiko itu kan jam tangan papah!"
Aiko febrian, adalah anggota termuda keluarga febrian, dia juga merupakan cucu pertama ayah dan ibuku, dia adalah anak sulung dimas, hah ? Dimas? Ya, kedua adiku telah mendahuluiku melenggang ke pelaminan, dimas menikah di usia 22 tahun sedangkan damas di usia 25 tahun, aku sangat ingat waktu itu ibuku mengangis di ruang tengah sambil memegang tangan dimas berusaha meyakinkannya agar tidak melangkahiku karna dianggap 'pamali' oleh tradisi kita, namun aku tidak mau menghalangi jalan kebahagiaan adiku tercinta, hingga akhirnya aku sendiri yang berusaha meyakinkan ibuku bahwa aku tidak sama sekali merasa keberatan dengan keputusan yang di ambil dimas, begitupun ketika damas berbicara akan mempersunting seorang wanita cantik, namun apa daya ibu dan ayahku hanya bisa pasrah saja, ya mau gimana lagi toh? Jika menungguku? Bisa-bisa mereka gak akan menikah seumur hidup, karna apa yang bisa di tunggu dari seorang william? Pacar gak ada apalagi calon.

"Aiko itu kan jam tangan papah" ujar dimas sambil cemberut

"Ya elah dim udah aja kali buat gue" jawabku sambil berusaha memakaikan jam tangan itu di pergelangan tanganku

"Ga mau itu gue beli mahal, sini balikin" dimas mengambil jam tangan yang sedang berusaha kupakai secara paksa

"Pah jam nya kok di ambil lagi? Itu kan buat uncle willi" aiko seolah mengerti bahwa ayahnya telah mengambil pemberian darinya

"Aiko sayang, lain kali kalo mau kasih barang harus bilang dulu sama papah oke" aiko hanya mengangguk mendengar perkataan dimas

"Lagian aiko, uncle willi itu ga perlu jam tangan" ujar damas

"Terus butuhnya apa uncle damas?"

"JODOH"
Ah sialan si damas ini segera ku jitak kepalanya tanpa henti 'ampuunn' ahh tak ku hiraukan permintaan ampun dari damas yang sudah meng skak ku di pagi yang indah ini

"kalian itu yah kaya anak kecil, udah stop, kamu juga damas malu dong sama si 'itu' " ujar ayahku melerai pertengkaran sembari menunjuk ke arah perut siska, istri damas yang sedang hamil besar

"lagian lu juga bang,ga kepengen apa punya beginian" ujar damas sambil mengelus-elus perut istrinya itu, aku hanya menghela nafas panjang dan merasa sangat tersudutkan disini

"mangkanya sayang ayo dicari jodohnya atuh" ibuku mulai bersuara

"Emang jodoh itu apa sih?" Aikoooo dasar emang anak kecil mulutnya suka asal nyeplos

"jodoh itu makanan aiko" ujarku menjawab seadanya

"belinya dimana?" Aiko masih saja bertanya

"di supermarket" ujarku ketus yang berahir dengan tatapan kosong yang mengarah kepadaku.

"Lu pada kapan nyampe rumah" ujarku membuka percakapan sembari memotong-motong roti panggangku

"tadi pagi kita pada nyubuh bang, tadinya mau kemarin cuma hujannya bikin males" jawab dimas sambil melakukan hal yang sama denganku. Kita semua sudah tidak tinggal satu rumah lagi, dimas dan damas sudah memiliki kehidupan dan cerita sendiri di rumah mereka masing-masing, walaupun masih dalam satu kota yang sama, namun tetap saja jarak tempuh dan kemacetan membuat semuanya berarti, apalagi disaat sudah kumpul seperti ini, rasanya kita semua sudah terpaut jarak beribu kilometer jauhnya. Akhirnya aku seolah seperti anak satu-satunya di keluarga ini karna hanya aku yang masih bersama dengan kedua orang tuaku.

"Terus kapan dong nak" ujar ibuku sembari merapikan meja makan yang berantakan dan kini hanya ada aku, mama dan dimas yang ada di ruangan ini sedangkan yang lain entah kemana

"apanya yang kapan" balasku yang sebenarnya aku sudah tau kemana arah pertanyaan itu

"ah elu bang suka pura-pura lugu, jodoh lah kasian mama udah pengen banget nimang cucu dari lu" tukas dimas sambil memandangiku dengan tatapan serius

"mama itu udah tua, jangan sampe mama keburu tetot" aku begitu kaget mendengar perkataan ibuku barusan

"hush mama kok ngomongnya gitu sih" aku segera menghampiri ibuku dan memeluknya dari belakang

"lagian elu juga sih, heran gue nunggu apa lagi coba" lagi-lagi dimas nyolot

"ya kalo belum ada mau gimana lagi? Ribet ah lu dim" aku mulai sedikit kesal pada adik pertamaku

"mangkanya ayo cariii" ujar ibuku sambil mengelus tanganku yang menempel di perutnya

"cari dimana maamaa" jawabku dengan nada merengek pada ibu, tak lama dimas beranjak dari tempat duduknya

"supermarket" setelah berkata itu ia segera meninggalkan kami berdua

"pokonya taun depan nikah!!" Kini ibuku juga meninggalkanku disini, hahhh kenapa setiap percakapanku ketika berkumpul bersama mereka selalu berakhir seperti ini, entahlah, pikiranku mendadak kacau saat ini.

-bersambung

Cinta tak harus memilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang